UWRF ke-15, Merayakan Pertukaran Ide dan Gagasan
A
A
A
UBUD - Membaca dan menulis ampuh sebagai cara menyembuhkan diri dari trauma. Itulah awal penyelengaraan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), yang diselenggarakan pertama kali lima belastahun yang lalu. Trauma yang hendak disembuhkan waktu itu adalah dampak tragedi Bom Bali.
Kini, UWRF telah menjadi wadah bagi para penulis, seniman, sutradara, pegiat, dan cendekiawan dari seluruh dunia untuk merayakan gagasan, ide, serta kisah-kisah hebat mereka. Dari Indonesia ke Jepang, Pakistan ke Inggris, Spanyol ke Vietnam, lebih dari 180 pembicara dari 30 negara termasuk Indonesia berkumpul di UWRF untuk merayakan tahun ke-15 festival.
UWRF ke-15 yang digelar pada 24-28 Oktober lalu, menghadirkan lebih dari 200 program acara, yaitu panel diskusi, lokakarya, acara spesial, pemutaran film, peluncuran buku, pameran seni, pertunjukan musik, dan masih banyak lagi.
UWRF dimulai dengan Press Call di Desa Visesa Ubud bersama Founder Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana dan Co-Founder & Director UWRF Janet DeNeefe serta pembicara-pembicara utama UWRF 2018, seperti Hanif Kureishi dari Inggris, penulis dan jurnalis pemenang penghargaan Reni Eddo-Lodge, Avianti Armand, dan Norman Erikson Pasaribu.
Pembahasan mengenai feminisme, keberagaman, kebebasan berekspresi, sastra yang berkembang dan manfaatnya yang meluas terangkat pun dalam tanya jawab bersama para pembicara dan jurnalis yang hadir dalam Press Call tersebut.
Press Call juga menjabarkan penjelasan menarik mengenai ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’ sebagai tema yang diangkat tahun ini, yaitu tentang pencarian manusia akan kebahagiaan di dalam dunia yang kita ciptakan. Serta perjalanan UWRF hingga memenuhi salah satu misinya menjadi jembatan bagi para penulis Indonesia agar karyanya lebih dikenal dunia.
“Ketika kita merenungkan 15 tahun terakhir dan bagaimana festival telah berkembang, ketika kita melihat kembali interaksi antara para penulis dan pembaca Indonesia dan internasional, sekiranya ada satu hal yang cukup jelas. Sebagian besar peserta festival awalnya mengatakan bahwa mereka tidak tahu apapun tentang penulis Indonesia, tetapi sekarang telah berubah. Orang-orang duduk [di panel diskusi UWRF] dan benar-benar memperhatikan,” ujarnya.
UWRF resmi dibuka dalama cara Gala Opening pada Rabu (24/10/18) malam di Puri Agung Ubud. Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 2009-2014 sekaligus penulis buku Does ASEAN Matter: A View From Within Marty Natalegawa didapuk untuk memberikan sambutan dan membuka perayaan sastra, seni, dan budaya terbesar di Asia Tenggara ini.
UWRF juga menganugerahkan Lifetime Achievement Award kepada salah satu penulis paling dicintai di Indonesia yang masih berkarya hingga usia senja, Sapardi Djoko Damono.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga hadir dalam perhelatan ini. Dia memberi sambutan pada hari kedua, Kamis (25/10/18) di Neka Museum. Dalam panel diskusi Sink It Menteri Susi menjadi magnet tersendiri bagi UWRF 2018. Menteri Susi membahas berbagai hal menarik mulai dari kasus kapal pemancingan ilegal, pentingnya kekuatan maritim di Indonesia, polusi dan limbah di laut Indonesia, hingga isu maritim internasional.
Pada hari pertama disemarakkan kehadiran Sapardi Djoko Damono, Warih Wisatsana, Gratiagusti Channaya Rompas, dan Andre Septiawan dalam panel diskusi Higher Self. Para penyair dari generasi berbeda ini mengungkapkan sumber inspirasi penciptaan puisi, penemuan jati diri lewat puisi, hingga isu-isu menarik yang bisa diolah menjadi sebuah puisi.
