Ditemukan Alat Deteksi DBD Secara Cepat dan Akurat
A
A
A
JAKARTA - Satu terobosan berharga dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di tengah merebaknya ancaman wabah demam berdarah dengue (DBD). Lembaga tersebut menemukan sebuah alat pendeteksi penyakit mematikan itu.
Alat yang disebut Kit Diagnostik DBD ini diharapkan sebagai solusi agar tidak ada pasien yang terlambat ditangani karena bisa melakukan deteksi secara cepat. Dengan demikian pasien tidak perlu menunggu tiga hari untuk mendapatkan kepastian terjangkit DBD atau tidak. Sayangnya alat tersebut belum bisa dimanfaatkan saat ini karena masih berupa prototipe atau purwarupa. BPPT saat ini tengah mendorong adanya mitra industri untuk memproduksi secara massal.
"Hilirisasi merupakan tahapan penting bagi pengkajian teknologi, karena tanpa tahapan ini, keseluruhan kajian hanya akan menjadi bahan laporan dan publikasi belaka dan tidak memberikan dampak ekonomi secara signifikan serta mengacu pada kebijakan pemerintah,” ungkap Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT Soni S Wirawan pada The 3rd Bioeconomic Innovations on Agroindustrial Technology and Biotechnology 2019 di Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019.
Keberadaan alat deteksi dengan fungsi hampir sama dengan kit tersebut sebenarnya sudah digunakan di sejumlah negara, di antaranya India, China, dan Jepang. India misalnya, memiliki Oscar Dengue Ag (NS1) and Ab (IgM/IgG) Test Device yang mampu mendeteksi penyakit DBD hanya dalam tempo 5 menit dengan tingkat sensitivitas 99%. (Baca juga: Kunjungi Pasien di RSUD, Anies Sebut Ada 876 Kasus DBD di Jakarta)
Adapun China memiliki Dengue Rapid Test, Dengue IgG/IgM Ab Rapid Test, dan Human Dengue IgM ELISA Test Kit yang masing-masing memiliki kecepatan deteksi dan sensitivitas 15–30 menit dan 99,7%; 10 menit dan 100%; serta 40 menit dan 93,5%. Jepang telah memproduksi NTBIO Dengue Rapid Tets Kits yang mampu mendeteksi DBD dalam waktu 10 menit dengan sensitivitas mencapai 92% (NS1) 91% (IgG/IgM).
Kualitas Kit Diagnostik DBD buatan BPPT ini tidak kalah dengan buatan luar negeri, karena mampu mendeteksi penyakit DBD hanya dalam waktu 2–10 menit dengan sensitivitas mencapai 98%. Harganya pun jauh lebih murah, yakni Rp50.000, sedangkan barang impor harganya sekitar Rp150.000. (Baca juga: DBD di Sumba Timur, 7 Warga Meninggal dan 3 Kritis)
Plt Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM) BPPT Agung Eru Wibowo menambahkan, keberadaan Kit Diagnostik DBD sangat dibutuhkan dalam meminimalkan dampak DBD. Dia menyebut, DBD hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, terutama di daerah subtropis dan tropis seperti Indonesia.
Agung lantas memerinci bahwa Kit Diagnostik DBD BPPT menggunakan anti-NS1 monoklonal antibodi yang dikembangkan berdasarkan strain virus lokal Indonesia yang diharapkan bisa memberikan sensitivitas yang lebih baik. "Komponen utama prototipe Kit Diagnostik DBD BPPT berupa antibodi monoklonal anti-NS1 telah terbukti dalam skala laboratorium dapat mengenali virus dengue strain lokal Indonesia," paparnya. (Baca juga: Wabah DBD Meluas di Berbagai Daerah)
Dia membenarkan saat ini BPPT sedang melakukan pembahasan dengan mitra industri dalam rangka hilirisasi dan komersialisasi. Dia berharap dalam waktu tidak lama sudah ada kepastian mitra industri. "Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kit deteksi dengue ini segera bisa diproduksi secara massal untuk membantu mengatasi penanganan wabah demam berdarah di Indonesia," sebutnya.
