Polemik Vaksin MR Mengandung Babi, Ini Penjelasan Pakar Kesehatan
A
A
A
JAKARTA - Vaksin measless dan rubella (MR) yang diimpor dari Serum Institute of India menuai kontroversi karena mengandung babi. Kehalalannya dipertanyakan oleh umat Islam di Tanah Air dan ditentang juga oleh umat Katolik karena dikatakan mengandung sel manusia dari janin yang diaborsi.
Terkait hal ini, dr Kristoforus Hendra Djaya SpPD, Ahli Vaksin dan Penyakit Dalam sekaligus CEO In Harmony Vaccination memberi penjelasan mengenai bagaimana sebenarnya fakta-fakta tentang measless dan rubella sebagai pengetahuan. “Sebenarnya bukanlah pada kapasitas saya sebagai dokter untuk menjawab isu-isu mengenai keyakinan agama tertentu dan memperdebatkan ajaran agama. Namun saya akan membantu memberikan fakta-faktanya saja untuk memberikan pengetahuan kepada seseorang dalam pandangan dua sisi, baik yang pro maupun kontra,” ungkap Hendra Djaya dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (24/8/2018).
Hendra pun terlebih dulu menjelaskan sejarah dan asal muasal vaksin dibuat. Dikatakannya, binatang telah digunakan dalam produksi vaksin manusia sejak masa-masa awal pembuatan vaksin.
“Separuh awal dari abad 20, sebagian besar vaksin diproduksi menggunakan media binatang, entah dengan menumbuhkan bakteri/virus di tubuh binatang hidup atau menggunakan sel-sel binatang,” tuturnya.
Dalam pembuatannya, beberapa vaksin yang dihasilkan tidaklah stabil, sehingga tidak dapat disimpan untuk digunakan dalam jangka panjang. Berarti vaksin tersebut tidak praktis untuk didistribusikan ke seluruh dunia. Oleh karena itu diperlukan suatu zat untuk menstabilkan formulasi vaksin tersebut.
Untuk menstabilkan berbagai obat-obatan, sambung dia, bukan hanya vaksin tapi berbagai jenis kapsul digunakanlah gelatin yang merupakan zat stabilizer. “Produsen vaksin akan melakukan pengujian terhadap berbagai jenis stabilizer dan memilih mana yang paling stabil, berkualitas baik, dan dapat diproduksi dalam jumlah besar (massal),” tambahnya.
Gelatin adalah suatu zat yang dibuat dari kolagen binatang seperti ayam, sapi, babi, atau ikan. Kolagen ditemukan dalam tendon, ligamen, tulang, dan kartilago. Gelatin babi dibuat dari kolagen yang terdapat dalam babi.
Gelatin yang digunakan dalam vaksin telah melalui banyak proses pemurnian dan penghancuran hingga menjadi molekul-molekul yang sangat kecil dan dikenal dengan nama peptide. “Meneliti tentang stabilizer dan menciptakan vaksin membutuhkan waktu bertahun-tahun. Bahkan berpuluh-puluh tahun melalui berbagai uji laboratoris dan studi klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya,” jelas Hendra.
Dia mengingatkan, kalau ingin mengganti salah satu komponen dalam vaksin tersebut berarti harus meneliti kembali segalanya dari awal lagi. Prosesnya membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengujinya kembali dan memastikan keamanan serta efektivitasnya tidak terpengaruh oleh perubahannya.
“Itu pun dengan risiko bahwa hasil yang didapatkan belum tentu sebanding atau bahkan gagal,” katanya.
Inilah sebabnya, mengapa penggantian stabilizer seperti yang diharapkan banyak orang belum tentu bisa dilakukan. Meski demikian, mengingat penggunaan komponen binatang hidup bisa saja terinfeksi virus atau bakteri yang dapat mengontaminasi vaksin, maka teknik produksi virus vaksin dalam sel manusia mulai dikembangkan dan menyebabkan perkembangan dunia vaksinasi yang signifikan.
Bukan tanpa masalah, lanjut dia, penggunaan sel manusia yang didapat dari janin yang diterminasi itu. Persoalan etika menjadi masalah tersendiri. Banyak ahli menyarankan produsen untuk meneliti kembali dan memproduksi vaksin tanpa menggunakan medium sel manusia.
