Berpesta Demokrasi dengan Literasi Politik
A
A
A
Atmosfer perpolitikan di Indonesia tengah memanas tahun ini. Gun Gun Heryanto hadir guna membangun kesadaran masyarakat untuk berpolitik secara baik dengan literasi politik.
Bersama sejumlah rekan yang memiliki visi-misi sama untuk membangun kesadaran politik rasional masyarakat berbasis pengetahuan dan kemampuan politik, Gun Gun membentuk The Political Literacy Institute (The Policy Institute). Ini adalah sebuah komunitas independen yang fokus memperbaiki serta memberdayakan hak-hak politik warga negara melalui pendidikan politik, informasi yang kredibel, riset, dan kajian mendalam.
Lantas, seperti apa kegiatan The Policy Institute? Kalangan mana saja yang menjadi fokus mereka untuk mem berikan edukasi dan apa pula harapan Gun Gun terhadap pelaksanaan pesta demokrasi tahun ini? Simak wawancaranya dengan KORAN SINDO.
Anda tengah sibuk mengedukasi masyarakat mengenai literasi politik melalui The Policy Institute. Sebenarnya semangat apa yang ingin Anda kembangkan?
Semangat keajegan nalar berpikir. Politik kerap kali kering kerontang, tidak ada oase yang landasannya pemikiran. Bicara politik sebenarnya bagaimana warga negara bisa mandiri, bisa berperadaban. Namun, sering kali tereduksi oleh persoalan technical penguasaan berbasis kemenangan.
Kalau diperhatikan debat pilpres kemarin, tidak ada tawaran paradigmatik, misalnya apa penyelesaian terhadap kasus HAM besar seperti kasus Semanggi 1, 2, 3. Niat awal kami sederhana, yaitu ingin membangun kondisi melek politik.
Terlihat mudah, tapi praktiknya kompleks sekali karena membutuhkan bauran tiga hal yakni ilmu pengetahuan, skill,dan sikap politik. Orang tidak cukup hanya misalnya dia pintar, tahu sistem politik domestik ataupun internasional, tapi tak punya skill untuk mengomparasikannya.
Jangan-jangan yang dia ketahui basis informasi, sumber datanya itu hoaks atau sumber tidak kredibel. Sikap, ini juga tidak kalah penting. Orang banyak bersikap menanggapi money politic,diskriminasi. Orang mungkin bisa berdemokrasi ketika di pikiran, tapi praktiknya bagaimana dia dihadapkan pada uang Rp200.000-300.000 saat ada di depan bilik suara atau saat mau masuk TPS.
Ini soal sikap. Contoh lain bagaimana seorang akademis di universitas, seorang intelektual, karena referensi politiknya tanpa disadari ia malah meredistribusikan hoaks. Itu yang saya simpulkan sebagai keajegan nalar. Jadi keajegan nalar itu bukan hanya ada pada orang yang strata pendidikannya tinggi. Tidak jaminan.
Jadi, misi apa yang hendak diperjuangkan?
Memfasilitasi adanya penguatan dan pemberdayaan pengetahuan politik warga negara di Indonesia melalui pendidikan politik yang berkelanjutan. Kami juga akan terus mengampanyekan pentingnya literasi politik bagi warga negara di berbagai komunitas dan daerah.
Apa fokus The Policy Institute?
Dari awal berdiri kami memutuskan untuk fokus pada tiga hal, yakni perempuan yang kerap kali menjadi subordinal, kaum marjinal seperti marjinal secara ekonomi atau otoritas kekuasaan. Ketiga, fokus yang sekarang menjadi dominan, menjadi agenda kami yakni anak muda.
Apa saja program dan produk yang dihasilkan oleh The Policy Institute?
Pada 2009 akhir, khusus anak muda kami membuat YPO (Youth Politic Outlook). Pernah kami gelar di Universitas Al-Azhar, Djuanda, UMN, serta banyak universitas di Jakarta dan Bandung. Kami juga masuk ke SMA. Kami melakukan pelatihan mengenai melek politik.
Bagaimana mereka seharusnya mengakses berita politik, bagaimana mereka harus bisa mengomparasi berita, mengomunikasikan sumber informasi yang kredibel kepada teman seperti apa caranya. Mereka bisa menjadi influencer bagi sekitarnya. Kami berharap, mereka sebagai champion politik di antara kawan-kawannya yang bisa turut menyebarkan melek politik.
Produk yang dihasilkan buku periodik kami publish,hasil kerja sama atau sendiri. Buku berasal dari kajian atau diskusi bulanan. Kami juga punya buletin Muslim Muda Indonesia (MMI) yang fokusnya sangat spesifik kontranarasi bekerja sama dengan buletin Jumat.
