Masyarakat Diharapkan Waspada Bakteri Ecoli pada Ayam Potong
A
A
A
JAKARTA - Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap ayam broiler atau ayam potong di pasar tradisional atau modern sangat tinggi. Namun, luput dari perhatian tentang bahaya kesehatan mengancam di balik nikmatnya mengomsumsi ayam yang rata-rata dipanen saat berusia 45-50 hari tersebut.
Berdasarkan penelitian Indonesia One Health University Network (Indohun), Udayana One Health Collaborating Center (Udayana OHCC), serta Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, telah ditemukan bakteri Escherichia Coli (Ecoli) yang terisolasi pada daging ayam broiler.
Hasil penelitian juga menunjukkan peningkatan kekebalan lebih dari 90 persen setidaknya terhadap tiga jenis antibiotik dari 11 yang diujikan. Tiga jenis antibiotik tersebut adalah ampisilin, amoksisilin dan eritromisin.
Sementara terhadap asam nalidiksat, antibiotik yang sering digunakan untuk terapi infeksi saluran kencing pada manusia, telah terjadi peningkatan kekebalan hingga 50 persen. Masalahnya, antibiotik-antibiotik tersebut merupakan zat yang paling banyak digunakan pada masyarakat dan sering dibeli tanpa resep dokter.
"Yang paling mencemaskan dari hasil penelitian tersebut adalah mulai ditemukan 2,4 persen bakteri Ecoli yang kebal terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Bakteri ini akan menghasilkan enzim yang mampu menetralkan semua antibiotik golongan sefalosporin," ujar dr Ni Nyoman Sri Budayanti, anggota peneliti perwakilan Udayana OHCC, dalam keterangannya, Senin (14/1/2018).
Antibiotik sefalosporin merupakan antibiotik terbanyak digunakan di rumah sakit Indonesia. Bakteri yang telah kebal terhadap antibiotik ini umumnya akan mudah memicu kekebalan terhadap antibiotik lain, seperti antibiotik golongan kuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) yang merupakan salah satu antibiotik utama pengobatan pasien dirawat di rumah sakit.
Penemuan adanya bakteri multi resisten pada daging ayam broiler yang dijual di pasar tradisional ataupun modern menimbulkan kecemasan karena bakteri-bakteri tersebut dapat berpindah kepada manusia selama proses penanganan daging ayam untuk dikonsumsi.
Tidak menutup kemungkinan manusia akan terinfeksi oleh bakteri multi resisten dari daging ayam tersebut. Kondisi peningkatan kekebalan terhadap antibiotik dikenal dengan istilah Antimicrobial Resistance (AMR).
Saat ini, AMR menjadi ancaman serius dalam bidang kesehatan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penderita terinfeksi bakteri multiresisten akan menyulitkan pengobatan karena saat ini tidak banyak ditemukan antibiotik baru di dunia.
Akibat lebih lanjut adalah biaya perawatan pasien meningkat karena waktu perawatan menjadi lebih lama serta jenis antibiotik yang digunakan akan lebih mahal dan sering kali membutuhkan kombinasi beberapa antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Begitu juga dengan angka kematian akan meningkat karena terkadang tidak ada lagi antibiotik yang dapat digunakan. Bakteri-bakteri tersebut tak jarang pula masih peka terhadap satu jenis antibiotik, tetapi antibiotik tersebut kadang tak tersedia di Indonesia.
Pengobatan pasien terinfeksi bakteri multi resisten, tidak hanya menjadi beban individu tapi negara juga akan menanggung bebannya melalui klaim BPJS yang saat ini terus membengkak.
"Butuh komitmen serius dari pemerintah karena dalam menangani AMR ini tidak hanya sekali waktu tapi harus berkelanjutan. Tindakan tegasnya adalah dengan regulasi penggunaan antibiotik untuk pertumbuhan hewan ternak," ujar Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dan Koordinator Indonesia One Health University Network (Indohun) Wiku Adisasmito.
