Lawan Radikalisme, Mahasiswa Diminta Lakukan Kontra Narasi
A
A
A
JAKARTA - Serangan propaganda radikalisme dan terorisme ke lingkungan kampus dinilai mengkhawatirkan. Bahkan dalam beberapa hari ini ramai diberitakan mengenai beberapa kampus yang terpapar radikalisme.Fakta tersebut harus dilawan oleh para mahasiswa sebagai sasaran utama propaganda paham-paham negatif. Bila tidak, kehancuran generasi muda harapan Indonesia serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tinggal menunggu waktu.
“Adik-adik mahasiwa harus bisa melakukan kontranarasi terhadap propaganda radikalisme yang masuk ke kampus dan bersama-sama dengan kami melawan hoaks, radikalisme, terorisme, baik secara online maupun online,” tutur Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Polisi Hamli.
Hamli mengungkapkan itu saat memberikan kuliah kebangsaan di Akademi Center Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, Palembang, Rabu 21 November 2018.
Kuliah Kebangsaan itu juga menghadirkan dua narasumber lain, Kapolda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Polisi Zulkarnaen Adinegara dan Rektor UIN Raden Fatah, HM Sirozi.
Hamli melanjutkan, di era milenial, kecanggihan teknologi komunikasi juga menjadi sarana utama kelompok radikal dalam melancarkan propaganda.Bahkan di awal munculnya terorisme, bos Al Qaeda Osama bin Laden sudah mencanangkan program untuk menguasai komunikasi dan dunia maya dalam menyebarkan propaganda dan rencana aksi mereka.
Strategi itu dilanjutkan kelompok teroris lainnya, ISIS yang juga sukses merekrut pengikut dari seluruh penjuru dunia melalui komunikasi dunia maya.
Sekarang, meski Al Qaeda dan ISIS di Timur Tengah sudah "terkapar", namun para simpatisan mereka di Indonesia, dan kelompok-kelompok radikal lainnya juga menjadikan menggunakan cara-cara tersebut dalam melancarkan aksinya.
Generasi muda, terutama mahasiswa yang dikenal kritis dan haus pengetahuan, tetap menjadi target. Fakta itu harus benar-benar disadari para generasi muda, apalagi faktanya di Indonesia sudah banyak kampus yang terpapar radikalisme dan terorisme.
“Mahasiswa dan generasi muda pada umumnya, memiliki potensi besar dalam melawan propaganda yang ingin merongrong kedamaian dan keutuhan NKRI itu. Tentunya dengan cara, gaya, dan bahasa anak muda,” kata Hamli.
Dia melanjutkan, peran aktif mahasiswa dan generasi muda membuat kontra narasi melawan propaganda radikalisme sangat penting.Konflik yang terjadi di Timur Tengah berawal dari radikalisme yang kemudian memuncak menjadi terorisme. Berawal dari perang propaganda, baik itu melalui hoaks, ujaran kebencian, berakhir menjadi perang saudara.
Salah satunya di Suriah. Dahulu Suriah adalah negara yang sama dengan Indonesia, yakni dihuni dengan berbagai agama dan etnis, serta memiliki banyak peninggalan bersejarah serta tempat-tempat yang indah.
Hingga suatu ketika muncul konflik yang berkepanjangan. Di situlah kelompok radikal masuk memperkeruh suasana dengan melakukan berbagai cara seperti hoaks dan adu domba dengan isu SARA.
Kondisi ini juga pernah terjadi di Indonesia, saat konflik Poso dan Ambon. Di sana, para pelaku radikalisme juga masuk sehingga kasus itu sangat sulit diselesaikan. Begitu juga di negara tetangga Filipina, di Marawi.
“Intinya kelompok radikal selalu mencari daerah konflik untuk melakukan jihad, buat mereka jihad itu perang, bukan yang lain. Padahal dalam Islam, jihad itu tidak hanya perang, tapi jihad dengan menuntut ilmu dan mencari nafkah,” tutur Hamli.
