Pemerintah Percepat Pemecatan PNS yang terlibat Korupsi

Rabu, 16 Januari 2019 - 07:40 WIB
Pemerintah Percepat...
Pemerintah Percepat Pemecatan PNS yang terlibat Korupsi
A A A
JAKARTA - Proses pemberhentian terhadap 2.357 pegawai negeri sipil (PNS) terlibat kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang telah berkuatan hukum tetap (inkracht) tidak sesuai target. Untuk itu pemerintah dituntut untuk mempercepat pemecatan.

Tercatat hingga 14 Januari, baru sebanyak 393 PNS yang telah diberhentikan. Padahal, pemerintah menargetkan pemberhentian terhadap 2.357 PNS tipikor tersebut paling lambat Desember 2018.

“Berdasarkan data Kedeputian Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdalpeg) Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga akhir Desember 2018 proses penegakan hukum kepegawaian terhadap 2.357 ASN PNS belum tuntas,” ujar Kepala Biro (Karo) Humas BKN Mohammad Ridwan di Jakarta kemarin.

Keputusan pemberhentian ini dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), dan Kepala BKN. SKB No 182/6597/SJ, No 15/2018, dan No 153/KEP/2018 tertanggal 13 September 2018 itu berisi tentang penegakan hukum terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tipikor.

Ridwan menyebut kepada 393 PNS tersebut sudah ditetapkan surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (SK PTDH) sebagai PNS oleh masing-masing pejabat pembina kepegawaian (PPK). PNS yang telah diberhentikan paling banyak berasal dari pemerintah daerah atau pemda.

“Dari 393 PNS yang sudah ditetapkan SK PTDH tersebut, sebanyak 42 orang berasal dari instansi pusat. Lalu 351 lainnya berasal dari instansi daerah,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa selain data 2.357, terdapat data tambahan baru PNS Tipikor yang sudah berkuatan hukum tetap, yang mana PNS-PNS tersebut sudah diberhentikan secara tetap.

“Di luar data 2.357 itu, hingga 14 Januari 2019 terdapat pula 498 PNS yang sudah ditetapkan SK PTDH karena kasus tipikor. Dari 498 PNS tersebut, 57 di antaranya berasal dari instansi pusat, dan 441 lainnya berasal dari instansi daerah, sehingga dari keseluruhan data tersebut hingga 14 Januari 2019 terdapat 891 PNS kasus tipikor yang sudah ditetapkan SK PTDH-nya,” paparnya.

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto mengakui bahwa banyak daerah yang masih belum melakukan pemberhentian tersebut. Menurutnya, aparatur pemda mengaku ragu-ragu melakukan pemecatan.

“Itu kan pemberhentiannya di masing-masing daerah. Nah itu enggak berani, maksudnya ragu-ragu,” ungkapnya.

Sigit mengatakan alasan keragu-raguan tersebut pun bermacam-macam. Salah satunya oknum PNS tipikor tersebut masih memiliki hubungan dengan pejabat di daerah. “Jadi maksud saya mendorong agar daerah tegas. Masak menegakkan aturan enggak berani. Entah karena saudara, temannya, ponakannya wali kota, anak bupati atau saudaranya gubernur. Lalu juga karena orangnya sudah banyak yang pindah ke instansi lain,” jelasnya.

Sigit mengaku sudah melakukan koordinasi dengan BKN dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) terkait hal ini pada Desember lalu. Dari hasil pertemuan tersebut disepakati bahwa pemberhentian ini harus terus didorong.

“Kalau landasan hukum putusan sudah ada kan pemberhentian. Jadi, tanggung jawab kepala daerah melalui sekdanya (sekretaris daerah). Kita sepakati ini dilanjutkan dan segera ada pemberhentian. Jika ada masalah, seperti digugat maka kami akan bantu,” tegasnya.

Sebenarnya tidak tercapainya target ini sudah bisa diprediksi. Pasalnya pada saat penandatanganan SKB Mendagri, BKN, Menpan-RB pada September 2018 lalu banyak daerah mengaku bingung dan kesulitan memberhentikan PNS tipikor. Salah satunya Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Muhammad Assagaf yang saat itu mengungkapkan keraguan tersebut.

Pada forum itu, Assagaf mempertanyakan nasib anggaran negara yang telah dikeluarkan bagi PNS-PNS yang putusan hukumnya sudah beberapa tahun lalu. Pasalnya PNS-PNS di Bolaang Mongondow yang diberhentikan berkeputusan hukum tetap di tahun 2011, 2012, dan 2014. Sementara pemberhentian dibuat disesuaikan dengan tanggal eksekusi.

“Jadi kami lakukan sesuai dengan tanggal inkracht. Nah dari BPK mendapat temuan bahwa itu di TGR (tuntutan ganti rugi) karena mereka harusnya saat inkracht diberhentikan tapi masih dipekerjakan,” tuturnya.

Assagaf menilai kondisi inilah yang membuat keraguan bagi daerah untuk melakukan pemberhentian. Dia meminta agar pemerintah pusat memikirkan hal ini dan perlu adanya kesepakatan bersama antarinstansi.

“Ini kasihan. Sudah jatuh tertimpa tangga lalu terbebani TGR. Ini perlu kesepakatan, seperti apa ini. Jika kami di daerah melakukan eksekusi maka bagaimana dengan yang sebelumnya seperti gaji, perjalanan dinas, honor dan lainnya. Sementara mereka juga mendapat SK dari bupati,” paparnya.

Plt Sekda Kalimantan Timur (Kaltim) Meiliana juga mengatakan bahwa salah satu yang membuat proses pemberhentian cukup lama karena keputusan pengadilan juga membutuhkan proses. Dia meminta agar pihak-pihak yang berwenang memastikan agar pihak aparat penegak hukum dapat keputusan hukum secara cepat kepada daerah.

“Memang lama karena tidak ada dasarnya disampaikan ke kita. Kalau kita minta cukup panjang waktunya. Kalau pemberhentian itu cukup memakan waktu,” ujarnya. (Dita Angga)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0959 seconds (0.1#10.140)