Kuasa Hukum Nilai JPU Tak Bisa Buktikan Unsur Korupsi Syafruddin
A
A
A
JAKARTA - Dalam pleidoi yang dibacakan kuasa hukum, Syafruddin A Temenggung, Hasbullah menyampaikan, bahwa JPU tidak bisa membuktikan unsur-unsur korupsi dalam pasal-pasal yang didakwakan kepada Syafruddin.
Baik itu Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Di mana unsur melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain serta bersama-sama melakukan tindak kejahatan korupsi tidak bisa dibuktikan oleh jaksa dalam persidangan, di Tipikor Jakarta, yang berlangsung Kamis (13/9/2018) dan dilanjutkan Jumat (14/9/2018).
Dalam menerbitkan SKL, Syafruddin A Temenggung melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah KKSK tanggal 7 Oktober 2002, putusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) 17 Maret 2002 dan berdasarkan persetujuan Menteri BUMN tanggal 17 Maret 2004, yang memerintahkan kepada Syafruddin untuk mengeluarkan SKL kepada Syamsul Nursalim.
"Karena KKSK menilai dan memutuskan bahwa Samsul Nursalim telah memenuhi kewajibannya dalam menjalankan perjanjian MSAA. Sehingga unsur setiap orang tidak bisa dibuktikan oleh JPU," ucap Hasbullah.
Bahkan JPU sendiri mengakui, bahwa Syafruddin mengeluarkan SKL karena perintah jabatan, lantaran SKL tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian unsur kedua, yakni perbuatan melawan hukum juga tidak terpenuhi, karena apa yang dilakukan oleh Syafruddin sesuai dengan perundang-undangan, TAP MPR, UU Propenas, Inpres No 8 Tahun 2002, kemudian putusan KKSK tanggal 29 Maret 2001, KKSK tanggal 17 Maret 2002, dan KKSK 7 Oktober 2002, serta KKSK 17 Maret 2004, sekaligus surat persetujuan Menteri BUMN tanggal 24 Maret 2004.
"Juga telah diaudit oleh BPK pada tahun 2006 yang dinyatakan bahwa SKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh JPU dalam tuntutannya, bahwa terdakwa tidak menyalahi peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Menurut tim kuasa hukum, yang menjadi titik poin JPU dalam tuntutannya adalah terdakwa menyalahi UU No 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. Perbuatan Syafruddin menghapus tagih.
Padahal faktanya dalam persidangan terungkap bahwa Syafruddin tidak pernah menghapus tagihan terhadap piutang Syamsul Nursalim, terdakwa melakukan penghapus tagihan terhadap petambak. Tidak ada hubungannya dengan Syamsul Nursalim.
"Dalam UU Nomor 1 tahun 2004, juga tidak bisa diterapkan kepada BPPN karena PP dari UU tersebut baru keluar pada tahun 2005. Setelah BPPN ditutup, jadi tidak tidak bisa dipaksakan," katanya.
Terkait dengan unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain, juga tidak terpenuhi, karena dalam persidangan tidak ditemukan fakta dari JPU mampu membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara SKL dikeluarkan oleh Syafruddin Temenggung dengan Syamsul Nursalim.
Dalam uraiannya terdakwa hanya menyampaikan bahwa terdakwa berhubungan dengan orang yang jauh sekali hubunganya dengan SN dan itu terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2017, jauh sekali setelah SKL dikeluarkan.
"Jaksa tidak bisa membuktikan dengan dikeluarkannya SKL, kemudian Syafruddin berhubungan dengan Syams ul Nursalim. Sehingga secara hukum tidak ada hubungan dengan Syamsul Nursalim, lantas bagaimana dikatakan memperkaya diri sendiri dan orang lain," ungkapnya.
Kuasa hukum juga menyampaikan bahwa, unsur kerugian negara tidak terpenuhi, karena yang didalilkan oleh JPU terjadi pada tahun 2007. Pada saat utang petambak dijual, tidak ada hubungannya dengan SKL terhadap kewajiban Syamsul Nursalim, kerugian negara berbicara mengenai penghapus tagihan yang belum dilaksanakan oleh BPPN pada tahun 2004.
Jadi tidak ada hubungannya dari segi pembuktian yang disampaikan oleh JPU. Terkait denga LHP Audit Investigatif tahun 2007, dinyatakan dalam persidangan bahwa LHP tersebut secara procedural dan hukum cacat hukum.
"Lebih tepat menggunakan LHP tahun 2006, BPPN layak memberikan SKL kepada Syamsul Nursalim. Kemudian mengenai pasal 55 ayat 1, yang mengatakan bahwa yang pertama dari segi jabatan tidak bisa dikatakan turut serta," ujarnya.
"Karena dalam persidangan tidak ditemukan adanya fakta kerjasama untuk melakukan tindak pidana antara Syafruddin dengan Dorojatun, maupun dengan Syamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Dalam proses mengeluarkan SKL, terdakwa hanya menjalankan putusan KKSK, yang memutuskan adalah KKSK. Jadi tidak bisa dibuktikan secara hukum, karena perbuatan turut sertanya tidak bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan oleh JPU," pungkasnya.