Dia menegaskan akar terorisme biasanya berasal dari konflik wilayah yang membuat kondisi suatu negara menjadi tidak stabil. Di situlah terorisme bisa tumbuh subur.
Hamli juga menegaskan terorisme bukan isapan jempol atau rekayasa, tapi kenyataannya memang ada. Seperti di Indonesia dengan serangkaian teror bom dari tahun 2000 sampai sekarang.
Jenderal bintang satu yang juga ahli kimia ini memaparkan berbagai fenomena terorisme, terutama di Indonesia. Diawali potensi ancaman di Indonesia.Menurut dia, potensi ancaman radikalisme di Indonesia sangat besar karena Indonesia terdiri dari berbagai macan agama, suku, ras, dan lain-lain. Hal ini harus terus direduksi dan salah satunya dengan penyebaran konten positif di media sosial.
Mengutip hasil penelitian INSEP pimpinan almarhum Prof Sarlito Wirawan tahun 2012 terkait pelaku jihad ke Afghanistan, jelas Hamli, dari 100 responden dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, hasilnya 45,5 persen karena ideologi agama dan pemahaman agama yang keliru.Kemudian solidaritas komunal yang negatif sebanyak 20%, kemudian 12,7 persen militan, sedangkan 9% karena kondisi nasional negaranya.
Untuk itu, Hamli mengajak para generasi muda untuk waspada terhadap lingkungan. Pasalnya, mereka-mereka yang terlibat kelompok radikalisme dan terorisme biasanya menggunakan narasi-narasi yang dibangun untuk memengaruhi targetnya.Menurut dia, narasi yang dibangun kelompok radikal biasanya mengangkat isu Islam terzalimi, Islam dipojokkan, Islam dianaktirikan. Selain itu, mereka juga suka menggunakan sentimen kepentingan asing.
“Kalau ada kata itu anda harus waspada. Mereka selalu membawa emosi agar kita melawan asing, pemerintah, yang dianggapi menzalimi umat Islam. Ketika itu dilontarkan maka harus waspada dan harus bertanya kepada orang yang lebih tahu, tanya ke dosen, rektor, kiai, ulama, yang lebih paham,” tutur Brigjen Hamli.
“Adik-adik mahasiwa harus bisa melakukan kontranarasi terhadap propaganda radikalisme yang masuk ke kampus dan bersama-sama dengan kami melawan hoaks, radikalisme, terorisme, baik secara online maupun online,” tutur Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Polisi Hamli.
Hamli mengungkapkan itu saat memberikan kuliah kebangsaan di Akademi Center Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, Palembang, Rabu 21 November 2018.
Kuliah Kebangsaan itu juga menghadirkan dua narasumber lain, Kapolda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Polisi Zulkarnaen Adinegara dan Rektor UIN Raden Fatah, HM Sirozi.
Hamli melanjutkan, di era milenial, kecanggihan teknologi komunikasi juga menjadi sarana utama kelompok radikal dalam melancarkan propaganda.Bahkan di awal munculnya terorisme, bos Al Qaeda Osama bin Laden sudah mencanangkan program untuk menguasai komunikasi dan dunia maya dalam menyebarkan propaganda dan rencana aksi mereka.
Strategi itu dilanjutkan kelompok teroris lainnya, ISIS yang juga sukses merekrut pengikut dari seluruh penjuru dunia melalui komunikasi dunia maya.
Sekarang, meski Al Qaeda dan ISIS di Timur Tengah sudah "terkapar", namun para simpatisan mereka di Indonesia, dan kelompok-kelompok radikal lainnya juga menjadikan menggunakan cara-cara tersebut dalam melancarkan aksinya.
Generasi muda, terutama mahasiswa yang dikenal kritis dan haus pengetahuan, tetap menjadi target. Fakta itu harus benar-benar disadari para generasi muda, apalagi faktanya di Indonesia sudah banyak kampus yang terpapar radikalisme dan terorisme.