Kepala BPPT Hammam Riza menyampaikan, dalam dunia industri kesehatan, seperti tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015–2035, isu ketergantungan bahan baku obat dan alat kesehatan impor merupakan salah satu masalah yang masih dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini.
Faktor industri hulu dan industri antara yang lemah, menurut Hammam, merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya industri bahan baku obat sintetik kimia di Indonesia hingga saat ini. Di sisi lain negara-negara maju telah jauh mengembangkan industri bahan baku obat dengan dukungan industri hulu dan antara yang kuat.
“Dengan kondisi semacam ini Indonesia sebenarnya memiliki bonus sumber daya hayati yang sangat melimpah. Kekayaan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan obat herbal atau obat berbasis fermentatif. Dengan melihat hal ini seharusnya ada peluang untuk mengembangkan bahan baku obat berbasis herbal atau fermentatif,” urainya.
Hammam pun menegaskan, hasil kajian BPPT harus diterapkan di masyarakat, baik di kalangan industri atau masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu BPPT sangat mendorong adanya hilirisasi hasil riset ke masyarakat.
“Forum semacam inilah yang diharapkan akan menjadi salah satu jembatan antara kalangan akademisi dengan masyarakat industri. Konsep triple helix, yakni melalui sinergi positif antara kalangan academician, business, dan government atau akademisi, industri, dan pemerintah akan kami jalankan secara optimal,” katanya.
Di sisi lain, Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Siti Nadia Tarmizi M Epid mengatakan, alat deteksi DBD sebenarnya sudah tersedia di puskemas dan rumah sakit. Alat dimaksud adalah Denguecheck Combo. "Alat yang kita pakai di program itu ada dua karena demam berdarah itu memeriksa antibodi dan antigen," ucap dr Situ Nadia kepada KORAN SINDO.
Siti mengaku belum mengetahui dan memahami alat buatan BPPT. Namun dia menduga alat tersebut berbeda metode deteksi dengan alat combo yang sudah ada saat ini. "Yang paling mudah itu kan cek trombosit untuk memastikan demam berdarah atau tidaknya, namun jika alat diagnostik dari BPPT ini bisa ditemukan dan bermanfaat bagi masyarakat, kita mendukung sekali. Namun tetap masyarakat tidak boleh lengah soal demam berdarah ini," kata Siti.
Menurutnya, saat ini alat yang direkomendasikan adalah dalam bentuk combo tersebut karena sudah dipakai program kesehatan dan ada di e-katalog. "Lima tahun belakangan sudah memakai itu. Perbedaan dengan alat BPPT kemungkinan hanya mendeteksi awal saja, bisa saja bagi orang yang sudah 4-5 hari demam tidak terdeteksi sehingga seolah-olah negatif.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago mengatakan, inovasi yang dikembangkan BPPT patut didukung. Terlebih jika manfaatnya sebagai bentuk proteksi penyebaran virus DBD di tubuh manusia.
Namun lebih dari itu dia menekankan, yang lebih penting lagi untuk dilakukan agar DBD tidak ganas menyerang adalah kepedulian masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Lingkungan yang bersih bisa mencegah jentik nyamuk berkembang biak.
"Sebab DBD ini selalu berulang terjadi di musim hujan. Pemerintah harus terus mengedukasi agar masyarakat mau peduli pada kebersihan lingkungan," katanya ketika dihubungi KORAN SINDO.
Dia menilai, Kementerian Kesehatan sudah berusaha melakukan tindakan preventif melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Program tersebut mencakup gerakan membersihkan lingkungan yang melibatkan seluruh masyarakat. Selain itu Kemenkes telah menggencarkan arahan kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan pemberantasam sarang nyamuk melalui kegiatan menguras, menutup dan memanfaatkan kembali barang bekas.
“Berapa pun biaya kuratif yang dikeluarkan pemerintah untuk DBD tidak akan cukup apabila tidak ada aksi gotong-royong oleh masyarakat untuk menjaga kebersihan,” tandasnya.
