Senator Rangkap Pengurus Parpol Dinilai Coreng Wibawa DPD
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menganggap jika anggota DPD atau Senator, merangkap pengurus partai politik (parpol) maka sejatinya anggota DPD masuk perwakilan rakyat, bukan perseorangan.
Hal itu disampaikan Ujang menanggapi putusan MK yang melarang pengurus parpol menjadi anggota DPD.
"Saya di DPR mengawal amandemen kelima meminta perluasan kewenangan DPD. Nah karena kewenangannya tidak kunjung luas maka, dia menjadi pengurus parpol," ujar Ujang dalam diskusi 'Efek Putusan MK terhadap Kandidat Senator' di Kantor Formappi, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Menurut Ujang, melihat perdebatan fraksi di DPR, PDI Perjuangan dianggap menolak kehadiran DPD. Di mana bila melihat pembagian kekuasaan negara seperti di Amerika Serikat, negara federal menempatakan dua orang perwakilannya di negara bagian masing-masing.
Sementara di Indonesia masing-masing provinsi ada empat orang yakni DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
Dalam perdebatan tersebut, idealnya keterwakilan DPD tidak boleh melebihi 1/3 anggota DPR karena dianggap mengganggu kewenangan DPR. Menurutnya, Indonesia secara objektif rusak, karena semua bisa dimainkan termasuk anggota Senator boleh menjadi pengurus Parpol.
"Ketatanegaraan kita perlu diatur yang gak bisa (diatur) masuk masjid pake sepatu. Oleh karena itu saya dukung keputusan MK demi kebaikan Indonesia ke depan," ungkapnya.
Diakui Ujang, saat ini DPD memang tak memiliki fungsi signifikan karena bekerja secara bikameral. Karenanya kewenangan mereka masih diperjuangkan melalui amandemen UUD kelima yang kemudian hasilnya tak disetujui. Suasana tersebut menyebabkan anggota DPD beralih merangkap sebagai pengurus partai.
Ujang merasa khawatir, jika sistem kenegaraan di Indonesia termasuk pembagian kekuasaan tak diatur sesuai kewenangannya bisa berpotensi menjadi negara federal.
"Nah DPD boleh ada sesuai konstitusi tapi Kewenagan jadi pengurus parpol harus dibuang jauh. Kekuasan cenderung koruptif. Kalo dia di DPR juga di DPD ya cenderung koruptif," tandasnya.
Hal itu disampaikan Ujang menanggapi putusan MK yang melarang pengurus parpol menjadi anggota DPD.
"Saya di DPR mengawal amandemen kelima meminta perluasan kewenangan DPD. Nah karena kewenangannya tidak kunjung luas maka, dia menjadi pengurus parpol," ujar Ujang dalam diskusi 'Efek Putusan MK terhadap Kandidat Senator' di Kantor Formappi, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Menurut Ujang, melihat perdebatan fraksi di DPR, PDI Perjuangan dianggap menolak kehadiran DPD. Di mana bila melihat pembagian kekuasaan negara seperti di Amerika Serikat, negara federal menempatakan dua orang perwakilannya di negara bagian masing-masing.
Sementara di Indonesia masing-masing provinsi ada empat orang yakni DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
Dalam perdebatan tersebut, idealnya keterwakilan DPD tidak boleh melebihi 1/3 anggota DPR karena dianggap mengganggu kewenangan DPR. Menurutnya, Indonesia secara objektif rusak, karena semua bisa dimainkan termasuk anggota Senator boleh menjadi pengurus Parpol.
"Ketatanegaraan kita perlu diatur yang gak bisa (diatur) masuk masjid pake sepatu. Oleh karena itu saya dukung keputusan MK demi kebaikan Indonesia ke depan," ungkapnya.
Diakui Ujang, saat ini DPD memang tak memiliki fungsi signifikan karena bekerja secara bikameral. Karenanya kewenangan mereka masih diperjuangkan melalui amandemen UUD kelima yang kemudian hasilnya tak disetujui. Suasana tersebut menyebabkan anggota DPD beralih merangkap sebagai pengurus partai.
Ujang merasa khawatir, jika sistem kenegaraan di Indonesia termasuk pembagian kekuasaan tak diatur sesuai kewenangannya bisa berpotensi menjadi negara federal.
"Nah DPD boleh ada sesuai konstitusi tapi Kewenagan jadi pengurus parpol harus dibuang jauh. Kekuasan cenderung koruptif. Kalo dia di DPR juga di DPD ya cenderung koruptif," tandasnya.
(maf)