Mengapa kami anggap ini penting?Sebenarnya buletin Jumat menjadi medium untuk menebar benih toleran. Sejak 2017 kami bekerja sama dengan UNDP dan PPIM UIN dalam proyek Countering Violent Extremism in Indonesia.
Bagi saya menarik, inisiatif ini yang kami pakai untuk menebar toleransi karena sering ditemukan selebaran propaganda di masjid, memperkuat nalar eksklusif. Program The Policy Institute lainnya, yakni melakukan partnership dengan foundation.
Memberi tutorial bagi yang ingin menjadi calon legislatif tanpa money politic.Kami menyebutnya sekolah politisi muda. Kami mengundang anak muda di partai politik untuk bisa ikut sekolah kami ini. Bukan cuma knowledge,tapi juga sikap.
Kenapa akhirnya lebih menyasar kepada anak muda?
Ini berdasarkan kajian intens dari kami. Alasan pertama, karena Indonesia akan menghadapi bonus demografi sehingga lapis anak muda akan berperan signifikan. Kalau tidak, nanti kita akan terjebak menjadi negara berkembang terus. Kita tidak bisa berpindah dari negara konsolidasi ke lembagaan politik.
Secara politik ada migrasi politik yang menarik lewat masuknya anak muda di dunia politik sebagai caleg dan kaum profesional yang menjadi tim sukses atau relawan. Butuh kesiapan dari anak muda tersebut karena kalau asal maju akan mengalami ketersesatan dalam sistem.
Karena masuk ke dalam politik, kalau tidak paham peta, akan seperti berada di ruang labirin. Saya mewakili The Policy Institute bekerja sama dengan Yayasan Satu Nama Yogyakarta dan Konrad-Adnauer-Stiftung (KAS), Jerman, tergabung dalam proyek Civilizing for Indonesian Democracy (CPID).
Proyek ini berbicara soal bagaimana generasi muda di bawah usia 40 tahun yang ingin masuk DPR, DPRD, knowledgeable mengenai sistem politik. Kami lakukan bertahap, satu program selama delapan bulan, dibuat serius langsung ada MOUnya dengan partai politik, kami melatih kader mereka.
Jadi anak muda di bawah 40 tahun yang ingin terjun ke politik butuh diberi endorsement agar menjadi penerang bagi sesama politikus muda lain. Alasan lain mengapa kami fokus ke anak muda, karena zaman sekarang teknologi berkembang dengan arus informasi yang begitu banyak beredar.
Namun, banyak informasi mentah yang beredar. Maksud The Policy Institute adalah agar dapat memberikan kanal. Misalnya, kalau selesai mengadakan YPO, kami memasukkan peserta ke dalam grup WhatsApp.
Kami pasok informasi yang serius seperti jurnal atau yang lebih ringan artikel tulisan saya di sejumlah media cetak nasional. Memastikan informasi yang diterima kredibel. Ada juga diskusi bulanan bersama pemakalah.
Pemakalah membuat makalah sebanyak 20 halaman, dibuat seperti akademik. Yang ketiga ini seperti menyuntikkan vaksin ke tubuh. Tubuh kita butuh kekebalan di musim pancaroba. Sama halnya dengan mental generasi muda di tahun politik, kalau tidak disuntik bisa jadi bigot atau pikiran dan pilihannya selalu benar, selain itu salah.
Apa harapan Anda terhadap generasi muda setelah mereka memiliki literasi politik yang baik?
Mereka punya kemandirian bersikap. Selama ini anak muda bergantung pada sosok di luar dirinya, misalkan ayahnya, temannya, pasangannya, bosnya, atau siapa pun. Misalkan di sebuah kantor bosnya memilih partai X, semua diajak untuk mau ikut memilih.
Sikap mandiri yakni jika tidak sesuai dengan pilihan politiknya, dia akan menolak. Kami berharap bukan cuma punya sikap itu, tapi juga mampu mengomunikasi kan sikap tersebut kepada orang lain. The Policy Institute sering juga membuat coaching clinic.Mereka kami minta menulis di media. Mereka sering menulis jurnal juga.
Namun, saya selalu katakan, kalau jurnal kemungkinan yang baca itu sedikit. Makanya lebih baik menulis di media massa saja. Kami di The Policy ingin membentuk komunitas, seperti bidang lain pencinta lingkungan atau akademi berbagi. Visi kami citizen care for political empowerment.
Menurut Anda, bagaimana kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini?
