The Indonesian Institute Nilai PSI Miliki Seleksi Kader yang Bagus
A
A
A
JAKARTA - The Indonesian Institute menilai saat partai politik dan parlemen merupakan dua institusi terbawah dalam hal kepercayaan publik. Peneliti The Indonesian Institute, Fadel Basrianto mengatakan, ini terjadi karena parpol tidak adanya seleksi kader-kadernya.
“Dalam negara demokrasi parpol ini pilar demokrasi, tugasnya merekrut kader. Dalam masa-masa pemilu seperti ini, setelah rekrutmen harusnya ada filter,” kata Fadel dalam diskusi “Menyambut Partai Tanpa Koruptor: Jangan Kendor!” di Jakarta, Senin 30 Juli 2018.
Menurutnya saat ini yang sudah melakukan filter adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mereka melakukan seleksi melalui tokoh-tokoh yang kapabel untuk mencari kader masuk ke DPR. “Partai politik lain, partai politik besar yang sudah establish perlu merasa terpukul oleh PSI yang kecil, namun sudah melakukan perannya sebagai partai politik,” ujarnya.
Fadel memuji apa yang dilakukan PSI sebagai fenomena masyakarat mencari cara penegakan perpolitikan di Indonesia karena jengah dengan kelakuan para politisi.
Lebih lanjut, Fadel menceritakan di Yunani dulu orang-orang yang boleh menduduki jabatan-jabatan penting politik adalah filsuf. Karena merupakan orang-orang yang dianggap telah selesai dengan dirinya dan memiliki kapabilitas memikirkan publik secara serius.
Sementara saat ini, masyarakat Indonesia justru dihadapkan pada partai-partai yang mengajukan calon-calon anggota dewan yang terbukti pernah korupsi. Bagi pemilih, rekam jejak para koruptur ini tidak meyakinkan.
“Tidak mengherankan juga masyarakat akan distrust terhadap parpol. Implikasinya juga akan ada distrust juga terhadap parlemen,” katanya.
Fadel mengkhawatirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol dapat menimbulkan ketidakpercayaan kepada demokrasi yang berjalan. Fadel menyatakan para caleg seharusnya berdiri sebagai calon perwakilan publik. Namun, yang terjadi partai seolah-olah memiliki mereka. Saat di parlemen pun, tradisi ini berlanjut. Anggota dewan lebih sering berbicara atas nama partai, bukan atas nama publik.
Maka jika masih meloloskan mantan koruptor, publik akan semakin jengah, semakin tidak percaya pada parpol, dan semakin tidak percaya pada parlemen. “Implikasi seriusnya nya adalah publik tidak percaya pada demokrasi,” tandasnya.
“Dalam negara demokrasi parpol ini pilar demokrasi, tugasnya merekrut kader. Dalam masa-masa pemilu seperti ini, setelah rekrutmen harusnya ada filter,” kata Fadel dalam diskusi “Menyambut Partai Tanpa Koruptor: Jangan Kendor!” di Jakarta, Senin 30 Juli 2018.
Menurutnya saat ini yang sudah melakukan filter adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mereka melakukan seleksi melalui tokoh-tokoh yang kapabel untuk mencari kader masuk ke DPR. “Partai politik lain, partai politik besar yang sudah establish perlu merasa terpukul oleh PSI yang kecil, namun sudah melakukan perannya sebagai partai politik,” ujarnya.
Fadel memuji apa yang dilakukan PSI sebagai fenomena masyakarat mencari cara penegakan perpolitikan di Indonesia karena jengah dengan kelakuan para politisi.
Lebih lanjut, Fadel menceritakan di Yunani dulu orang-orang yang boleh menduduki jabatan-jabatan penting politik adalah filsuf. Karena merupakan orang-orang yang dianggap telah selesai dengan dirinya dan memiliki kapabilitas memikirkan publik secara serius.
Sementara saat ini, masyarakat Indonesia justru dihadapkan pada partai-partai yang mengajukan calon-calon anggota dewan yang terbukti pernah korupsi. Bagi pemilih, rekam jejak para koruptur ini tidak meyakinkan.
“Tidak mengherankan juga masyarakat akan distrust terhadap parpol. Implikasinya juga akan ada distrust juga terhadap parlemen,” katanya.
Fadel mengkhawatirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol dapat menimbulkan ketidakpercayaan kepada demokrasi yang berjalan. Fadel menyatakan para caleg seharusnya berdiri sebagai calon perwakilan publik. Namun, yang terjadi partai seolah-olah memiliki mereka. Saat di parlemen pun, tradisi ini berlanjut. Anggota dewan lebih sering berbicara atas nama partai, bukan atas nama publik.
Maka jika masih meloloskan mantan koruptor, publik akan semakin jengah, semakin tidak percaya pada parpol, dan semakin tidak percaya pada parlemen. “Implikasi seriusnya nya adalah publik tidak percaya pada demokrasi,” tandasnya.
(poe)