Wabah di Berbagai Negara
DBD bukan hanya persoalan Indonesia, tapi juga mewabah pada lebih dari 110 negara di dunia setiap tahun. Pada 2013, misalnya, DBD pernah menjangkiti 60 juta orang di seluruh dunia, 13.600 di antaranya tewas. Dana untuk menangani penyakit tersebut juga tidak kecil, yakni mencapai USD9 miliar.
Selama satu dekade pada periode tahun 2.000, sebanyak 12 negara Asia Tenggara menangani 3 juta pasien DBD, 6.000 di antaranya tak terselamatkan. DBD juga menyerang sedikitnya 22 negara di Afrika, China, Asia-Pasifik, Amerika, dan mengancam Eropa. Penyebaran wabah dan sirkulasi virus meningkat 30 kali lipat pada 1960–2010 akibat perubahan lingkungan, termasuk ekspansi di perdesaan dan perkotaan serta meningkatnya mobilitas pergerakan di tingkat global.
Kasus DBD juga mulai menerpa India pada tahun ini. Biasanya penyakit ini mewabah pada Juli dan November. Pada tahun lalu, berdasarkan data South Delhi Municipal Corporation (SDMC), kasus DBD di India mencapai 2.798 kasus, 4 di antaranya meninggal dunia. Mereka rata-rata adalah anak-anak atau remaja.
Pemerintah Malaysia juga menyatakan negaranya menangani 178 kasus DBD dari 27 Januari hingga 2 Februari pada tahun ini, turun sekitar 15,64% bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya pada periode yang sama. Meski demikian, secara kumulatif, jumlah kasus DBD di Penang sampai 2 Februari ini sudah mencapai 1.152 kasus.
“Sampai pekan kelima tahun ini, 4 orang meninggal dunia akibat DBD,” kata Afif Bahardin, Chairman Komite Kesehatan Pembangunan Wilayah Tertinggal Industri Berbasis Pertanian dan Peternakan Malaysia, seperti dikutip borneobulletin.com. Afif menambahkan, penyakit DBD mewabah hingga ke berbagai wilayah. (neneng zubaidah/iman firmansyah/m shami)
Alat yang disebut Kit Diagnostik DBD ini diharapkan sebagai solusi agar tidak ada pasien yang terlambat ditangani karena bisa melakukan deteksi secara cepat. Dengan demikian pasien tidak perlu menunggu tiga hari untuk mendapatkan kepastian terjangkit DBD atau tidak. Sayangnya alat tersebut belum bisa dimanfaatkan saat ini karena masih berupa prototipe atau purwarupa. BPPT saat ini tengah mendorong adanya mitra industri untuk memproduksi secara massal.
"Hilirisasi merupakan tahapan penting bagi pengkajian teknologi, karena tanpa tahapan ini, keseluruhan kajian hanya akan menjadi bahan laporan dan publikasi belaka dan tidak memberikan dampak ekonomi secara signifikan serta mengacu pada kebijakan pemerintah,” ungkap Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) BPPT Soni S Wirawan pada The 3rd Bioeconomic Innovations on Agroindustrial Technology and Biotechnology 2019 di Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019.
Keberadaan alat deteksi dengan fungsi hampir sama dengan kit tersebut sebenarnya sudah digunakan di sejumlah negara, di antaranya India, China, dan Jepang. India misalnya, memiliki Oscar Dengue Ag (NS1) and Ab (IgM/IgG) Test Device yang mampu mendeteksi penyakit DBD hanya dalam tempo 5 menit dengan tingkat sensitivitas 99%. (Baca juga: Kunjungi Pasien di RSUD, Anies Sebut Ada 876 Kasus DBD di Jakarta)
Adapun China memiliki Dengue Rapid Test, Dengue IgG/IgM Ab Rapid Test, dan Human Dengue IgM ELISA Test Kit yang masing-masing memiliki kecepatan deteksi dan sensitivitas 15–30 menit dan 99,7%; 10 menit dan 100%; serta 40 menit dan 93,5%. Jepang telah memproduksi NTBIO Dengue Rapid Tets Kits yang mampu mendeteksi DBD dalam waktu 10 menit dengan sensitivitas mencapai 92% (NS1) 91% (IgG/IgM).