Saya bangun optimistisnya, kalau nilai demokrasi 2018 berdasarkan hasil survei tahun 2017, poin kita 72. Sebelumnya 70 pada 2014, lumayan bagus 74. Kini kembali ke 72, artinya kan cukup bagus. Freedom House, sebuah lembaga berbasis di Washington, yang melakukan indeks global menyebut Indonesia ada di posisi 64. Tidak rendah sekali.
Itu artinya kita sudah di jalur yang benar untuk sebuah negara demokrasi. Masyarakat Indonesia boleh menulis apa saja di media, asal bisa dipertanggung jawabkan. Kebebasan pers terjamin, tidak seperti era Orde Baru.
Bagi saya, yang menarik itu polarisasi tidak personal sentris seperti dulu. Ya ini berkah reformasi. Setelah pemilihan presiden kita benar-benar sudah ada di jalur yang benar untuk menjadi sebuah negara demokrasi dengan model pilihan bebas warga negara.
Kedua, yang membuat optimistis adalah sirkulasi elite sudah reguler, ada kompetisi.
Memungkinkan siapa saja menjadi pemimpin. Tidak ada yang menyangka Wali Kota Solo bisa menjadi presiden. Bukan ketua partai, bukan lahir dari pengusaha kaya raya, ini membuktikan siapa pun bisa jadi presiden. Bahwa sirkulasi elite lima tahunan bisa berjalan.
Ketiga, otoritas TNI yang juga tidak seperti dulu, hubungan state dan citizen sangat mencekam.
Keempat, karena power menyebar ke banyak orang sehingga semua orang punya peran, dapat berkontribusi.
Terakhir, dari partai politiknya juga masih figur sentris. PDIP dengan Megawati, Demokrat dengan SBY, atau Gerindra dengan Prabowo, sehingga yang terjadi feodalisasi politik yang menyebabkan transaksional.
Sudahkah para elite politik memberi edukasi politik yang baik kepada masyarakat ?
Politik ada sisi hitam dan putih, jangan dilihat dari sisi hitamnya saja. Contoh money politic,elite politik yang tidak berubah, dan transaksi lainnya. Tapi, ada sisi optimistis di wajah politik.
Kebijakan publik akan berpengaruh bagi khalayak luas, maka politik itu menjadi penting. Bukan hanya kebijakan publik, tapi bagaimana peran warga negara. Inti politik itu “demos” dari istilah demokrasi, yang artinya suara warga negara. (Ananda Nararya)
Bersama sejumlah rekan yang memiliki visi-misi sama untuk membangun kesadaran politik rasional masyarakat berbasis pengetahuan dan kemampuan politik, Gun Gun membentuk The Political Literacy Institute (The Policy Institute). Ini adalah sebuah komunitas independen yang fokus memperbaiki serta memberdayakan hak-hak politik warga negara melalui pendidikan politik, informasi yang kredibel, riset, dan kajian mendalam.
Lantas, seperti apa kegiatan The Policy Institute? Kalangan mana saja yang menjadi fokus mereka untuk mem berikan edukasi dan apa pula harapan Gun Gun terhadap pelaksanaan pesta demokrasi tahun ini? Simak wawancaranya dengan KORAN SINDO.
Anda tengah sibuk mengedukasi masyarakat mengenai literasi politik melalui The Policy Institute. Sebenarnya semangat apa yang ingin Anda kembangkan?
Semangat keajegan nalar berpikir. Politik kerap kali kering kerontang, tidak ada oase yang landasannya pemikiran. Bicara politik sebenarnya bagaimana warga negara bisa mandiri, bisa berperadaban. Namun, sering kali tereduksi oleh persoalan technical penguasaan berbasis kemenangan.
Kalau diperhatikan debat pilpres kemarin, tidak ada tawaran paradigmatik, misalnya apa penyelesaian terhadap kasus HAM besar seperti kasus Semanggi 1, 2, 3. Niat awal kami sederhana, yaitu ingin membangun kondisi melek politik.
Terlihat mudah, tapi praktiknya kompleks sekali karena membutuhkan bauran tiga hal yakni ilmu pengetahuan, skill,dan sikap politik. Orang tidak cukup hanya misalnya dia pintar, tahu sistem politik domestik ataupun internasional, tapi tak punya skill untuk mengomparasikannya.
Jangan-jangan yang dia ketahui basis informasi, sumber datanya itu hoaks atau sumber tidak kredibel. Sikap, ini juga tidak kalah penting. Orang banyak bersikap menanggapi money politic,diskriminasi. Orang mungkin bisa berdemokrasi ketika di pikiran, tapi praktiknya bagaimana dia dihadapkan pada uang Rp200.000-300.000 saat ada di depan bilik suara atau saat mau masuk TPS.
