Praktisi Minta Hukum Jangan Dijadikan Kartel Politik
A
A
A
JAKARTA - Menyikapi adanya dugaan kartel politik di bidang hukum, Lembaga Studi Hukum Indonesia, bersama para aktivis dan akademisi ingin mengkritisi atau menggugat konstitusionalitas ketentuan presidential threshold (PT) sebagaimana dimuat dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Jika gugatan para praktisi dan akademisi tentang PT ke Mahkamah Konstitusi atau MK tidak dikabulkan, sama halnya MK menciptakan hukum yang mendorong terjadinya kartel politik," ujar Pengamat hukum tata negara, Zainal Arifin, di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Seyogyanya MK memberikan putuasan sesuai dengan semangat reformasi dan amandemen UUD RI, agar kualitas demokrasi di Indonesia tiap tahun dapat ditingkatkan.
"Salah satu bagian dari maraknya korupsi di Indonesia karena hukum belum mendorong dan mengantarkan bangsa Indonesia, lebih jujur dan akuntable," tambahnya.
Sementara itu Pengamat hukum lainnya, Faisal Santiago menambahkan, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu antara lain menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan.Pasal itu sudah 10 kali diuji, menandakan betapa strategisnya soal ambang batas pencalonan presiden ini. Semua orang diberikan hak yang sama untuk dipilih dan memolih sesuai dengan undang-undang. Dan tentunya tidak boleh bertentangan dengan UUD RI.
"Kalau bertentangan perlu dilanjukan penolakan," tegas Santiago.
Tak hanya itu Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, Laksanto Utomo menjelaskan, kearifan lokal yang mulai hilang dari para praktisi hukum dan penyelenggara negara adalah lunturnya sifat kejujuran.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan ralyat sekaligus merupakan arena kompetisi yang paling adil bagai parpol, sejauh maka telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggujawaban atas kinerjanya. kepada rakyat.
"Di negara sebagai kampiun demokrasi tidak ada ketentuan PT, tetapi elektoral terhadap partai peserta pemilu. Lalu, mengapa Indonesia yang melakukan pemilu serentak justru membuat kerangka acuan baru?" kata Laksanto mempertanyakan.
"Jika gugatan para praktisi dan akademisi tentang PT ke Mahkamah Konstitusi atau MK tidak dikabulkan, sama halnya MK menciptakan hukum yang mendorong terjadinya kartel politik," ujar Pengamat hukum tata negara, Zainal Arifin, di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Seyogyanya MK memberikan putuasan sesuai dengan semangat reformasi dan amandemen UUD RI, agar kualitas demokrasi di Indonesia tiap tahun dapat ditingkatkan.
"Salah satu bagian dari maraknya korupsi di Indonesia karena hukum belum mendorong dan mengantarkan bangsa Indonesia, lebih jujur dan akuntable," tambahnya.
Sementara itu Pengamat hukum lainnya, Faisal Santiago menambahkan, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu antara lain menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan.Pasal itu sudah 10 kali diuji, menandakan betapa strategisnya soal ambang batas pencalonan presiden ini. Semua orang diberikan hak yang sama untuk dipilih dan memolih sesuai dengan undang-undang. Dan tentunya tidak boleh bertentangan dengan UUD RI.
"Kalau bertentangan perlu dilanjukan penolakan," tegas Santiago.
Tak hanya itu Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, Laksanto Utomo menjelaskan, kearifan lokal yang mulai hilang dari para praktisi hukum dan penyelenggara negara adalah lunturnya sifat kejujuran.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan ralyat sekaligus merupakan arena kompetisi yang paling adil bagai parpol, sejauh maka telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggujawaban atas kinerjanya. kepada rakyat.
"Di negara sebagai kampiun demokrasi tidak ada ketentuan PT, tetapi elektoral terhadap partai peserta pemilu. Lalu, mengapa Indonesia yang melakukan pemilu serentak justru membuat kerangka acuan baru?" kata Laksanto mempertanyakan.
(maf)