UWRF menghadirkan sesi Twenty Years Later bersama penyair sekaligus pegiat asal Bali Saras Dewi dan Presiden Direktur Mizan Group sekaligus penulis buku Islam: The Faith of Love and Happiness Haidar Bagir, pada hari ketiga. Sesi ini secara khusus mendiskusikan mengenai hal-hal yang belum berhasil dicapai Indonesia dalam era reformasi, kebebasan politik di Indonesia, hingga tingginya tingkat intoleransi di negeri ini.
Sesi Envolving Islam yang menghadirkan Janet Steele, Sidney Jones, Haidar Bagir, dan Dina Zaman juga cukup menyita perhatian. Pembahasan mengenai kemiripan dan perbedaan Islam di Indonesia dan Malaysia hingga kebijakan politik yang dibuat berdasarkan Islam didiskusikan secara mendalam.
Di samping pembahasan politik dan agama, ada pula sesi mengenai film, yaitu sesi The Seen and Unseen bersama sutradara berbakat Kamila Andini. Pada hari keempat, UWRF menggelar sesi The Pledge di Taman Baca bersama peraih Online Indonesian Language Reviewer Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Ivan Lanin, penulis esai berbahasa Inggris In The Hands Of a Mischievous God Theodora Sarah Abigail, penulis sekaligus pendiri Comma Books Rain Chudori, penulis Myth, Magic dan Mystery in Bali Jean Couteau.
Sesi ini mengulik penyebab kesalahan berbahasa hingga banyaknya generasi muda Indonesia yang kini lebih memilih untuk bercakap dalam bahasa asing di kehidupan sehari-hari mereka.
“Akan sangat tepat jika di Indonesia ini diterapkan perencanaan bahasa. Karena tanpa perencanaan bahasa, membiarkan orang berbahasa seenaknya seperti membiarkan orang mengemudi seenaknya, ujar Ivan Lanin.
“Para milenial menganggap rendah bahasa Indonesia dan bahasa daerah karena mereka tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari bahasa tersebut. Untuk itu, kita harus mengingatkan kembali bahwa bahasa kita pantas untuk dicintai. Tidak hanya membuat mereka peduli pada bahasa kita tetapi yang juga kepada negara kita,” sambung Theodora Sarah Abigail.
UWRF 2018 juga menghadirkan lima penulis emerging yang dipilih dari Seleksi Penulis Emerging Indonesia yang datang dari beberapa kota di pelosok Indonesia, untuk tampil dalam sesi-sesi diskusi bersama pembicara-pembicara terkenal dunia dan meluncurkan buku Antologi 2018.
Pada hari terakhir, UWRF 2018 menghadirkan Against All Odds bersama Yenny Wahid yang disambut antusias sampai-sampai sesi tanya jawab dengan Yenny Wahid dilanjutkan di Green Room Neka Museum.
Panel diskusi penutup yang digelar di Indus Restaurant menghadirkan Fifteen Years of UWRF sebagai perayaan tahun ke-15 UWRF. Janet DeNeefe menjadi panelis sesi, ditemani oleh Ketut Suardana, Kadek Purnami, danI Wayan Juniarta. Sesi ini menceritakan dapur UWRF.
Wayan menuturkan, pihaknya menghadirkan panel untuk melihat bagaimana efek dari sosial media terhadap lanskap sastra.
"Jika kalian melihat buku program kami tahun ini, kalian bisa melihat meningkatnya jumlah penulis muda dan penulis wanita dari yang sudah mendapat nama maupun yang masih merintis karir kepenulisannya. Meski orang-orang dibalik festival ini menua, tetapi festival ini sendiri justru semakin muda. Kita mengadaptasi demografi baru para peserta festival. Festival ini pun tidak akan selamanya menjadi festival sastra, seni, dan budaya saja. Suatu hari nanti, bisa saja Ubud Writers & Readers Festival menjadi sebuah festival multidisiplin yang paling dinantikan di dunia,” tutur I Wayan Juniarta sang manajer Manager UWRF.