Ini soal sikap. Contoh lain bagaimana seorang akademis di universitas, seorang intelektual, karena referensi politiknya tanpa disadari ia malah meredistribusikan hoaks. Itu yang saya simpulkan sebagai keajegan nalar. Jadi keajegan nalar itu bukan hanya ada pada orang yang strata pendidikannya tinggi. Tidak jaminan.
Jadi, misi apa yang hendak diperjuangkan?
Memfasilitasi adanya penguatan dan pemberdayaan pengetahuan politik warga negara di Indonesia melalui pendidikan politik yang berkelanjutan. Kami juga akan terus mengampanyekan pentingnya literasi politik bagi warga negara di berbagai komunitas dan daerah.
Apa fokus The Policy Institute?
Dari awal berdiri kami memutuskan untuk fokus pada tiga hal, yakni perempuan yang kerap kali menjadi subordinal, kaum marjinal seperti marjinal secara ekonomi atau otoritas kekuasaan. Ketiga, fokus yang sekarang menjadi dominan, menjadi agenda kami yakni anak muda.
Apa saja program dan produk yang dihasilkan oleh The Policy Institute?
Pada 2009 akhir, khusus anak muda kami membuat YPO (Youth Politic Outlook). Pernah kami gelar di Universitas Al-Azhar, Djuanda, UMN, serta banyak universitas di Jakarta dan Bandung. Kami juga masuk ke SMA. Kami melakukan pelatihan mengenai melek politik.
Bagaimana mereka seharusnya mengakses berita politik, bagaimana mereka harus bisa mengomparasi berita, mengomunikasikan sumber informasi yang kredibel kepada teman seperti apa caranya. Mereka bisa menjadi influencer bagi sekitarnya. Kami berharap, mereka sebagai champion politik di antara kawan-kawannya yang bisa turut menyebarkan melek politik.
Produk yang dihasilkan buku periodik kami publish,hasil kerja sama atau sendiri. Buku berasal dari kajian atau diskusi bulanan. Kami juga punya buletin Muslim Muda Indonesia (MMI) yang fokusnya sangat spesifik kontranarasi bekerja sama dengan buletin Jumat.
Mengapa kami anggap ini penting?Sebenarnya buletin Jumat menjadi medium untuk menebar benih toleran. Sejak 2017 kami bekerja sama dengan UNDP dan PPIM UIN dalam proyek Countering Violent Extremism in Indonesia.
Bagi saya menarik, inisiatif ini yang kami pakai untuk menebar toleransi karena sering ditemukan selebaran propaganda di masjid, memperkuat nalar eksklusif. Program The Policy Institute lainnya, yakni melakukan partnership dengan foundation.
Memberi tutorial bagi yang ingin menjadi calon legislatif tanpa money politic.Kami menyebutnya sekolah politisi muda. Kami mengundang anak muda di partai politik untuk bisa ikut sekolah kami ini. Bukan cuma knowledge,tapi juga sikap.
Kenapa akhirnya lebih menyasar kepada anak muda?
Ini berdasarkan kajian intens dari kami. Alasan pertama, karena Indonesia akan menghadapi bonus demografi sehingga lapis anak muda akan berperan signifikan. Kalau tidak, nanti kita akan terjebak menjadi negara berkembang terus. Kita tidak bisa berpindah dari negara konsolidasi ke lembagaan politik.
Secara politik ada migrasi politik yang menarik lewat masuknya anak muda di dunia politik sebagai caleg dan kaum profesional yang menjadi tim sukses atau relawan. Butuh kesiapan dari anak muda tersebut karena kalau asal maju akan mengalami ketersesatan dalam sistem.
Karena masuk ke dalam politik, kalau tidak paham peta, akan seperti berada di ruang labirin. Saya mewakili The Policy Institute bekerja sama dengan Yayasan Satu Nama Yogyakarta dan Konrad-Adnauer-Stiftung (KAS), Jerman, tergabung dalam proyek Civilizing for Indonesian Democracy (CPID).
Proyek ini berbicara soal bagaimana generasi muda di bawah usia 40 tahun yang ingin masuk DPR, DPRD, knowledgeable mengenai sistem politik. Kami lakukan bertahap, satu program selama delapan bulan, dibuat serius langsung ada MOUnya dengan partai politik, kami melatih kader mereka.
Jadi anak muda di bawah 40 tahun yang ingin terjun ke politik butuh diberi endorsement agar menjadi penerang bagi sesama politikus muda lain. Alasan lain mengapa kami fokus ke anak muda, karena zaman sekarang teknologi berkembang dengan arus informasi yang begitu banyak beredar.
