Kasus PLTU Riau Berpotensi Jadi Tekanan Politik terhadap Airlangga
A
A
A
JAKARTA - Tuduhan yang menghubungkan korupsi proyek PLTU Riau-1 dengan Munaslub Golkar dinilai sebagai bentuk kampanye hitam terhadap Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Poldata Indonesia, Fajar Arif Budiman menyatakan muatan politis sangat kental terlebih jika dikaitkan posisi Partai Golkar sebagai partai besar dan potensi friksi internal yang terjadi.
"Ini adalah kasus korupsi dari satu atau dua kader namun diambil momentumnya untuk menjadi sebuah tekanan politik terhadap Airlangga. Hal tersebut harus dilihat sebagai situasi riak-riak politik pasca Airlangga tidak dipilih sebagai cawapres oleh Jokowi," ujar Fajar melalui rilis yang diterima SINDOnews, Senin (3/9/2018).
Menurut alumni Universitas Padjajaran ini, sumbangan politik dari pengusaha untuk kegiatan partai, apalagi partai sebesar Golkar adalah sesuatu yang lazim. Problemnya memang tidak semua yang paham secara pasti darimana asal dana yang disumbangkan.
"Justru menurut hasil amatan kami, di bawah kepemimpinan Airlangga, visi Golkar Bersih terlihat signifikan dan menjadi sebuah pencapaian bagi kepemimpinan Airlangga secara khusus. Pengunduran diri Idrus Marham dari jabatan Menteri Sosial merupakan bukti nyata komitmen Partai Golkar di era Airlangga Hartarto. Idrus yang mengundurkan diri karena berstatus tersangka dilakukan sebelum pengumuman resmi oleh KPK kepada publik," tukas Fajar.
Hal tersebut juga diamini oleh Wasekjen DPP Partai Golkar Christina Aryani. Christina menyatakan, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto, Golkar sepakat untuk berbenah dan membersihkan dirinya.
"Saat Pak Airlangga terpilih sebagai ketua umum, kami diikat untuk membangun kesadaran bersama menghilangkan perilaku koruptif oknum-oknum, sebagai revisi dari era-era sebelumnya yang kerap tersangkut kasus korupsi," tukas Christina.
Melihat maraknya pemberitaan tentang kasus korupsi dari mantan kader Partai Golkar tersebut, Christina menyatakan hal tersebut sebagai bentuk kesalahan pribadi dan tidak bisa dikaitkan dengan Partai Golkar. "Semua pengurus DPP di era Airlangga telah diminta menandatangani Pakta Integritas. Jika ternyata tetap ada juga kader yang terlibat korupsi, maka mereka harus mundur dari partai," tambah Christina.
Partai Golkar sendiri secara tegas menolak dikaitkan dengan kasus korupsi yang menimpa Eny Saragih dan Idrus Marham. Sebelumya, Ketum Airlangga Hartarto tegas menyanggah tuduhan yang diberikan tersangka kasus PLTU Riau-1 terkait adanya hubungan antara dana korupsi dengan penyelenggaraan Munaslub Golkar pada 2017 lalu.
"Dari sekuens waktu sudah jelas kapan kegiatan ini diinisiasi, kapan itu Munas Golkar, dan itu tidak ada hubungannya dengan institusi. Kenapa asyik ganggu Golkar terus?" tegas Airlangga.
Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Poldata Indonesia, Fajar Arif Budiman menyatakan muatan politis sangat kental terlebih jika dikaitkan posisi Partai Golkar sebagai partai besar dan potensi friksi internal yang terjadi.
"Ini adalah kasus korupsi dari satu atau dua kader namun diambil momentumnya untuk menjadi sebuah tekanan politik terhadap Airlangga. Hal tersebut harus dilihat sebagai situasi riak-riak politik pasca Airlangga tidak dipilih sebagai cawapres oleh Jokowi," ujar Fajar melalui rilis yang diterima SINDOnews, Senin (3/9/2018).
Menurut alumni Universitas Padjajaran ini, sumbangan politik dari pengusaha untuk kegiatan partai, apalagi partai sebesar Golkar adalah sesuatu yang lazim. Problemnya memang tidak semua yang paham secara pasti darimana asal dana yang disumbangkan.
"Justru menurut hasil amatan kami, di bawah kepemimpinan Airlangga, visi Golkar Bersih terlihat signifikan dan menjadi sebuah pencapaian bagi kepemimpinan Airlangga secara khusus. Pengunduran diri Idrus Marham dari jabatan Menteri Sosial merupakan bukti nyata komitmen Partai Golkar di era Airlangga Hartarto. Idrus yang mengundurkan diri karena berstatus tersangka dilakukan sebelum pengumuman resmi oleh KPK kepada publik," tukas Fajar.
Hal tersebut juga diamini oleh Wasekjen DPP Partai Golkar Christina Aryani. Christina menyatakan, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto, Golkar sepakat untuk berbenah dan membersihkan dirinya.
"Saat Pak Airlangga terpilih sebagai ketua umum, kami diikat untuk membangun kesadaran bersama menghilangkan perilaku koruptif oknum-oknum, sebagai revisi dari era-era sebelumnya yang kerap tersangkut kasus korupsi," tukas Christina.
Melihat maraknya pemberitaan tentang kasus korupsi dari mantan kader Partai Golkar tersebut, Christina menyatakan hal tersebut sebagai bentuk kesalahan pribadi dan tidak bisa dikaitkan dengan Partai Golkar. "Semua pengurus DPP di era Airlangga telah diminta menandatangani Pakta Integritas. Jika ternyata tetap ada juga kader yang terlibat korupsi, maka mereka harus mundur dari partai," tambah Christina.
Partai Golkar sendiri secara tegas menolak dikaitkan dengan kasus korupsi yang menimpa Eny Saragih dan Idrus Marham. Sebelumya, Ketum Airlangga Hartarto tegas menyanggah tuduhan yang diberikan tersangka kasus PLTU Riau-1 terkait adanya hubungan antara dana korupsi dengan penyelenggaraan Munaslub Golkar pada 2017 lalu.
"Dari sekuens waktu sudah jelas kapan kegiatan ini diinisiasi, kapan itu Munas Golkar, dan itu tidak ada hubungannya dengan institusi. Kenapa asyik ganggu Golkar terus?" tegas Airlangga.
(kri)