Mantan Aktivis Aceh Ingatkan Pelanggaran HAM Era Orde Baru
A
A
A
JAKARTA - Munculnya narasi positif mengenai Orde Baru belakangan ini dikritisi tokoh muda Aceh, Thamren Ananda.
Thamren mengungkapkan rakyat Aceh belum lupa terhadap peristiwa terkait penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1999."Pelanggaran HAM di Aceh semasa rezim Soeharto lebih kejam dibanding kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah," tutur Thamren dalam keterangannya, Selasa (11/12/2018).
Menurut Thamren, apa yang disaksikan tentang kejahatan Orba kepada Aceh bukan hal baru. Sebelum ini, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di provinsi berjuluk Serambi Mekkah tersebut.
Hasilnya, kata Thamren, ditemukan adanya perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa dan perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, dalam peristiwa tersebut.
Dia menegaskan masyarakat Aceh masih merasakan luka akibat kejahatan HAM tersebut. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer. "Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan penderitaan rakyat di Aceh kecuali kata biadab," tutur mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) ini.
Menurut Thamren, rezim Soeharto ini kualitasnya hampir sama dengan yang dilakukan Pol Pot di 'the killing field' Kamboja. "Kalau di Kamboja dikenal dengan istilah 'the killing field', maka di Aceh realitas ladang pembantaian itu adalah 'Bukit Tengkorak' yang jumlahnya sekitar 35 tempat, suatu jumlah yang melebihi jumlah ladang pembantaian di Kamboja," ujarnya.
Oleh karena itu, Thamren mengatakan, pelanggaran HAM di Aceh harus diusut tuntas. Para pelaku dan aktor intelektualnya harus segera dimintai pertanggungjawabannya.
"Dengan pengusutan secara transparan dan tuntas pelanggaran hukum dan HAM di daerah Aceh, hal ini tidak akan menimbulkan spekulasi yang dapat merugikan pihak ABRI (sebelum TNI-red) dan/atau tidak akan ada upaya balas dendam dari generasi yang akan datang," ujarnya.
Dengan pengusutan tuntas, lanjutnya, dunia internasional akan lebih percaya terhadap negara Indonesia. Yakni sebagai negara yang selalu memperhatikan penegakan hukum dan HAM.
Thamren mengungkapkan rakyat Aceh belum lupa terhadap peristiwa terkait penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1999."Pelanggaran HAM di Aceh semasa rezim Soeharto lebih kejam dibanding kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah," tutur Thamren dalam keterangannya, Selasa (11/12/2018).
Menurut Thamren, apa yang disaksikan tentang kejahatan Orba kepada Aceh bukan hal baru. Sebelum ini, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di provinsi berjuluk Serambi Mekkah tersebut.
Hasilnya, kata Thamren, ditemukan adanya perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa dan perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, dalam peristiwa tersebut.
Dia menegaskan masyarakat Aceh masih merasakan luka akibat kejahatan HAM tersebut. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer. "Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan penderitaan rakyat di Aceh kecuali kata biadab," tutur mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) ini.
Menurut Thamren, rezim Soeharto ini kualitasnya hampir sama dengan yang dilakukan Pol Pot di 'the killing field' Kamboja. "Kalau di Kamboja dikenal dengan istilah 'the killing field', maka di Aceh realitas ladang pembantaian itu adalah 'Bukit Tengkorak' yang jumlahnya sekitar 35 tempat, suatu jumlah yang melebihi jumlah ladang pembantaian di Kamboja," ujarnya.
Oleh karena itu, Thamren mengatakan, pelanggaran HAM di Aceh harus diusut tuntas. Para pelaku dan aktor intelektualnya harus segera dimintai pertanggungjawabannya.
"Dengan pengusutan secara transparan dan tuntas pelanggaran hukum dan HAM di daerah Aceh, hal ini tidak akan menimbulkan spekulasi yang dapat merugikan pihak ABRI (sebelum TNI-red) dan/atau tidak akan ada upaya balas dendam dari generasi yang akan datang," ujarnya.
Dengan pengusutan tuntas, lanjutnya, dunia internasional akan lebih percaya terhadap negara Indonesia. Yakni sebagai negara yang selalu memperhatikan penegakan hukum dan HAM.
(dam)