“Mahasiswa dan generasi muda pada umumnya, memiliki potensi besar dalam melawan propaganda yang ingin merongrong kedamaian dan keutuhan NKRI itu. Tentunya dengan cara, gaya, dan bahasa anak muda,” kata Hamli.
Dia melanjutkan, peran aktif mahasiswa dan generasi muda membuat kontra narasi melawan propaganda radikalisme sangat penting.Konflik yang terjadi di Timur Tengah berawal dari radikalisme yang kemudian memuncak menjadi terorisme. Berawal dari perang propaganda, baik itu melalui hoaks, ujaran kebencian, berakhir menjadi perang saudara.
Salah satunya di Suriah. Dahulu Suriah adalah negara yang sama dengan Indonesia, yakni dihuni dengan berbagai agama dan etnis, serta memiliki banyak peninggalan bersejarah serta tempat-tempat yang indah.
Hingga suatu ketika muncul konflik yang berkepanjangan. Di situlah kelompok radikal masuk memperkeruh suasana dengan melakukan berbagai cara seperti hoaks dan adu domba dengan isu SARA.
Kondisi ini juga pernah terjadi di Indonesia, saat konflik Poso dan Ambon. Di sana, para pelaku radikalisme juga masuk sehingga kasus itu sangat sulit diselesaikan. Begitu juga di negara tetangga Filipina, di Marawi.
“Intinya kelompok radikal selalu mencari daerah konflik untuk melakukan jihad, buat mereka jihad itu perang, bukan yang lain. Padahal dalam Islam, jihad itu tidak hanya perang, tapi jihad dengan menuntut ilmu dan mencari nafkah,” tutur Hamli.
Dia menegaskan akar terorisme biasanya berasal dari konflik wilayah yang membuat kondisi suatu negara menjadi tidak stabil. Di situlah terorisme bisa tumbuh subur.
Hamli juga menegaskan terorisme bukan isapan jempol atau rekayasa, tapi kenyataannya memang ada. Seperti di Indonesia dengan serangkaian teror bom dari tahun 2000 sampai sekarang.
Jenderal bintang satu yang juga ahli kimia ini memaparkan berbagai fenomena terorisme, terutama di Indonesia. Diawali potensi ancaman di Indonesia.Menurut dia, potensi ancaman radikalisme di Indonesia sangat besar karena Indonesia terdiri dari berbagai macan agama, suku, ras, dan lain-lain. Hal ini harus terus direduksi dan salah satunya dengan penyebaran konten positif di media sosial.
Mengutip hasil penelitian INSEP pimpinan almarhum Prof Sarlito Wirawan tahun 2012 terkait pelaku jihad ke Afghanistan, jelas Hamli, dari 100 responden dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, hasilnya 45,5 persen karena ideologi agama dan pemahaman agama yang keliru.Kemudian solidaritas komunal yang negatif sebanyak 20%, kemudian 12,7 persen militan, sedangkan 9% karena kondisi nasional negaranya.
Untuk itu, Hamli mengajak para generasi muda untuk waspada terhadap lingkungan. Pasalnya, mereka-mereka yang terlibat kelompok radikalisme dan terorisme biasanya menggunakan narasi-narasi yang dibangun untuk memengaruhi targetnya.Menurut dia, narasi yang dibangun kelompok radikal biasanya mengangkat isu Islam terzalimi, Islam dipojokkan, Islam dianaktirikan. Selain itu, mereka juga suka menggunakan sentimen kepentingan asing.
“Kalau ada kata itu anda harus waspada. Mereka selalu membawa emosi agar kita melawan asing, pemerintah, yang dianggapi menzalimi umat Islam. Ketika itu dilontarkan maka harus waspada dan harus bertanya kepada orang yang lebih tahu, tanya ke dosen, rektor, kiai, ulama, yang lebih paham,” tutur Brigjen Hamli.
(dam)