KPU Harus Identifikasi Pemilih Disabilitas untuk Permudah KPPS
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan total penyandang disabilitas sebanyak 1.247.730 pemilih, dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan ke 2 (DPTHP-2) yang digelar di Hotel Menara Peninsula, Slipi, Jakarta Barat, Sabtu (15/12).
Rinciannya, pemilih tunadaksa mencapai 83.182 orang, tunanetra sebanyak 166.364 pemilih, dan tunarungu sebanyak 249.546 orang. Selain itu, tunagrahita sebanyak 332.728 orang, dan disabilitas yang masuk kategori lainnya sebanyak 415.910 pemilih.
Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berharap KPU dapat mengindentifikasi para pemilih disabilitas dengan lebih baik dan komprehensif.
Sehingga pada hari pencoblosan dapat membantu pelayanan dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) secara lebih maksimal.
"Sebab misalnya gini, kenapa jenis disabilitas diperlukan diketahui oleh petugas KPPS? Untuk yang netra misalnya harus mendapat perlakuan sehingga mereka bisa menggunakan hak pilihnya tanpa hambatan. Tuli misalnya, kalau mereka datang ke TPS dipanggil untuk menggunakan hak pilih mereka tidak terkendala karena mereka tidak mendengar panggilan," ujar Titi dalam diskusi di D'Hotel, Jakarta, Ahad (16/12/2018).
Menurut Titi, angka disabilitas yang kurang dari 2 juta tersebut, kurang merefleksikan jenis disabilitas yang ada di masyarakat saat ini termasuk disabilitas mental. Selain itu, KPU juga perlu menegaskan kepada publik agar tidak ada lagi stigma, ataupun subordinasi terhadap mereka.
"Bahwa jaminan hak pilih terhadap pemilih disabilitas mental, itu tidak serta merta diikuti persepsi-persepsi bahwa KPU harus memaksa disabilitas mental pada hari H misalnya sedang kambuh. Karena penggunaan hak pilih adalah hak/pilihan tidak bisa dipaksa. Tapi mendata mereka warga negara yang punya hak pilih, adalah sebuah keharusan bagi KPU sebagai alat atau organ negara," tuturnya.
Rinciannya, pemilih tunadaksa mencapai 83.182 orang, tunanetra sebanyak 166.364 pemilih, dan tunarungu sebanyak 249.546 orang. Selain itu, tunagrahita sebanyak 332.728 orang, dan disabilitas yang masuk kategori lainnya sebanyak 415.910 pemilih.
Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berharap KPU dapat mengindentifikasi para pemilih disabilitas dengan lebih baik dan komprehensif.
Sehingga pada hari pencoblosan dapat membantu pelayanan dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) secara lebih maksimal.
"Sebab misalnya gini, kenapa jenis disabilitas diperlukan diketahui oleh petugas KPPS? Untuk yang netra misalnya harus mendapat perlakuan sehingga mereka bisa menggunakan hak pilihnya tanpa hambatan. Tuli misalnya, kalau mereka datang ke TPS dipanggil untuk menggunakan hak pilih mereka tidak terkendala karena mereka tidak mendengar panggilan," ujar Titi dalam diskusi di D'Hotel, Jakarta, Ahad (16/12/2018).
Menurut Titi, angka disabilitas yang kurang dari 2 juta tersebut, kurang merefleksikan jenis disabilitas yang ada di masyarakat saat ini termasuk disabilitas mental. Selain itu, KPU juga perlu menegaskan kepada publik agar tidak ada lagi stigma, ataupun subordinasi terhadap mereka.
"Bahwa jaminan hak pilih terhadap pemilih disabilitas mental, itu tidak serta merta diikuti persepsi-persepsi bahwa KPU harus memaksa disabilitas mental pada hari H misalnya sedang kambuh. Karena penggunaan hak pilih adalah hak/pilihan tidak bisa dipaksa. Tapi mendata mereka warga negara yang punya hak pilih, adalah sebuah keharusan bagi KPU sebagai alat atau organ negara," tuturnya.
(pur)