DeNeefe berharap UWRF lebih dari sekadar festival kepenulisan. Tapi juga merupakan festival yang membahas isu global seperti hak asasi manusia, festival yang juga menampilkan ragam kesenian.
Kini, UWRF telah menjadi wadah bagi para penulis, seniman, sutradara, pegiat, dan cendekiawan dari seluruh dunia untuk merayakan gagasan, ide, serta kisah-kisah hebat mereka. Dari Indonesia ke Jepang, Pakistan ke Inggris, Spanyol ke Vietnam, lebih dari 180 pembicara dari 30 negara termasuk Indonesia berkumpul di UWRF untuk merayakan tahun ke-15 festival.
UWRF ke-15 yang digelar pada 24-28 Oktober lalu, menghadirkan lebih dari 200 program acara, yaitu panel diskusi, lokakarya, acara spesial, pemutaran film, peluncuran buku, pameran seni, pertunjukan musik, dan masih banyak lagi.
UWRF dimulai dengan Press Call di Desa Visesa Ubud bersama Founder Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana dan Co-Founder & Director UWRF Janet DeNeefe serta pembicara-pembicara utama UWRF 2018, seperti Hanif Kureishi dari Inggris, penulis dan jurnalis pemenang penghargaan Reni Eddo-Lodge, Avianti Armand, dan Norman Erikson Pasaribu.
Pembahasan mengenai feminisme, keberagaman, kebebasan berekspresi, sastra yang berkembang dan manfaatnya yang meluas terangkat pun dalam tanya jawab bersama para pembicara dan jurnalis yang hadir dalam Press Call tersebut.
Press Call juga menjabarkan penjelasan menarik mengenai ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’ sebagai tema yang diangkat tahun ini, yaitu tentang pencarian manusia akan kebahagiaan di dalam dunia yang kita ciptakan. Serta perjalanan UWRF hingga memenuhi salah satu misinya menjadi jembatan bagi para penulis Indonesia agar karyanya lebih dikenal dunia.
“Ketika kita merenungkan 15 tahun terakhir dan bagaimana festival telah berkembang, ketika kita melihat kembali interaksi antara para penulis dan pembaca Indonesia dan internasional, sekiranya ada satu hal yang cukup jelas. Sebagian besar peserta festival awalnya mengatakan bahwa mereka tidak tahu apapun tentang penulis Indonesia, tetapi sekarang telah berubah. Orang-orang duduk [di panel diskusi UWRF] dan benar-benar memperhatikan,” ujarnya.
UWRF resmi dibuka dalama cara Gala Opening pada Rabu (24/10/18) malam di Puri Agung Ubud. Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 2009-2014 sekaligus penulis buku Does ASEAN Matter: A View From Within Marty Natalegawa didapuk untuk memberikan sambutan dan membuka perayaan sastra, seni, dan budaya terbesar di Asia Tenggara ini.
UWRF juga menganugerahkan Lifetime Achievement Award kepada salah satu penulis paling dicintai di Indonesia yang masih berkarya hingga usia senja, Sapardi Djoko Damono.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga hadir dalam perhelatan ini. Dia memberi sambutan pada hari kedua, Kamis (25/10/18) di Neka Museum. Dalam panel diskusi Sink It Menteri Susi menjadi magnet tersendiri bagi UWRF 2018. Menteri Susi membahas berbagai hal menarik mulai dari kasus kapal pemancingan ilegal, pentingnya kekuatan maritim di Indonesia, polusi dan limbah di laut Indonesia, hingga isu maritim internasional.
Pada hari pertama disemarakkan kehadiran Sapardi Djoko Damono, Warih Wisatsana, Gratiagusti Channaya Rompas, dan Andre Septiawan dalam panel diskusi Higher Self. Para penyair dari generasi berbeda ini mengungkapkan sumber inspirasi penciptaan puisi, penemuan jati diri lewat puisi, hingga isu-isu menarik yang bisa diolah menjadi sebuah puisi.
