Bela Negara Bisa Diaktualisasikan Sesuai Keilmuan dan Profesi

Jum'at, 21 Desember 2018 - 09:52 WIB
Bela Negara Bisa Diaktualisasikan Sesuai Keilmuan dan Profesi
Bela Negara Bisa Diaktualisasikan Sesuai Keilmuan dan Profesi
A A A
JAKARTA - Bela negara merupakan wadah peran dan kontribusi segenap komponen masyarakat yang harus diaktualisasikan.

Komponen masyarakat itu termasuk dari dunia usaha, dunia pendidikan, media, tokoh pemuda, tokoh agama, dan seluruh elemen bangsa pada bidang profesi masing-masing.

Bela negara sebagai upaya agar masyarakat terus mencintai bangsa ini sekaligus untuk membentengi masyarakat agar terhindar dari berbagai macam bentuk upaya adu domba dan paham radikal terorisme.

“Di zaman sekarang ini bela negara tidak hanya dilakukan dengan kekuatan fisik dan angkat senjata, namun harus dilakukan melalui beragam upaya dan profesi,” tutur Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, di Jakarta, Kamis 20 Desember 2018.
Menurut dia, seluruh komponen bangsa dan negara, baik itu masyarakat sipil maupun militer yang saat ini tengah berjuang melakukan tugasnya di seluruh penjuru pelosok Tanah Air sesungguhnya juga sedang melakukan upaya bela negara.Dia menjelaskan, dalam kacamata psikologi, untuk menumbuhkan semangat patriotisme harus ikhlas dan pantang menyerah.Melalui bela negara, sambut dia, seluruh komponen bangsa belajar dan menghayati sejarah pembentukan bangsa Indonesia yang tidak mudah.
“Sesungguhnya secara fisik yang namanya tanah Indonesia itu awalnya tidak ada. Indonesia ini dulu adalah komunitas 'yang dibayangkan' (imagined community) yang secara sengaja dibentuk lewat proses sosial politik yang tidak mudah,” tuturnya.
Hamdi menceritakan, hal itu terlihat dari sejarah berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Pemuda yang selanjutnya berproses terus menjadi "Indonesia".Langkah itu untuk mengatasi fakta-fakta sosial konkret yang sudah ada beratus-ratus tahun lamanya seperti masalah suku, agama, kelompok dan daerah-daerah.
“Titik kulminasinya, yakni Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Kemudian ada empat konsensus dasar ini, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang memang sudah harga mati dan tidak boleh lagi dipertanyakan. Empat konsensus dasar ini tentunya jangan diubah lagi, tapi bagaimana mengartikan dan mengejawantahkannya sesuai zaman boleh saja, dan bahkan harus,” tuturnya.

Berangkat dari kesadaran tersebut, kata dia, membela negara suatu hal yang tidak akan pernah berhenti. Sebab ancaman terhadap empat konsesus dasar tadi selalu ada, baik dari dalam maupun dari luar.

“Sekarang kita sudah menerima bentuk ‘fisik’ negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, tapi tetap plural (Bhinneka Tunggal Ika), harus diterima kenyataan itu. Jadi Indonesia ini harus dipahami sebagai kesinambungan antara aspek masa lalu, masa kini, tantangan kekinian yang harus dijalani, dan harapan ke masa depan,” papar Hamdi.

Menurut dia, ancaman fisik kolonialisme tidak lagi seperti dulu. Saat ini ancaman datang dalam bentuk ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan dan sebagainya.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, kata dia, memperkuat diri dalam seluruh aspek mulai dari kedaulatan, keamanan dalam negeri, serta seluruh sektor ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan.

“Tentunya masing-masing anak-anak bangsa juga harus ikut berkontribusi sesuai dengan peran dan kemampuannya dalam seluruh sektor tadi dengan memperkuat diri kita sendiri dulu di dalam. Baru setelah itu kita bisa punya daya tawar dalam hubungan luar negeri (internasional),” katanya.

Menurut dia, generasi milenial harus menyadari bahwa mereka memiliki kreativitas, daya juang, kemampuan adaptasi yang lebih dari generasi sebelumnya.Potensi yang dimiliki seperti ini dikatakannya harus dimanfaatkan. Jangan dipakai untuk energi negatif, saling mencaci, saling menghujat ataupun terpengaruh paham radikal terorisme dan sebagainya.
“Generasi milenial harus bisa melakukan apa pun, sekecil apa pun, sekonkret apa pun untuk negeri ini. Potensi yang dimiliki sesuai bidang, bakat dan kemampuannya harus dimanfaatkan,” tutur Hamdi.
Dia menyarnkan pemerintah untuk terus menyegarkan kesadaran ingatan sejarah kepada seluruh komponen masyarakat dan bangsa mengenai betapa susahnya menegakan republik yang awalnya hanya “imagined community”.

Menurut Hamdi, Pemerintah harus terus mengimbau agar empat konsensus dasar itu jangan dipertanyakan lagi dan harus terus dijaga dan dipupuk. Langkah itu penting agar bangsa ini tidak terpecah belah.

“Pemerintah barus memberikan peran lebih banyak kepada generasi milenial untuk turut menjadi agen sosialisasi pentingnya menghayati sejarah iondonesia, agen untuk mengejawantahkan pancasila dengan semangat kekinian,” ucapnya.

Hamdi mengingatkan seluruh sektor pendidikan, birokrasi, elemen-elemen sipil society (pers, kampus, ormas,) harus satu kata dalam menyikapi empat konsensus dasar tersebut.

Pemerintah, lanjut dia, harus menjadi fasilitator kepada elemen-elemen masyarakat. “Pemerintah tidak perlu memonopoli soal bela negara ini. Berikan saja rambu-rambunya seperti soal sejarah, empat konsensus, mana yang boleh mana yang tidak. Mengenai bentuk kegitan, metode dan cara-cara bela negara serahkan saja ke elemen-elemen masyarakat. Bangkitkan dan dorong kreativitas masing-masing supaya masyarakat kita memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan terbentengi dari hal-hal negatif,” tutur Hamdi.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7055 seconds (0.1#10.140)