Jerat Hukum Prostitusi Bisa Membidik Penyedia Jasa dan Pengguna
A
A
A
Prostitusi di kalangan entertainer (artis) maupun masyarakat umum marak terjadi akhir-akhir ini. Terakhir, Polda Jawa Timur (Jatim) mengamankan lima orang yang terlibat prostitusi online. Terdiri atas dua selebritis, yakni VA dan AS, serta dua manajemen dan satu mucikari di sebuah hotel di Surabaya, Sabtu (5/1/2019).
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan itu, mereka dibawa ke Mapolda Jatim. Namun, dalam kasus ini polisi hanya menjerat mucikari sebagai tersangka, sedangkan VA dan AS serta yang memesannya tidak. Untuk VA dan AS hanya wajib lapor karena dianggap sebagai korban.
Perbedaan perlakuan hukum ini menimbulkan pertanyaan apakah pemberi layanan dan penggunanya (pelanggan) tidak dapat dijerat hukum dan apakah tepat seseorang yang bekerja secara profesional sebagai pemberi layanan prostitusi dapat dikategorikan sebagai korban.
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti mengatakan, memang dalam perkara tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang, yakni Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) perempuan yang memberikan layanan prostitusi memiliki posisi sebagai korban.
Selain itu, dalam konteks awal prostitusi lebih banyak unsur eksploitasinya. Perempuan yang masuk dalam wilayah itu rentan, terutama dampaknya kepada fungsi reproduksinya sungguh berat, dan ada kecenderungan terjadi karena paksaan, penipuan, dan jeratan utang.
“Ini berarti pihak yang mengambil keuntungan (mucikari) dari mereka yang berada dalam kesulitan (pemberi layanan) adalah tidak etis dan tidak beradab sehingga dihukum,” ungkapnya. Sekretaris magister hukum FH UGM itu berpendapat, meski pasal itu perlu dipertahankan, namun juga harus lebih visioner atau maju.
Di antaranya yang perlu dikriminalisasikan yaitu mereka yang menikmati jasa itu. Kriminalisasi dalam konteks ini adalah meletakkan bahwa pengguna jasa perlu dianggap sebagai pelaku perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana.
“Sekarang seluruh tekanan dan pemberatan malah mengarah pada perempuan dalam prostitusi. Ini tidak tepat,” ucapnya. Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Trisno Raharjo.
Dia mengatakan, memang dalam ketentuan Pasal 296 jo Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kepolisian tidak dapat menjerat pengguna maupun pemberi layanan prostitusi, tetapi hanya menjerat mucikari.
“Sejalan dengan pengaturan tersebut, maka pelaku pros ti tusi dalam hal ini sebagai pelacur diatur untuk tidak dipidana ka rena berposisi sebagai korban. Selain itu, KUHP juga hanya mem berikan sanksi kepada perantara (mucikari) antara peng guna dan pemberi layanan prostitusi,” kata dekan FH UMY itu.
Menurutnya, secara prinsip perlindungan telah dilakukan terhadap anak dan perempuan yang dipaksa menjadi pekerja di sektor prostitusi, (UU Perdagangan Orang) dengan memidana mereka yang memaksa dan mempekerjakan anak dan perempuan.
Ketentuan ini melindungi anak dan perempuan sebagai korban. Sedangkan mereka yang menyediakan tempat, perantara (mucikari), dan pengguna (pelanggan) dapat dikenakan sanksi apabila melakukan transaksi dalam kegiatan prostitusi, termasuk di dalamnya penyedia jasa (pelacur) sepanjang dapat dibuktikan bukan korban (secara sadar masuk dalam dunia prostitusi).
Untuk itu, bila pembuat undang undang berkeinginan mengubahnya dalam penyusunan undang-undang (UU), maka dapat dilakukan dalam rencana undang-undang (RUU). Di antaranya untuk penghukuman dapat diperluas kepada penye dia jasa dan pengguna (pelanggan).
“Bila ini dapat ditegakkan oleh aparat penegak hukum, maka praktik prostitusi dapat berkurang dan diharapkan tidak lagi ada,” tegasnya.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan itu, mereka dibawa ke Mapolda Jatim. Namun, dalam kasus ini polisi hanya menjerat mucikari sebagai tersangka, sedangkan VA dan AS serta yang memesannya tidak. Untuk VA dan AS hanya wajib lapor karena dianggap sebagai korban.
Perbedaan perlakuan hukum ini menimbulkan pertanyaan apakah pemberi layanan dan penggunanya (pelanggan) tidak dapat dijerat hukum dan apakah tepat seseorang yang bekerja secara profesional sebagai pemberi layanan prostitusi dapat dikategorikan sebagai korban.
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti mengatakan, memang dalam perkara tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang, yakni Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) perempuan yang memberikan layanan prostitusi memiliki posisi sebagai korban.
Selain itu, dalam konteks awal prostitusi lebih banyak unsur eksploitasinya. Perempuan yang masuk dalam wilayah itu rentan, terutama dampaknya kepada fungsi reproduksinya sungguh berat, dan ada kecenderungan terjadi karena paksaan, penipuan, dan jeratan utang.
“Ini berarti pihak yang mengambil keuntungan (mucikari) dari mereka yang berada dalam kesulitan (pemberi layanan) adalah tidak etis dan tidak beradab sehingga dihukum,” ungkapnya. Sekretaris magister hukum FH UGM itu berpendapat, meski pasal itu perlu dipertahankan, namun juga harus lebih visioner atau maju.
Di antaranya yang perlu dikriminalisasikan yaitu mereka yang menikmati jasa itu. Kriminalisasi dalam konteks ini adalah meletakkan bahwa pengguna jasa perlu dianggap sebagai pelaku perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana.
“Sekarang seluruh tekanan dan pemberatan malah mengarah pada perempuan dalam prostitusi. Ini tidak tepat,” ucapnya. Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Trisno Raharjo.
Dia mengatakan, memang dalam ketentuan Pasal 296 jo Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kepolisian tidak dapat menjerat pengguna maupun pemberi layanan prostitusi, tetapi hanya menjerat mucikari.
“Sejalan dengan pengaturan tersebut, maka pelaku pros ti tusi dalam hal ini sebagai pelacur diatur untuk tidak dipidana ka rena berposisi sebagai korban. Selain itu, KUHP juga hanya mem berikan sanksi kepada perantara (mucikari) antara peng guna dan pemberi layanan prostitusi,” kata dekan FH UMY itu.
Menurutnya, secara prinsip perlindungan telah dilakukan terhadap anak dan perempuan yang dipaksa menjadi pekerja di sektor prostitusi, (UU Perdagangan Orang) dengan memidana mereka yang memaksa dan mempekerjakan anak dan perempuan.
Ketentuan ini melindungi anak dan perempuan sebagai korban. Sedangkan mereka yang menyediakan tempat, perantara (mucikari), dan pengguna (pelanggan) dapat dikenakan sanksi apabila melakukan transaksi dalam kegiatan prostitusi, termasuk di dalamnya penyedia jasa (pelacur) sepanjang dapat dibuktikan bukan korban (secara sadar masuk dalam dunia prostitusi).
Untuk itu, bila pembuat undang undang berkeinginan mengubahnya dalam penyusunan undang-undang (UU), maka dapat dilakukan dalam rencana undang-undang (RUU). Di antaranya untuk penghukuman dapat diperluas kepada penye dia jasa dan pengguna (pelanggan).
“Bila ini dapat ditegakkan oleh aparat penegak hukum, maka praktik prostitusi dapat berkurang dan diharapkan tidak lagi ada,” tegasnya.
(don)