UWRF menghadirkan sesi Twenty Years Later bersama penyair sekaligus pegiat asal Bali Saras Dewi dan Presiden Direktur Mizan Group sekaligus penulis buku Islam: The Faith of Love and Happiness Haidar Bagir, pada hari ketiga. Sesi ini secara khusus mendiskusikan mengenai hal-hal yang belum berhasil dicapai Indonesia dalam era reformasi, kebebasan politik di Indonesia, hingga tingginya tingkat intoleransi di negeri ini.
Sesi Envolving Islam yang menghadirkan Janet Steele, Sidney Jones, Haidar Bagir, dan Dina Zaman juga cukup menyita perhatian. Pembahasan mengenai kemiripan dan perbedaan Islam di Indonesia dan Malaysia hingga kebijakan politik yang dibuat berdasarkan Islam didiskusikan secara mendalam.
Di samping pembahasan politik dan agama, ada pula sesi mengenai film, yaitu sesi The Seen and Unseen bersama sutradara berbakat Kamila Andini. Pada hari keempat, UWRF menggelar sesi The Pledge di Taman Baca bersama peraih Online Indonesian Language Reviewer Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Ivan Lanin, penulis esai berbahasa Inggris In The Hands Of a Mischievous God Theodora Sarah Abigail, penulis sekaligus pendiri Comma Books Rain Chudori, penulis Myth, Magic dan Mystery in Bali Jean Couteau.
Sesi ini mengulik penyebab kesalahan berbahasa hingga banyaknya generasi muda Indonesia yang kini lebih memilih untuk bercakap dalam bahasa asing di kehidupan sehari-hari mereka.
“Akan sangat tepat jika di Indonesia ini diterapkan perencanaan bahasa. Karena tanpa perencanaan bahasa, membiarkan orang berbahasa seenaknya seperti membiarkan orang mengemudi seenaknya, ujar Ivan Lanin.
“Para milenial menganggap rendah bahasa Indonesia dan bahasa daerah karena mereka tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari bahasa tersebut. Untuk itu, kita harus mengingatkan kembali bahwa bahasa kita pantas untuk dicintai. Tidak hanya membuat mereka peduli pada bahasa kita tetapi yang juga kepada negara kita,” sambung Theodora Sarah Abigail.
UWRF 2018 juga menghadirkan lima penulis emerging yang dipilih dari Seleksi Penulis Emerging Indonesia yang datang dari beberapa kota di pelosok Indonesia, untuk tampil dalam sesi-sesi diskusi bersama pembicara-pembicara terkenal dunia dan meluncurkan buku Antologi 2018.
Pada hari terakhir, UWRF 2018 menghadirkan Against All Odds bersama Yenny Wahid yang disambut antusias sampai-sampai sesi tanya jawab dengan Yenny Wahid dilanjutkan di Green Room Neka Museum.
Panel diskusi penutup yang digelar di Indus Restaurant menghadirkan Fifteen Years of UWRF sebagai perayaan tahun ke-15 UWRF. Janet DeNeefe menjadi panelis sesi, ditemani oleh Ketut Suardana, Kadek Purnami, danI Wayan Juniarta. Sesi ini menceritakan dapur UWRF.
Wayan menuturkan, pihaknya menghadirkan panel untuk melihat bagaimana efek dari sosial media terhadap lanskap sastra.
"Jika kalian melihat buku program kami tahun ini, kalian bisa melihat meningkatnya jumlah penulis muda dan penulis wanita dari yang sudah mendapat nama maupun yang masih merintis karir kepenulisannya. Meski orang-orang dibalik festival ini menua, tetapi festival ini sendiri justru semakin muda. Kita mengadaptasi demografi baru para peserta festival. Festival ini pun tidak akan selamanya menjadi festival sastra, seni, dan budaya saja. Suatu hari nanti, bisa saja Ubud Writers & Readers Festival menjadi sebuah festival multidisiplin yang paling dinantikan di dunia,” tutur I Wayan Juniarta sang manajer Manager UWRF.
DeNeefe berharap UWRF lebih dari sekadar festival kepenulisan. Tapi juga merupakan festival yang membahas isu global seperti hak asasi manusia, festival yang juga menampilkan ragam kesenian.
(akn)