“Perlu diingat bahwa pembentukan lini sel WI-38 sebagai medium pembiakan virus vaksin adalah sel-sel yang di-“lahir”-kan oleh virus dari janin yang diterminasi dan bukanlah sel dari janin itu sendiri,” tandasnya.
Bahkan janin tersebut bukanlah diterminasi dengan tujuan pembuatan vaksin semata, tapi diterminasi oleh ibunya dengan tujuan menghindari adanya anak yang cacat bawaan akibat sindrom rubella kongenital.
Sebuah surat telah dilayangkan oleh WHO: “WHO Letter Reports On Islamic Legal Scholars' Verdict on the Medicinal Use Of Gelatin Derived From Pork Products”, pada bulan Juli 2001 oleh Regional Office WHO for the Eastern Mediterranean yang melaporkan hasil penelitian, penemuan, dan pembahasan dari lebih dari 112 pakar legal islami yang berkumpul untuk mengklarifikasi hukum halal-haram yang dimiliki umat muslim.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sheikh Dr Mohammad Sayed Tantawi (saat itu Mufti dari Mesir, Sheikh dari Al-Azhar) dan dihadiri di antaranya Sheikh Mohammad Al Mokhtar Al Sallami (saat itu Mufti dari Tunisia), Sheikh Dr Mohammad Al Habeeb Ben Al Khojah (saat itu Sekjen Akademi Fikih Islami di Jeddah), dan Dr Youssef Al Qaradawy (saat itu Direktur, Pusat Penelitian Sunnah dan Jalan Hidup Nabi di Qatar), serta masih banyak pakar lainnya. Pertemuan itu menghasilkan sebuah kesimpulan.
“Transformasi, yang berarti perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang pada hakikatnya berbeda, berbeda karakteristik, dapat mengubah zat yang secara hukum muslim tidak bersih/haram, menjadi zat yang bersih/halal, serta mengubah pula zat yang sedianya dilarang menjadi diperbolehkan untuk dikonsumsi,” demikian kesimpulan pernyataan para ahli.
“Dari pertemuan dan surat tersebut, dinyatakan oleh para pakar muslim bahwa transformasi produk babi menjadi gelatin telah cukup mengubah zat tersebut. Sehingga dapat dibenarkan bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk mendapatkan vaksin yang mengandung gelatin maupun obat-obatan yang dibungkus oleh kapsul gelatin,” pungkasnya.
Terkait hal ini, dr Kristoforus Hendra Djaya SpPD, Ahli Vaksin dan Penyakit Dalam sekaligus CEO In Harmony Vaccination memberi penjelasan mengenai bagaimana sebenarnya fakta-fakta tentang measless dan rubella sebagai pengetahuan. “Sebenarnya bukanlah pada kapasitas saya sebagai dokter untuk menjawab isu-isu mengenai keyakinan agama tertentu dan memperdebatkan ajaran agama. Namun saya akan membantu memberikan fakta-faktanya saja untuk memberikan pengetahuan kepada seseorang dalam pandangan dua sisi, baik yang pro maupun kontra,” ungkap Hendra Djaya dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (24/8/2018).
Hendra pun terlebih dulu menjelaskan sejarah dan asal muasal vaksin dibuat. Dikatakannya, binatang telah digunakan dalam produksi vaksin manusia sejak masa-masa awal pembuatan vaksin.
“Separuh awal dari abad 20, sebagian besar vaksin diproduksi menggunakan media binatang, entah dengan menumbuhkan bakteri/virus di tubuh binatang hidup atau menggunakan sel-sel binatang,” tuturnya.
Dalam pembuatannya, beberapa vaksin yang dihasilkan tidaklah stabil, sehingga tidak dapat disimpan untuk digunakan dalam jangka panjang. Berarti vaksin tersebut tidak praktis untuk didistribusikan ke seluruh dunia. Oleh karena itu diperlukan suatu zat untuk menstabilkan formulasi vaksin tersebut.
Untuk menstabilkan berbagai obat-obatan, sambung dia, bukan hanya vaksin tapi berbagai jenis kapsul digunakanlah gelatin yang merupakan zat stabilizer. “Produsen vaksin akan melakukan pengujian terhadap berbagai jenis stabilizer dan memilih mana yang paling stabil, berkualitas baik, dan dapat diproduksi dalam jumlah besar (massal),” tambahnya.
