Krisis Moral dan Etika Bangsa Dinilai Masih Sulit Dikendalikan
A
A
A
YOGYAKARTA - Mantan ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan peran elite partai politik, birokat dan sektor swasta ditengarai menjadi penyebab mengapa krisis moral dan etika yang dialami bangsa Indonesia masih sulit untuk dikendalikan.
"Masifnya korupsi politik, seperti kasus anggota DPRD Malan dan 55% kekayaan negara dikuasi 100 warga negara sebagai contoh konkritnya," kata Busyro saat memberikan kuliah umum pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di kampus setempat, kemarin.
Busyro menjelaskan korupsi politik yang terjadi di Indonesia adalah dengan mengincar pembangunan infrastuktur, pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dan daerah. Menguatnya korupsi politik tersebut karena sudah dalam bentuk corruption by desaign. Melalui Raperda/Perda, RUU, UU dan kebijakan yang koruptif.
"Selain itu juga melalui praktik politik uang dalam pilkada dan pemilu. Sehingga menjadikan hal-hal tersebut sebagai produk yang membunuh moralitas konstitusi dan penegakan hukum di Indonesia," paparnya.
Puncak korupsi politik dan korupsi demokrasi tersebut juga terjadi dalam bentuk praktik sistem ngijon, seperti dalam sejumlah kasus korupsi anggota DPR RI. Contohnya seperti kasus di Kota Malang.
Di mana 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka korupsi. Kemudian sistemisasi, strukturasi dan masifikasi korupsi birokrasi nasional dan daerah, seperti pada pertengahan tahun 2018 dimana ada 97 kepala daerah tingkat I dan II yang berstatus tersangka/terdakwa di KPK.
"Dengan obyek korupsi Dana APBD/P, Otonomi Khusus, Infrastruktur dan perizinan RT/RW, serta pertambangan," tandasnya.
Selain itu, sistem politik yang terjadi di Indonesia membuat orang diperbudak oleh nafsu kekuasaan, yang berujung pada penghalalan segala cara untuk mewujudkan segala ambisinya. Maka dari itu Busyro menekankan kepada para mahasiswa Pascasarjana sebagai perwakilan insan yang berilmu untuk menjaga diri dari seretan arus perbudakan nafsu kekuasaan.
"Tanggung jawab orang berilmu sangat berat, karena ilmu bisa menjadi malapetaka jika ilmu itu tidak memiliki kualitas, seperti kualitas keberpihakan. Tak jarang kemudian banyak orang yang tidak mengamalkan ilmunya, hanya untuk memenuhi ambisinya (tidak sesuai dengan
konsentrasi studi, red)," terang dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Untuk mewujudkan keadaban politik berkemajuan, Busyro merekomendasikan agenda setting revitalisasi perguruan tinggi dalam orientasi pembangunan nasional berspirit politik dan diterapkannya mata kuliah yang mendukung bagi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah.
"Perlu mata kuliah Ideologi Pembangunan Perspektif Keadilan Sosial dan kajian pendalaman Buku Gerakan Muhammadiyah," ungkapnya.
"Masifnya korupsi politik, seperti kasus anggota DPRD Malan dan 55% kekayaan negara dikuasi 100 warga negara sebagai contoh konkritnya," kata Busyro saat memberikan kuliah umum pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di kampus setempat, kemarin.
Busyro menjelaskan korupsi politik yang terjadi di Indonesia adalah dengan mengincar pembangunan infrastuktur, pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dan daerah. Menguatnya korupsi politik tersebut karena sudah dalam bentuk corruption by desaign. Melalui Raperda/Perda, RUU, UU dan kebijakan yang koruptif.
"Selain itu juga melalui praktik politik uang dalam pilkada dan pemilu. Sehingga menjadikan hal-hal tersebut sebagai produk yang membunuh moralitas konstitusi dan penegakan hukum di Indonesia," paparnya.
Puncak korupsi politik dan korupsi demokrasi tersebut juga terjadi dalam bentuk praktik sistem ngijon, seperti dalam sejumlah kasus korupsi anggota DPR RI. Contohnya seperti kasus di Kota Malang.
Di mana 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka korupsi. Kemudian sistemisasi, strukturasi dan masifikasi korupsi birokrasi nasional dan daerah, seperti pada pertengahan tahun 2018 dimana ada 97 kepala daerah tingkat I dan II yang berstatus tersangka/terdakwa di KPK.
"Dengan obyek korupsi Dana APBD/P, Otonomi Khusus, Infrastruktur dan perizinan RT/RW, serta pertambangan," tandasnya.
Selain itu, sistem politik yang terjadi di Indonesia membuat orang diperbudak oleh nafsu kekuasaan, yang berujung pada penghalalan segala cara untuk mewujudkan segala ambisinya. Maka dari itu Busyro menekankan kepada para mahasiswa Pascasarjana sebagai perwakilan insan yang berilmu untuk menjaga diri dari seretan arus perbudakan nafsu kekuasaan.
"Tanggung jawab orang berilmu sangat berat, karena ilmu bisa menjadi malapetaka jika ilmu itu tidak memiliki kualitas, seperti kualitas keberpihakan. Tak jarang kemudian banyak orang yang tidak mengamalkan ilmunya, hanya untuk memenuhi ambisinya (tidak sesuai dengan
konsentrasi studi, red)," terang dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Untuk mewujudkan keadaban politik berkemajuan, Busyro merekomendasikan agenda setting revitalisasi perguruan tinggi dalam orientasi pembangunan nasional berspirit politik dan diterapkannya mata kuliah yang mendukung bagi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah.
"Perlu mata kuliah Ideologi Pembangunan Perspektif Keadilan Sosial dan kajian pendalaman Buku Gerakan Muhammadiyah," ungkapnya.
(maf)