Namun, banyak informasi mentah yang beredar. Maksud The Policy Institute adalah agar dapat memberikan kanal. Misalnya, kalau selesai mengadakan YPO, kami memasukkan peserta ke dalam grup WhatsApp.
Kami pasok informasi yang serius seperti jurnal atau yang lebih ringan artikel tulisan saya di sejumlah media cetak nasional. Memastikan informasi yang diterima kredibel. Ada juga diskusi bulanan bersama pemakalah.
Pemakalah membuat makalah sebanyak 20 halaman, dibuat seperti akademik. Yang ketiga ini seperti menyuntikkan vaksin ke tubuh. Tubuh kita butuh kekebalan di musim pancaroba. Sama halnya dengan mental generasi muda di tahun politik, kalau tidak disuntik bisa jadi bigot atau pikiran dan pilihannya selalu benar, selain itu salah.
Apa harapan Anda terhadap generasi muda setelah mereka memiliki literasi politik yang baik?
Mereka punya kemandirian bersikap. Selama ini anak muda bergantung pada sosok di luar dirinya, misalkan ayahnya, temannya, pasangannya, bosnya, atau siapa pun. Misalkan di sebuah kantor bosnya memilih partai X, semua diajak untuk mau ikut memilih.
Sikap mandiri yakni jika tidak sesuai dengan pilihan politiknya, dia akan menolak. Kami berharap bukan cuma punya sikap itu, tapi juga mampu mengomunikasi kan sikap tersebut kepada orang lain. The Policy Institute sering juga membuat coaching clinic.Mereka kami minta menulis di media. Mereka sering menulis jurnal juga.
Namun, saya selalu katakan, kalau jurnal kemungkinan yang baca itu sedikit. Makanya lebih baik menulis di media massa saja. Kami di The Policy ingin membentuk komunitas, seperti bidang lain pencinta lingkungan atau akademi berbagi. Visi kami citizen care for political empowerment.
Menurut Anda, bagaimana kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini?
Saya bangun optimistisnya, kalau nilai demokrasi 2018 berdasarkan hasil survei tahun 2017, poin kita 72. Sebelumnya 70 pada 2014, lumayan bagus 74. Kini kembali ke 72, artinya kan cukup bagus. Freedom House, sebuah lembaga berbasis di Washington, yang melakukan indeks global menyebut Indonesia ada di posisi 64. Tidak rendah sekali.
Itu artinya kita sudah di jalur yang benar untuk sebuah negara demokrasi. Masyarakat Indonesia boleh menulis apa saja di media, asal bisa dipertanggung jawabkan. Kebebasan pers terjamin, tidak seperti era Orde Baru.
Bagi saya, yang menarik itu polarisasi tidak personal sentris seperti dulu. Ya ini berkah reformasi. Setelah pemilihan presiden kita benar-benar sudah ada di jalur yang benar untuk menjadi sebuah negara demokrasi dengan model pilihan bebas warga negara.
Kedua, yang membuat optimistis adalah sirkulasi elite sudah reguler, ada kompetisi.
Memungkinkan siapa saja menjadi pemimpin. Tidak ada yang menyangka Wali Kota Solo bisa menjadi presiden. Bukan ketua partai, bukan lahir dari pengusaha kaya raya, ini membuktikan siapa pun bisa jadi presiden. Bahwa sirkulasi elite lima tahunan bisa berjalan.
Ketiga, otoritas TNI yang juga tidak seperti dulu, hubungan state dan citizen sangat mencekam.
Keempat, karena power menyebar ke banyak orang sehingga semua orang punya peran, dapat berkontribusi.
Terakhir, dari partai politiknya juga masih figur sentris. PDIP dengan Megawati, Demokrat dengan SBY, atau Gerindra dengan Prabowo, sehingga yang terjadi feodalisasi politik yang menyebabkan transaksional.
Sudahkah para elite politik memberi edukasi politik yang baik kepada masyarakat ?
Politik ada sisi hitam dan putih, jangan dilihat dari sisi hitamnya saja. Contoh money politic,elite politik yang tidak berubah, dan transaksi lainnya. Tapi, ada sisi optimistis di wajah politik.
Kebijakan publik akan berpengaruh bagi khalayak luas, maka politik itu menjadi penting. Bukan hanya kebijakan publik, tapi bagaimana peran warga negara. Inti politik itu “demos” dari istilah demokrasi, yang artinya suara warga negara. (Ananda Nararya)
(nfl)