Ludruk, Kesenian Tradisional yang Terus Eksis Walau Terjepit

Minggu, 30 Desember 2018 - 09:55 WIB
Ludruk, Kesenian Tradisional...
Ludruk, Kesenian Tradisional yang Terus Eksis Walau Terjepit
A A A
Mukidi terbangun dari tidurnya. Perlahan ia menyalakan sebatang dupa yang ditancapkan pada sesajen di altar kecil. Menghadap kepulan asap wangi dupa, Mukidi memanjatkan doa-doa, menatap kaca, dan mengukir wajahnya dengan makeup sederhana. Dengan takzim, perlahan Mukidi mengenakan kostum kebesaran Tandak Wesi, mengubah penampilannya menjadi perempuan cantik.

Tak biasanya, ritual pemain ludruk menjelma menjadi Tandak Wesi yang kerap dilakukan di belakang layar kali ini dipertontonkan langsung di atas panggung. Berdurasi 45 menit, pentas Ludruk Monolog bertajuk "Ritus Travesty" Tandak Cross Gender itu benar-benar menjadi panggung sang tokoh.

Peristiwa demi peristiwa yang lahir lewat monolog diiringi gending dan ritual sang tokoh mampu menyihir penonton yang bergeming menatap panggung Tobong Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Surabaya-tempat berlangsungnya pementasan.

"Iki duwekmu, Tilas tlacake leluhurmu. Lek kon gak gelem, Ya kabur kanginan (Ini milikmu, sejarah leluhurmu. Kalau kamu tak menyukainya, ya hilang)", petikan monolog yang dilontarkan Mukidi seraya menunjukkan tanda kebesaran Tandak Wesi yang terbungkus kain, mengakhiri pentas Jumat (28/12) siang itu.

Mukidi merupakan seorang lelaki tulen, beristri satu, beranak tiga yang sehari-hari menjalani kehidupan sebagai Wedo'anLudruk atau Tandak Wesi. Kisah Mukidi dalam pentas ini diperankan Meimura, yang kerap menjadi sutradara Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Surabaya. Selama pementasan, Meimura sukses menggambarkan dengan lugas bagaimana Mukidi menjalani proses dari laki-laki dan berubah cantik saat di panggung.

"Ini adalah pentas persembahan kami untuk menutup serangkaian program kegiatan Perkumpulan Kesenian Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Surabaya selama 2018," kata Meimura seusai pementasan.

Meimura menegaskan, ludruk adalah kesenian pemeranan murni dan tidak ada transgender. Ritual sebelum pentas sendiri merupakan upaya setiap aktor untuk berkomunikasi dengan sang pencipta sebelum berhubungan yang lainnya. "Ritual dilakukan supaya setelah pentas tidak keterusan menjadi perempuan," tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Asisten Sutradara Arie Setiawan juga menyatakan bahwa ada kekhasan dalam ludruk, yaitu cross gender. "Bagaimana aktor laki-laki bisa menjadi perempuan di panggung, tapi mereka tidak mengubah identitasnya," ucapnya. Selain cross gender, budaya travesty,atau parodi juga menjadi daya tarik tersendiri dalam ludruk.

Tak Lekang Dimakan Zaman

Patut diakui, seni tradisi ludruk tak lekang dalam pertarungan peradaban. Para lakonnya selalu beradaptasi, menyajikan siasat. Seperti era revolusi, ludruk menjadi sarana komunikasi antara pejuang bawah tanah dan rakyat yang menyaksikannya.

Ludruk tak pernah menjadi penjilat. Kesenian itu kini hadir dalam dinamika masyarakat yang bosan dengan perilaku menyimpang. Melalui panggung rakyat, ludruk kerap menyampaikan kegelisahan dan kebosanan rakyat kepada penguasa.

Ludruk pun kembali tampil seperti apa adanya di jalur rakyat jelata. Sekali lagi, kehadiran ludruk bukan sekadar hiburan. Di atas panggung, nasib rakyat jelata ditertawakan. Namun, mereka mengenal perlawanan dan kecintaan pada Tanah Air. Seperti kecintaan pada bangsa, kemapanan dipendarkan, dan kehidupan masyarakat kecil dibumikan.

Gerakan masif dari seni modern pun tak mampu “membunuh” ludruk dengan mudah. Teknologi dengan rangkaian hiburan dan aksi pertunjukan sempat mengepung ludruk dan memojokkannya di ruang gelap kehidupan.

Sekali lagi, ludruk tetap hidup. Melalui pentas kecil-kecil di pinggiran kota, oksigen bagi rakyat jelata itu terus dialirkan. Kidungan yang khas di pertunjukan ludruk seperti menghiasi langit-langit Surabaya. Tak lelah memberikan teror sepanjang malam. Merebut mimpi-mimpi di tiap rumah, menjadikannya pertanda untuk terus waspada.

Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Surabaya salah satu yang masih bertahan di tengah gempuran. Mereka setidaknya memiliki 50 lebih seniman ludruk yang tetap setia di jalur kebudayaan tradisional.

Serangan kebudayaan baru yang menggerus ludruk membuat mereka terjepit. Keterpurukan itu membuat mereka masih bertahan, setia di jalur kebudayaan yang membesarkan nama Surabaya.

Untuk bisa bertahan hidup, mereka masih berkutat dalam pencarian nafkah di luar jalur ludruk. Ada yang menjual koran, berdagang asongan di stasiun, juru parkir di Pasar Wonokromo, sampai tukang batu di pinggiran Surabaya.

Di penghujung tahun ini, Meimura berharap pemerintah terus menaruh perhatian khusus pada kesenian ludruk. Menurut dia, ludruk adalah salah satu kesenian yang berangkat dari kehidupan alamiah masyarakat Indonesia.

Ludruk juga pernah menjadi media perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. "Ludruk bisa dijadikan ikon Kota Surabaya, jangan sampai kekayaan dan eksistensi ludruk di Surabaya ini dibiarkan tanpa ada perhatian khusus dari pemerintah," ucap Meimura penuh harap. Ia menambahkan, selama setahun ini perkumpulan Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Surabaya sudah mempersembahkan 58 pementasan.

"Alhamdulillah ini melebihi target dari Pemerintah Kota Surabaya, yakni 50 pementasan," ujarnya. Tahun depan para seniman ludruk tetap melakukan proses kesenian tradisional ini. Mereka juga berencana menggelar kongres seniman ludruk untuk menentukan nasib ludruk di era milenial. ali masduki
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0802 seconds (0.1#10.140)