Bantuan Menyusut, Penanganan HIV/AIDS di Indonesia Terancam
A
A
A
JAKARTA - Organisasi AIDS terbesar di dunia, AIDS Healthcare Foundation (AHF), mencemaskan berkurangnya bantuan internasioanal untuk penanganan penderita HIV/AIDS di negara – negara berkembang, termasuk Indonesia.
Padahal, kemampaun pemerintah Indonesia untuk menangani pengidap HIV/AIDS belum memadai. “Dari sekitar 630 ribu penderita, hanya sekitar 290 ribu orang yang bisa ditangani,” kata Country Program Manager AHF Indonesia, Riki Febrian, di Hotel Santika Siligita, Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10).
Riki menuturkan belakangan bantuan internasional untuk penanganan HIV/ADS di negara berekembang, termasuk Indonesia, berkurang. Hal itu terjadi karena Bank Dunia memberlakukan klasifikasi baru mengenai negara berpenghasilan menengah atau Midle Income Country (MIC). Bank Dunia menetapkan negara dengan penduduk berpenghasilan 2,73 dolar AS per hari, atau setara dengan harga secangkir kopi di banyak negara, bukan termasuk kelompok negara miskin.
“Padahal, badan atau lembaga donor, seperti Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, menggunakan skala penghasilan Bank Dunia untuk menentukan negara yang menerima bantuan,” kata Riki.
Karena Indonesia masuk kategori MIC, tambah Riki, maka bantuan intenasional menyusut dan hal itu semakin memperburuk penanganan HIV/AIDS di negeri ini. Padalah selama ini 80 persen dana penanganan HIV/AIDS di Indonesia berasal dari luar. “Karena kita dianggap sudah kaya, negara –negara lain dan lembaga dana menarik dukungan,” ujar Riki.
Karena itu, selama berlangsungnya Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Nusa Dua, Bali, 8-14 Oktober 2018, AHF menyerukan agar Bank Dunia mengubah kebijakannya terkait klasifikasi negara-negara berpenghasilan menengah (MIC).
AHF antara menempuh cara kreatif untuk mengkampanyekan perlunya mengubah pengklasifikasian negara dengan membagi - bagi "Kopi World Bank" secara gratis di seputar arena pertemuan tahunan Bank Dunia -IMF, di Nusa Dua. Dalam gelas kopi tertulis “$ 2,73 per day is not middle income.”
“AHF minta perhatian Bank Dunia melalui kopi, karena 2,7 dolar AS setara harga segels kopi, ” kata Advocasy and Marketing Manager AHF Asia, Marie Ko.
Penyusutan bantuan untuk penanganan HIV/AIDS di Indonesia memang meresahkan. Sebab, dana yang diperlukan untuk itu cukup besar. Menurut aktivis Pekumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Muvitasari, tahun ini Indonesia memerlukan dana sebesar Rp4,2 triliun untuk menangani HIV/AID.
Dana itu berasal dari APBN, APBD, CSR perusahaan, bantuan berbagai negara serta sumbangan dari lembga donor internasional. “Pada tahun 2023 nanti dana yang diperlukan naik menjadi Rp.11, 6 triliun,” kata Muvitasari.
Karenanya, AHF terus mendesak Bank Dunia agar meralat klasifikasinya mengenai negara-negara berpenghasilan menengah (MIC). “Bank Dunia harus mengkalkulasi lagi soal MIC,” kaya Riki Febrian.
AHF adalah organissai non profit yang berbasis di Los Angeles. Saat ini AHF menyediakan perawatan atau layanan medis kepada lebih dari 1 juta orang penderita HIV/AIDS di 41 negara , tersebar di AS, Afrika, Amerika Latin , Karibia, Asia Pasifik dan Eropa Timur.
Padahal, kemampaun pemerintah Indonesia untuk menangani pengidap HIV/AIDS belum memadai. “Dari sekitar 630 ribu penderita, hanya sekitar 290 ribu orang yang bisa ditangani,” kata Country Program Manager AHF Indonesia, Riki Febrian, di Hotel Santika Siligita, Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10).
Riki menuturkan belakangan bantuan internasional untuk penanganan HIV/ADS di negara berekembang, termasuk Indonesia, berkurang. Hal itu terjadi karena Bank Dunia memberlakukan klasifikasi baru mengenai negara berpenghasilan menengah atau Midle Income Country (MIC). Bank Dunia menetapkan negara dengan penduduk berpenghasilan 2,73 dolar AS per hari, atau setara dengan harga secangkir kopi di banyak negara, bukan termasuk kelompok negara miskin.
“Padahal, badan atau lembaga donor, seperti Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, menggunakan skala penghasilan Bank Dunia untuk menentukan negara yang menerima bantuan,” kata Riki.
Karena Indonesia masuk kategori MIC, tambah Riki, maka bantuan intenasional menyusut dan hal itu semakin memperburuk penanganan HIV/AIDS di negeri ini. Padalah selama ini 80 persen dana penanganan HIV/AIDS di Indonesia berasal dari luar. “Karena kita dianggap sudah kaya, negara –negara lain dan lembaga dana menarik dukungan,” ujar Riki.
Karena itu, selama berlangsungnya Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Nusa Dua, Bali, 8-14 Oktober 2018, AHF menyerukan agar Bank Dunia mengubah kebijakannya terkait klasifikasi negara-negara berpenghasilan menengah (MIC).
AHF antara menempuh cara kreatif untuk mengkampanyekan perlunya mengubah pengklasifikasian negara dengan membagi - bagi "Kopi World Bank" secara gratis di seputar arena pertemuan tahunan Bank Dunia -IMF, di Nusa Dua. Dalam gelas kopi tertulis “$ 2,73 per day is not middle income.”
“AHF minta perhatian Bank Dunia melalui kopi, karena 2,7 dolar AS setara harga segels kopi, ” kata Advocasy and Marketing Manager AHF Asia, Marie Ko.
Penyusutan bantuan untuk penanganan HIV/AIDS di Indonesia memang meresahkan. Sebab, dana yang diperlukan untuk itu cukup besar. Menurut aktivis Pekumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Muvitasari, tahun ini Indonesia memerlukan dana sebesar Rp4,2 triliun untuk menangani HIV/AID.
Dana itu berasal dari APBN, APBD, CSR perusahaan, bantuan berbagai negara serta sumbangan dari lembga donor internasional. “Pada tahun 2023 nanti dana yang diperlukan naik menjadi Rp.11, 6 triliun,” kata Muvitasari.
Karenanya, AHF terus mendesak Bank Dunia agar meralat klasifikasinya mengenai negara-negara berpenghasilan menengah (MIC). “Bank Dunia harus mengkalkulasi lagi soal MIC,” kaya Riki Febrian.
AHF adalah organissai non profit yang berbasis di Los Angeles. Saat ini AHF menyediakan perawatan atau layanan medis kepada lebih dari 1 juta orang penderita HIV/AIDS di 41 negara , tersebar di AS, Afrika, Amerika Latin , Karibia, Asia Pasifik dan Eropa Timur.
(pur)