Banyak Faktor Pengaruhi Masalah Kesehatan Manusia
A
A
A
JAKARTA - Data World Health Organization (WHO) menyebutkan, stunting mencerminkan terjadinya kekurangan gizi kronis selama periode paling kritis pertumbuhan dan perkembangan di awal kehidupan (0-59 bulan), sehingga pertumbuhan anak menjadi terlalu pendek untuk usianya.
Hal ini terungkap dalam pelatihan bagi tenaga kesehatan bertajuk Global Health True Leaders (GHTL) 2.0, di Dmax Hotel and Convention, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), 16-23 Juli 2018.
Pelatihan ini mengedepankan pentingnya kolaborasi seluruh tenaga kesehatan dalam mengatasi permasalahan kesehatan global melalui pendekatan budaya. Pendekatan budaya memerlukan perhatian khusus dalam pengentasan isu kesehatan pada komunitas yang kesehariannya masih kental dengan budaya.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Prof Wiku Adisasmito menggarisbawahi pentingnya revolusi mental pendidikan melalui kolaborasi lintas universitas dan lintas negara dalam mengatasi isu kesehatan global.
"Permasalahan kesehatan bukanlah isu yang bisa dikotak-kotakkan pada bidang ilmu yang terpisah. Permasalahan kesehatan pada manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan cara mengatasinya memerlukan kolaborasi multidisiplin yang perlu dibiasakan sejak dini dalam proses pendidikan," ungkap Wiku, dalam siaran pers, Rabu (25/7/2018).
Lanjut Wiku, tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan hewan juga memengaruhi kesehatan manusia terkait sumber pangan dan interaksi keduanya dalam keseharian. Sehingga penyelesaian masalah kesehatan dengan konsep One Health akan berpotensi memberikan solusi yang lebih komprehensif daripada pendekatan keilmuan yang terkotak-kotak, baik dalam usaha promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun pembiayaan.
Khusus di Indonesia, stunting masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun, persentase status stunting Indonesia mengalami fluktuasi.
Pada tahun 2007 stunting di Indonesia terdata sebesar 36,8%; turun sebesar 1,2% pada tahun 2010 (35,6%) dan meningkat lagi sebesar 1,6% menjadi 37,2% pada tahun 2013. dan tahun. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2015, menunjukkan bahwa sebesar 29% balita di Indonesia mengalami stunting.
Meskipun terhadi penurunan prevalensi stunting dari tinggi (30-39%) ke rendah (20-29%), prevalensi ini belum cukup memenuhi kriteria WHO mengenai batas maksimum prevalensi stunting untuk kepentingan kesehatan masyarakat, yaitu kurang dari 20%.
Berdasarkan studi ilmiah de Onis dan Branca (2016), stunting pada anak adalah indikator kesejahteraan anak-anak dan ketidaksetaraan sosial yang sangat representatif dan akurat. Berdasarkan data dari Kemenkes, stunting di NTB selalu memberikan prevalensi tinggi, dari 36.43% pada tahun 2014, dan 34,69% pada tahun 2015.
Peserta GHTL di NTB ini meliputi mahasiswa kesehatan serta tenaga dan pemerhati kesehatan muda seperti dokter medis, dokter hewan, perawat, staf LSM, dosen, peneliti, petugas pemerintah, praktisi kesehatan masyarakat yang berasal dari Indonesia dan Filipina.
Hal ini terungkap dalam pelatihan bagi tenaga kesehatan bertajuk Global Health True Leaders (GHTL) 2.0, di Dmax Hotel and Convention, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), 16-23 Juli 2018.
Pelatihan ini mengedepankan pentingnya kolaborasi seluruh tenaga kesehatan dalam mengatasi permasalahan kesehatan global melalui pendekatan budaya. Pendekatan budaya memerlukan perhatian khusus dalam pengentasan isu kesehatan pada komunitas yang kesehariannya masih kental dengan budaya.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Prof Wiku Adisasmito menggarisbawahi pentingnya revolusi mental pendidikan melalui kolaborasi lintas universitas dan lintas negara dalam mengatasi isu kesehatan global.
"Permasalahan kesehatan bukanlah isu yang bisa dikotak-kotakkan pada bidang ilmu yang terpisah. Permasalahan kesehatan pada manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan cara mengatasinya memerlukan kolaborasi multidisiplin yang perlu dibiasakan sejak dini dalam proses pendidikan," ungkap Wiku, dalam siaran pers, Rabu (25/7/2018).
Lanjut Wiku, tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan hewan juga memengaruhi kesehatan manusia terkait sumber pangan dan interaksi keduanya dalam keseharian. Sehingga penyelesaian masalah kesehatan dengan konsep One Health akan berpotensi memberikan solusi yang lebih komprehensif daripada pendekatan keilmuan yang terkotak-kotak, baik dalam usaha promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun pembiayaan.
Khusus di Indonesia, stunting masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun, persentase status stunting Indonesia mengalami fluktuasi.
Pada tahun 2007 stunting di Indonesia terdata sebesar 36,8%; turun sebesar 1,2% pada tahun 2010 (35,6%) dan meningkat lagi sebesar 1,6% menjadi 37,2% pada tahun 2013. dan tahun. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tahun 2015, menunjukkan bahwa sebesar 29% balita di Indonesia mengalami stunting.
Meskipun terhadi penurunan prevalensi stunting dari tinggi (30-39%) ke rendah (20-29%), prevalensi ini belum cukup memenuhi kriteria WHO mengenai batas maksimum prevalensi stunting untuk kepentingan kesehatan masyarakat, yaitu kurang dari 20%.
Berdasarkan studi ilmiah de Onis dan Branca (2016), stunting pada anak adalah indikator kesejahteraan anak-anak dan ketidaksetaraan sosial yang sangat representatif dan akurat. Berdasarkan data dari Kemenkes, stunting di NTB selalu memberikan prevalensi tinggi, dari 36.43% pada tahun 2014, dan 34,69% pada tahun 2015.
Peserta GHTL di NTB ini meliputi mahasiswa kesehatan serta tenaga dan pemerhati kesehatan muda seperti dokter medis, dokter hewan, perawat, staf LSM, dosen, peneliti, petugas pemerintah, praktisi kesehatan masyarakat yang berasal dari Indonesia dan Filipina.
(maf)