"Jika tidak segera ditangani, dampaknya akan terjadi resistensi antimikroba pada manusia dan dampak buruknya akan berkelanjutan," pungkasnya.
Berdasarkan penelitian Indonesia One Health University Network (Indohun), Udayana One Health Collaborating Center (Udayana OHCC), serta Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, telah ditemukan bakteri Escherichia Coli (Ecoli) yang terisolasi pada daging ayam broiler.
Hasil penelitian juga menunjukkan peningkatan kekebalan lebih dari 90 persen setidaknya terhadap tiga jenis antibiotik dari 11 yang diujikan. Tiga jenis antibiotik tersebut adalah ampisilin, amoksisilin dan eritromisin.
Sementara terhadap asam nalidiksat, antibiotik yang sering digunakan untuk terapi infeksi saluran kencing pada manusia, telah terjadi peningkatan kekebalan hingga 50 persen. Masalahnya, antibiotik-antibiotik tersebut merupakan zat yang paling banyak digunakan pada masyarakat dan sering dibeli tanpa resep dokter.
"Yang paling mencemaskan dari hasil penelitian tersebut adalah mulai ditemukan 2,4 persen bakteri Ecoli yang kebal terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Bakteri ini akan menghasilkan enzim yang mampu menetralkan semua antibiotik golongan sefalosporin," ujar dr Ni Nyoman Sri Budayanti, anggota peneliti perwakilan Udayana OHCC, dalam keterangannya, Senin (14/1/2018).
Antibiotik sefalosporin merupakan antibiotik terbanyak digunakan di rumah sakit Indonesia. Bakteri yang telah kebal terhadap antibiotik ini umumnya akan mudah memicu kekebalan terhadap antibiotik lain, seperti antibiotik golongan kuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) yang merupakan salah satu antibiotik utama pengobatan pasien dirawat di rumah sakit.
Penemuan adanya bakteri multi resisten pada daging ayam broiler yang dijual di pasar tradisional ataupun modern menimbulkan kecemasan karena bakteri-bakteri tersebut dapat berpindah kepada manusia selama proses penanganan daging ayam untuk dikonsumsi.
Tidak menutup kemungkinan manusia akan terinfeksi oleh bakteri multi resisten dari daging ayam tersebut. Kondisi peningkatan kekebalan terhadap antibiotik dikenal dengan istilah Antimicrobial Resistance (AMR).
Saat ini, AMR menjadi ancaman serius dalam bidang kesehatan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penderita terinfeksi bakteri multiresisten akan menyulitkan pengobatan karena saat ini tidak banyak ditemukan antibiotik baru di dunia.
Akibat lebih lanjut adalah biaya perawatan pasien meningkat karena waktu perawatan menjadi lebih lama serta jenis antibiotik yang digunakan akan lebih mahal dan sering kali membutuhkan kombinasi beberapa antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Begitu juga dengan angka kematian akan meningkat karena terkadang tidak ada lagi antibiotik yang dapat digunakan. Bakteri-bakteri tersebut tak jarang pula masih peka terhadap satu jenis antibiotik, tetapi antibiotik tersebut kadang tak tersedia di Indonesia.
Pengobatan pasien terinfeksi bakteri multi resisten, tidak hanya menjadi beban individu tapi negara juga akan menanggung bebannya melalui klaim BPJS yang saat ini terus membengkak.
"Butuh komitmen serius dari pemerintah karena dalam menangani AMR ini tidak hanya sekali waktu tapi harus berkelanjutan. Tindakan tegasnya adalah dengan regulasi penggunaan antibiotik untuk pertumbuhan hewan ternak," ujar Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dan Koordinator Indonesia One Health University Network (Indohun) Wiku Adisasmito.
"Jika tidak segera ditangani, dampaknya akan terjadi resistensi antimikroba pada manusia dan dampak buruknya akan berkelanjutan," pungkasnya.
(maf)