Baik itu Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Di mana unsur melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain serta bersama-sama melakukan tindak kejahatan korupsi tidak bisa dibuktikan oleh jaksa dalam persidangan, di Tipikor Jakarta, yang berlangsung Kamis (13/9/2018) dan dilanjutkan Jumat (14/9/2018).
Dalam menerbitkan SKL, Syafruddin A Temenggung melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah KKSK tanggal 7 Oktober 2002, putusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) 17 Maret 2002 dan berdasarkan persetujuan Menteri BUMN tanggal 17 Maret 2004, yang memerintahkan kepada Syafruddin untuk mengeluarkan SKL kepada Syamsul Nursalim.
"Karena KKSK menilai dan memutuskan bahwa Samsul Nursalim telah memenuhi kewajibannya dalam menjalankan perjanjian MSAA. Sehingga unsur setiap orang tidak bisa dibuktikan oleh JPU," ucap Hasbullah.
Bahkan JPU sendiri mengakui, bahwa Syafruddin mengeluarkan SKL karena perintah jabatan, lantaran SKL tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian unsur kedua, yakni perbuatan melawan hukum juga tidak terpenuhi, karena apa yang dilakukan oleh Syafruddin sesuai dengan perundang-undangan, TAP MPR, UU Propenas, Inpres No 8 Tahun 2002, kemudian putusan KKSK tanggal 29 Maret 2001, KKSK tanggal 17 Maret 2002, dan KKSK 7 Oktober 2002, serta KKSK 17 Maret 2004, sekaligus surat persetujuan Menteri BUMN tanggal 24 Maret 2004.
"Juga telah diaudit oleh BPK pada tahun 2006 yang dinyatakan bahwa SKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh JPU dalam tuntutannya, bahwa terdakwa tidak menyalahi peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Menurut tim kuasa hukum, yang menjadi titik poin JPU dalam tuntutannya adalah terdakwa menyalahi UU No 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. Perbuatan Syafruddin menghapus tagih.
Padahal faktanya dalam persidangan terungkap bahwa Syafruddin tidak pernah menghapus tagihan terhadap piutang Syamsul Nursalim, terdakwa melakukan penghapus tagihan terhadap petambak. Tidak ada hubungannya dengan Syamsul Nursalim.
"Dalam UU Nomor 1 tahun 2004, juga tidak bisa diterapkan kepada BPPN karena PP dari UU tersebut baru keluar pada tahun 2005. Setelah BPPN ditutup, jadi tidak tidak bisa dipaksakan," katanya.
Terkait dengan unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain, juga tidak terpenuhi, karena dalam persidangan tidak ditemukan fakta dari JPU mampu membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara SKL dikeluarkan oleh Syafruddin Temenggung dengan Syamsul Nursalim.
Dalam uraiannya terdakwa hanya menyampaikan bahwa terdakwa berhubungan dengan orang yang jauh sekali hubunganya dengan SN dan itu terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2017, jauh sekali setelah SKL dikeluarkan.
"Jaksa tidak bisa membuktikan dengan dikeluarkannya SKL, kemudian Syafruddin berhubungan dengan Syams ul Nursalim. Sehingga secara hukum tidak ada hubungan dengan Syamsul Nursalim, lantas bagaimana dikatakan memperkaya diri sendiri dan orang lain," ungkapnya.
Kuasa hukum juga menyampaikan bahwa, unsur kerugian negara tidak terpenuhi, karena yang didalilkan oleh JPU terjadi pada tahun 2007. Pada saat utang petambak dijual, tidak ada hubungannya dengan SKL terhadap kewajiban Syamsul Nursalim, kerugian negara berbicara mengenai penghapus tagihan yang belum dilaksanakan oleh BPPN pada tahun 2004.
Jadi tidak ada hubungannya dari segi pembuktian yang disampaikan oleh JPU. Terkait denga LHP Audit Investigatif tahun 2007, dinyatakan dalam persidangan bahwa LHP tersebut secara procedural dan hukum cacat hukum.
"Lebih tepat menggunakan LHP tahun 2006, BPPN layak memberikan SKL kepada Syamsul Nursalim. Kemudian mengenai pasal 55 ayat 1, yang mengatakan bahwa yang pertama dari segi jabatan tidak bisa dikatakan turut serta," ujarnya.
"Karena dalam persidangan tidak ditemukan adanya fakta kerjasama untuk melakukan tindak pidana antara Syafruddin dengan Dorojatun, maupun dengan Syamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Dalam proses mengeluarkan SKL, terdakwa hanya menjalankan putusan KKSK, yang memutuskan adalah KKSK. Jadi tidak bisa dibuktikan secara hukum, karena perbuatan turut sertanya tidak bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan oleh JPU," pungkasnya.
(maf)