Eks Cagub Sultra dan Wali Kota Kendari Divonis 5,5 Tahun Penjara

Rabu, 31 Oktober 2018 - 21:18 WIB
Eks Cagub Sultra dan Wali Kota Kendari Divonis 5,5 Tahun Penjara
Eks Cagub Sultra dan Wali Kota Kendari Divonis 5,5 Tahun Penjara
A A A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun dan Wali Kota Kendari nonaktif Adriatma Dwi Putra‎ selama 5 tahun 6 bulan penjara.‎

Bapak dan anak ini juga dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik berupa hak dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun.

Di persidangan lain, terdakwa Fatmawaty Faqih selaku Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari sekaligus orang kepercayaan Asrun divonis dengan pidana 4 tahun 8 bulan penjara.‎ Fatmawaty juga dikenakan denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan.

Meski persidangan Asrun dan Adriatma serta Fatmawaty dilakukan terpisah, tapi perkara mereka ditangani dan diadili oleh majelis hakim dengan komposisi yang sama.

Maj‎elis hakim yang diketuai Hariono dengan anggota di antaranya Hastoko dan Ugo menilai, Asrun selaku Wali Kota Kendari 2012-2017 sekaligus calon gubernur Sulawesi Tenggara dalam Pilkada Serentak 2018 dan Adriatma Dwi Putra selaku Wali Kota Kendari periode 2017-2022 bersama Fatmawaty Faqih telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi ‎(tipikor) dalam delik penerimaan suap dengan total Rp6,8 miliar.

Suap diterima secara berlanjut dari ‎terpidana pemberi suap Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah yang telah divonis 2 tahun penjara.

Menurut Majelis, total penerimaan suap tersebut terbagi dalam dua bagian ‎terkait dengan pengurusan tiga proyek. Penerimaan pertama oleh Asrun bersama Fatmawati Rp4 miliar terkait dua proyek yang dimenangkan dan digarap PT SBN saat Asrun menjabat wali kota.

Pertama, lelang proyek pekerjaan multi years (tahun jamak) pembangunan gedung kantor DPRD Kota Kendari tahun anggaran 2014-2017 dengan nilai proyek sebesar Rp49,228 miliar. Kedua, pembangunan Tambat Labuh Zona III Taman Wisata Teluk-Ujung Kendari Beach 2014-2017 dengan anggaran lebih Rp19,933 miliar.

Penerimaan kedua, Asrun, Adriatma, dan Fatmawaty menerima Rp2,8 miliar. Setelah operasi tangkap tangan pada Februari 2018 dan saat penyitaan Maret 2018 uang tersebut berkurang Rp2.798.300.000. Uang tersebut dalam pecahan Rp50.000 yang rencananya dipakai untuk kebutuhan dana kampanye Asrun sebagai calon gubernur Sultra dan dibagi-bagikan ke masyarakat.

Penerimaan suap ini‎ karena Adriatma telah memenangkan PT SBN dalam lelang proyek pekerjaan multi years pembangunan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port 2018-2020 dengan nilai kontrak lebih Rp60,168 miliar.‎

Selain itu majelis hakim memastikan, masih berdasarkan fakta-fakta persidangan yang terungkap bahwa Asrun juga menerima uang Rp12 miliar dari para kontraktor di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari.

Uang lebih dulu melalui Fatmawaty kemudian dititipkan ke Hasmun. Setelah itu ditransfer dan ditukarkan dalam bentuk valuta asing di PT Porto Valas yang beralamat di Sunter, Jakarta Utara. Sebagian dari uang tersebut yakni Rp5 miliar dipergunakan untuk pembayaran 'mahar politik' Asrun ke PDIP guna mendapatkan rekomendasi sebagai calon gubernur Sultra yang diusung PDIP.‎

"Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Adriatma Dwi Putra‎ dan Asrun dengan pidana penjara selama 5 tahun dan 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan," tutur hakim Hariono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/10).

Dia mengatakan, dari fakta-fakta persidangan telah dipastikan Asrun dan Adriatma dengan memanfaatkan dan menyalahgunakan jabatan publik yang mereka emban guna melakukan perbuatan korupsi. Karenanya majelis hakim sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terhadap bapak dan anak tersebut.

"Menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik masing-masing (terhadap Adriatma dan Asrun) selama 2 tahun setelah masing-masing selesai menjalani pidana pokok," tegasnya.

Hakim Hariono mengatakan, pencabutan hak politik memiliki tujuan penting. Pertama, untuk melindungi publik atau masyarakat terkait kemungkinan terpilihnya kepala daerah atau pejabat publik yang telah divonis akibat perkara korupsi.

Kedua, pejabat publik atau kepala daerah harusnya memberikan contoh dan teladan yang baik serta selayaknya tidak berperilaku koruptif.

Majelis menggariskan, Asrun, Adriatma, dan Fatmawaty telah terbukti melanggar Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan.

Yang meringankan yakni belum pernah dihukum, bersikap sopan dan memiliki tanggungan keluarga. Pertimbangan memberatkan bagi ketiganya ada tiga. Pertama, tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi. Kedua, tidak mengakui perbuatan. Ketiga, tidak menyesali perbuatan.

Majelis hakim menyampaikan, terhadap putusan ini baik Asrun, Adriatma, Fatmawaty maupun JPU memiliki waktu sepekan untuk pikir-pikir dan menentukan sikap apakah menerima atau mengajukan banding. Asrun, Adriatma, dan Fatmawaty maupun JPU memastikan masih pikir-pikir.

"Baik terima kasih Yang Mulia Majelis Hakim dan JPU, saya pikir-pikir. Setelah mendengar putusan majelis hakim, saya telah berdiskusi dengan penasihat hukum. Dari saya pribadi, saya butuh waktu kurang lebih satu minggu. Saya juga sudah berdiskusi dengan keluarga, karena keluarga juga yang merasakan hukuman pidana yang saya jalani ini," ujar Adriatma.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5318 seconds (0.1#10.140)