Ahli Sebut Pengurus Peradi yang Sah Hasil Pemilihan
A
A
A
JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar sidang lanjutan perkara gugatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) versi Ketua Umum (Ketum) Fauzie Yusuf Hasibuan terhadap Peradi versi Ketum Juniver Girsang.
Dalam sidang pada Rabu (8/8/2018), Peradi versi Ketum Fauzie Yusuf Hasibuan menghadirkan Sekretaris Program Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya (Ubaya) Jakarta, Udin Nasrudin, sebagai saksi ahli.
Dalam persidangan ini, Udin yang juga merupakan dosen luar biasa di antaranya di Universitas Djuanda (Unida) Bogor pada Program Magister Hukum dan Kenotariatan, menyampaikan, bahwa pengurus yang sah dalam satu organisasi profesi adalah hasil dari munas atau apapun istilanya yang penyelenggarannya sesuai dengan anggaran dasar.
Menurut Udin, harus sesuai anggaran dasar karena di sini sudah mengatur secara detail bagaimana satu organisasi memilih ketua atau susunan pengurus serta penetapannya bagi yang terpilih, termasuk siapa saja yang memiliki hak pilih, dan hal-hal lainnya.
"Di anggaran dasar pasti sudah secara detail sudah ada. Sah tidaknya tentu di anggaran dasar itu disebutkan di mana, di kongreskah, di munaskah, di apa yang dirujuk di anggaran dasar," ucapnya.
Udin yang juga merupakan seorang notaris, memberikan contoh dalam pemilihan pengurus di organisasi kenotariatan, di antaranya tentang ketentuan jumlah quorum yakni harus 50 plus 1.
Namun jika dalam pembukaan pertama tidak tercapai, maka bisa ditutup, kemudian dalam sidang selanjutnya bisa diputuskan walaupun yang hadir kurang dari 50 plus 1.
Karena itu, lanjut Udin, sah tidaknya satu kepengurusan organisasi profesi, bukan karena kepengurusan itu sudah mendapatkan persetujuan atau SK dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkuh HAM), melainkan sah tidaknya hasil pemilihan apakah sesuai anggaran dasar atau tidak.
"Bahwa sebetulnya konteksnya itu bukan di SK menterinya atau dipelaporannya, tapi bahwa sudah terpilih di mana forumnya berdasarkan Munas atau kongres," kata dia.
Menurut Udin, memang ada kewajiban untuk melaporkan kepengurusan dari hasil pemilihan yang sah itu kepada Kemenkum HAM untuk memperoleh persetujuan, khususnya untuk memenuhi asas publisitas, bahwa satu organisasi itu pengurusnya sesuai yang dilaporkan ke Kemenkum HAM.
"Tadi saya sebutkan, bahwa itu (pelaporan ke Kemenkum HAM) hanya mempunyai nilai publisitas. Jika misalkan satu perubahan satu direksi PT, walupun dapat persetujuan, dia (pengurus terpilih) bisa melakukan perbuatan hukum terkait PT tersebutt. Demikian juga tadi yang belum dapat persetujuan," katanya.
Perbedaannya, lanjut Udin, yang sudah mendapat persetujuan dari Kemenkum HAM, bahwa kepengurusan organisasi dan AD/ART-nya sudah dipastinya tidak bertentangan dengan UU Ketertiban Umum dan Kesusilaan.
"Jadi jika sudah disahkan, maka telah memenuhi syarat dan tidak bertentangan dangan Undang-Undang Ketertiban Umum dan Kesusilaan. Iya (keabhasan) bukan kerena itu (sudah dilaporkan ke Kemenkum HAM)," ujarnya.
Jikapun belum mendapat pengesahan dari Kemenkum HAM, namun pengurus yang sah sesuai hasil pemilihan sebagaimana diatur anggaran dasar, bisa melakukan tugas dan wewenang dan itu adalah sah.