Gelatin adalah suatu zat yang dibuat dari kolagen binatang seperti ayam, sapi, babi, atau ikan. Kolagen ditemukan dalam tendon, ligamen, tulang, dan kartilago. Gelatin babi dibuat dari kolagen yang terdapat dalam babi.
Gelatin yang digunakan dalam vaksin telah melalui banyak proses pemurnian dan penghancuran hingga menjadi molekul-molekul yang sangat kecil dan dikenal dengan nama peptide. “Meneliti tentang stabilizer dan menciptakan vaksin membutuhkan waktu bertahun-tahun. Bahkan berpuluh-puluh tahun melalui berbagai uji laboratoris dan studi klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya,” jelas Hendra.
Dia mengingatkan, kalau ingin mengganti salah satu komponen dalam vaksin tersebut berarti harus meneliti kembali segalanya dari awal lagi. Prosesnya membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengujinya kembali dan memastikan keamanan serta efektivitasnya tidak terpengaruh oleh perubahannya.
“Itu pun dengan risiko bahwa hasil yang didapatkan belum tentu sebanding atau bahkan gagal,” katanya.
Inilah sebabnya, mengapa penggantian stabilizer seperti yang diharapkan banyak orang belum tentu bisa dilakukan. Meski demikian, mengingat penggunaan komponen binatang hidup bisa saja terinfeksi virus atau bakteri yang dapat mengontaminasi vaksin, maka teknik produksi virus vaksin dalam sel manusia mulai dikembangkan dan menyebabkan perkembangan dunia vaksinasi yang signifikan.
Bukan tanpa masalah, lanjut dia, penggunaan sel manusia yang didapat dari janin yang diterminasi itu. Persoalan etika menjadi masalah tersendiri. Banyak ahli menyarankan produsen untuk meneliti kembali dan memproduksi vaksin tanpa menggunakan medium sel manusia.
“Perlu diingat bahwa pembentukan lini sel WI-38 sebagai medium pembiakan virus vaksin adalah sel-sel yang di-“lahir”-kan oleh virus dari janin yang diterminasi dan bukanlah sel dari janin itu sendiri,” tandasnya.
Bahkan janin tersebut bukanlah diterminasi dengan tujuan pembuatan vaksin semata, tapi diterminasi oleh ibunya dengan tujuan menghindari adanya anak yang cacat bawaan akibat sindrom rubella kongenital.
Sebuah surat telah dilayangkan oleh WHO: “WHO Letter Reports On Islamic Legal Scholars' Verdict on the Medicinal Use Of Gelatin Derived From Pork Products”, pada bulan Juli 2001 oleh Regional Office WHO for the Eastern Mediterranean yang melaporkan hasil penelitian, penemuan, dan pembahasan dari lebih dari 112 pakar legal islami yang berkumpul untuk mengklarifikasi hukum halal-haram yang dimiliki umat muslim.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sheikh Dr Mohammad Sayed Tantawi (saat itu Mufti dari Mesir, Sheikh dari Al-Azhar) dan dihadiri di antaranya Sheikh Mohammad Al Mokhtar Al Sallami (saat itu Mufti dari Tunisia), Sheikh Dr Mohammad Al Habeeb Ben Al Khojah (saat itu Sekjen Akademi Fikih Islami di Jeddah), dan Dr Youssef Al Qaradawy (saat itu Direktur, Pusat Penelitian Sunnah dan Jalan Hidup Nabi di Qatar), serta masih banyak pakar lainnya. Pertemuan itu menghasilkan sebuah kesimpulan.
“Transformasi, yang berarti perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang pada hakikatnya berbeda, berbeda karakteristik, dapat mengubah zat yang secara hukum muslim tidak bersih/haram, menjadi zat yang bersih/halal, serta mengubah pula zat yang sedianya dilarang menjadi diperbolehkan untuk dikonsumsi,” demikian kesimpulan pernyataan para ahli.
“Dari pertemuan dan surat tersebut, dinyatakan oleh para pakar muslim bahwa transformasi produk babi menjadi gelatin telah cukup mengubah zat tersebut. Sehingga dapat dibenarkan bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk mendapatkan vaksin yang mengandung gelatin maupun obat-obatan yang dibungkus oleh kapsul gelatin,” pungkasnya.
(kri)