Kualitas Kit Diagnostik DBD buatan BPPT ini tidak kalah dengan buatan luar negeri, karena mampu mendeteksi penyakit DBD hanya dalam waktu 2–10 menit dengan sensitivitas mencapai 98%. Harganya pun jauh lebih murah, yakni Rp50.000, sedangkan barang impor harganya sekitar Rp150.000. (Baca juga: DBD di Sumba Timur, 7 Warga Meninggal dan 3 Kritis)
Plt Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM) BPPT Agung Eru Wibowo menambahkan, keberadaan Kit Diagnostik DBD sangat dibutuhkan dalam meminimalkan dampak DBD. Dia menyebut, DBD hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, terutama di daerah subtropis dan tropis seperti Indonesia.
Agung lantas memerinci bahwa Kit Diagnostik DBD BPPT menggunakan anti-NS1 monoklonal antibodi yang dikembangkan berdasarkan strain virus lokal Indonesia yang diharapkan bisa memberikan sensitivitas yang lebih baik. "Komponen utama prototipe Kit Diagnostik DBD BPPT berupa antibodi monoklonal anti-NS1 telah terbukti dalam skala laboratorium dapat mengenali virus dengue strain lokal Indonesia," paparnya. (Baca juga: Wabah DBD Meluas di Berbagai Daerah)
Dia membenarkan saat ini BPPT sedang melakukan pembahasan dengan mitra industri dalam rangka hilirisasi dan komersialisasi. Dia berharap dalam waktu tidak lama sudah ada kepastian mitra industri. "Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kit deteksi dengue ini segera bisa diproduksi secara massal untuk membantu mengatasi penanganan wabah demam berdarah di Indonesia," sebutnya.
Kepala BPPT Hammam Riza menyampaikan, dalam dunia industri kesehatan, seperti tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015–2035, isu ketergantungan bahan baku obat dan alat kesehatan impor merupakan salah satu masalah yang masih dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini.
Faktor industri hulu dan industri antara yang lemah, menurut Hammam, merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya industri bahan baku obat sintetik kimia di Indonesia hingga saat ini. Di sisi lain negara-negara maju telah jauh mengembangkan industri bahan baku obat dengan dukungan industri hulu dan antara yang kuat.
“Dengan kondisi semacam ini Indonesia sebenarnya memiliki bonus sumber daya hayati yang sangat melimpah. Kekayaan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan obat herbal atau obat berbasis fermentatif. Dengan melihat hal ini seharusnya ada peluang untuk mengembangkan bahan baku obat berbasis herbal atau fermentatif,” urainya.
Hammam pun menegaskan, hasil kajian BPPT harus diterapkan di masyarakat, baik di kalangan industri atau masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu BPPT sangat mendorong adanya hilirisasi hasil riset ke masyarakat.
“Forum semacam inilah yang diharapkan akan menjadi salah satu jembatan antara kalangan akademisi dengan masyarakat industri. Konsep triple helix, yakni melalui sinergi positif antara kalangan academician, business, dan government atau akademisi, industri, dan pemerintah akan kami jalankan secara optimal,” katanya.
Di sisi lain, Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Siti Nadia Tarmizi M Epid mengatakan, alat deteksi DBD sebenarnya sudah tersedia di puskemas dan rumah sakit. Alat dimaksud adalah Denguecheck Combo. "Alat yang kita pakai di program itu ada dua karena demam berdarah itu memeriksa antibodi dan antigen," ucap dr Situ Nadia kepada KORAN SINDO.
Siti mengaku belum mengetahui dan memahami alat buatan BPPT. Namun dia menduga alat tersebut berbeda metode deteksi dengan alat combo yang sudah ada saat ini. "Yang paling mudah itu kan cek trombosit untuk memastikan demam berdarah atau tidaknya, namun jika alat diagnostik dari BPPT ini bisa ditemukan dan bermanfaat bagi masyarakat, kita mendukung sekali. Namun tetap masyarakat tidak boleh lengah soal demam berdarah ini," kata Siti.