"Yang bersangkutan bisa melakukan perbuatan hukum, tetapi karena publisitasnya belum tercapai, maka tanggung jawabnya secara pribadi. (Negara belum memberikan perlindungan hukum), tetap sah," katanya.
Dalam sidang pada Rabu (8/8/2018), Peradi versi Ketum Fauzie Yusuf Hasibuan menghadirkan Sekretaris Program Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya (Ubaya) Jakarta, Udin Nasrudin, sebagai saksi ahli.
Dalam persidangan ini, Udin yang juga merupakan dosen luar biasa di antaranya di Universitas Djuanda (Unida) Bogor pada Program Magister Hukum dan Kenotariatan, menyampaikan, bahwa pengurus yang sah dalam satu organisasi profesi adalah hasil dari munas atau apapun istilanya yang penyelenggarannya sesuai dengan anggaran dasar.
Menurut Udin, harus sesuai anggaran dasar karena di sini sudah mengatur secara detail bagaimana satu organisasi memilih ketua atau susunan pengurus serta penetapannya bagi yang terpilih, termasuk siapa saja yang memiliki hak pilih, dan hal-hal lainnya.
"Di anggaran dasar pasti sudah secara detail sudah ada. Sah tidaknya tentu di anggaran dasar itu disebutkan di mana, di kongreskah, di munaskah, di apa yang dirujuk di anggaran dasar," ucapnya.
Udin yang juga merupakan seorang notaris, memberikan contoh dalam pemilihan pengurus di organisasi kenotariatan, di antaranya tentang ketentuan jumlah quorum yakni harus 50 plus 1.
Namun jika dalam pembukaan pertama tidak tercapai, maka bisa ditutup, kemudian dalam sidang selanjutnya bisa diputuskan walaupun yang hadir kurang dari 50 plus 1.
Karena itu, lanjut Udin, sah tidaknya satu kepengurusan organisasi profesi, bukan karena kepengurusan itu sudah mendapatkan persetujuan atau SK dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkuh HAM), melainkan sah tidaknya hasil pemilihan apakah sesuai anggaran dasar atau tidak.
"Bahwa sebetulnya konteksnya itu bukan di SK menterinya atau dipelaporannya, tapi bahwa sudah terpilih di mana forumnya berdasarkan Munas atau kongres," kata dia.
Menurut Udin, memang ada kewajiban untuk melaporkan kepengurusan dari hasil pemilihan yang sah itu kepada Kemenkum HAM untuk memperoleh persetujuan, khususnya untuk memenuhi asas publisitas, bahwa satu organisasi itu pengurusnya sesuai yang dilaporkan ke Kemenkum HAM.
"Tadi saya sebutkan, bahwa itu (pelaporan ke Kemenkum HAM) hanya mempunyai nilai publisitas. Jika misalkan satu perubahan satu direksi PT, walupun dapat persetujuan, dia (pengurus terpilih) bisa melakukan perbuatan hukum terkait PT tersebutt. Demikian juga tadi yang belum dapat persetujuan," katanya.
Perbedaannya, lanjut Udin, yang sudah mendapat persetujuan dari Kemenkum HAM, bahwa kepengurusan organisasi dan AD/ART-nya sudah dipastinya tidak bertentangan dengan UU Ketertiban Umum dan Kesusilaan.
"Jadi jika sudah disahkan, maka telah memenuhi syarat dan tidak bertentangan dangan Undang-Undang Ketertiban Umum dan Kesusilaan. Iya (keabhasan) bukan kerena itu (sudah dilaporkan ke Kemenkum HAM)," ujarnya.
Jikapun belum mendapat pengesahan dari Kemenkum HAM, namun pengurus yang sah sesuai hasil pemilihan sebagaimana diatur anggaran dasar, bisa melakukan tugas dan wewenang dan itu adalah sah.
"Yang bersangkutan bisa melakukan perbuatan hukum, tetapi karena publisitasnya belum tercapai, maka tanggung jawabnya secara pribadi. (Negara belum memberikan perlindungan hukum), tetap sah," katanya.
(maf)