Menurutnya, saat ini alat yang direkomendasikan adalah dalam bentuk combo tersebut karena sudah dipakai program kesehatan dan ada di e-katalog. "Lima tahun belakangan sudah memakai itu. Perbedaan dengan alat BPPT kemungkinan hanya mendeteksi awal saja, bisa saja bagi orang yang sudah 4-5 hari demam tidak terdeteksi sehingga seolah-olah negatif.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago mengatakan, inovasi yang dikembangkan BPPT patut didukung. Terlebih jika manfaatnya sebagai bentuk proteksi penyebaran virus DBD di tubuh manusia.
Namun lebih dari itu dia menekankan, yang lebih penting lagi untuk dilakukan agar DBD tidak ganas menyerang adalah kepedulian masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Lingkungan yang bersih bisa mencegah jentik nyamuk berkembang biak.
"Sebab DBD ini selalu berulang terjadi di musim hujan. Pemerintah harus terus mengedukasi agar masyarakat mau peduli pada kebersihan lingkungan," katanya ketika dihubungi KORAN SINDO.
Dia menilai, Kementerian Kesehatan sudah berusaha melakukan tindakan preventif melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Program tersebut mencakup gerakan membersihkan lingkungan yang melibatkan seluruh masyarakat. Selain itu Kemenkes telah menggencarkan arahan kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan pemberantasam sarang nyamuk melalui kegiatan menguras, menutup dan memanfaatkan kembali barang bekas.
“Berapa pun biaya kuratif yang dikeluarkan pemerintah untuk DBD tidak akan cukup apabila tidak ada aksi gotong-royong oleh masyarakat untuk menjaga kebersihan,” tandasnya.
Wabah di Berbagai Negara
DBD bukan hanya persoalan Indonesia, tapi juga mewabah pada lebih dari 110 negara di dunia setiap tahun. Pada 2013, misalnya, DBD pernah menjangkiti 60 juta orang di seluruh dunia, 13.600 di antaranya tewas. Dana untuk menangani penyakit tersebut juga tidak kecil, yakni mencapai USD9 miliar.
Selama satu dekade pada periode tahun 2.000, sebanyak 12 negara Asia Tenggara menangani 3 juta pasien DBD, 6.000 di antaranya tak terselamatkan. DBD juga menyerang sedikitnya 22 negara di Afrika, China, Asia-Pasifik, Amerika, dan mengancam Eropa. Penyebaran wabah dan sirkulasi virus meningkat 30 kali lipat pada 1960–2010 akibat perubahan lingkungan, termasuk ekspansi di perdesaan dan perkotaan serta meningkatnya mobilitas pergerakan di tingkat global.
Kasus DBD juga mulai menerpa India pada tahun ini. Biasanya penyakit ini mewabah pada Juli dan November. Pada tahun lalu, berdasarkan data South Delhi Municipal Corporation (SDMC), kasus DBD di India mencapai 2.798 kasus, 4 di antaranya meninggal dunia. Mereka rata-rata adalah anak-anak atau remaja.
Pemerintah Malaysia juga menyatakan negaranya menangani 178 kasus DBD dari 27 Januari hingga 2 Februari pada tahun ini, turun sekitar 15,64% bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya pada periode yang sama. Meski demikian, secara kumulatif, jumlah kasus DBD di Penang sampai 2 Februari ini sudah mencapai 1.152 kasus.
“Sampai pekan kelima tahun ini, 4 orang meninggal dunia akibat DBD,” kata Afif Bahardin, Chairman Komite Kesehatan Pembangunan Wilayah Tertinggal Industri Berbasis Pertanian dan Peternakan Malaysia, seperti dikutip borneobulletin.com. Afif menambahkan, penyakit DBD mewabah hingga ke berbagai wilayah. (neneng zubaidah/iman firmansyah/m shami)
(thm)