Sekolah dan Industri Masih Sulit Sinergi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah masih kesulitan untuk membangun sinergi antara dunia pendidikan di Indonesia dengan industri. Berbagai upaya yang dilakukan selama 20 tahun terakhir belum mampu membuahkan hasil.
Fakta ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, kemarin. Pemerintah sendiri sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelaraskan sekolah dengan industri. Terakhir, melalui Instruksi Presiden Nomor 9/2016 tentang Revitalisasi SMK yang semakion mendorong industri dan SMK melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kedua belah pihak. Sejauh ini ada sekitar 100 SMK yang sudah menjalin kerja sama dengan industri.
Di sisi lain, saat ini sudah ada 31 program studi yang dijalankan pemerintah melalui koordinasi sejumlah kementerian, seperti Kemendikbud, Kemenhub, Kemenaker, Kementerian BUMN, dan Kemenko Perekonomian. Targetnya, seluruh kementerian yang memiliki vokasi menjalin bekerja bersama dan menggunakan lulusan SMK. Diharapkan 600 ribu lulusan SMK dapat lapangan pekerjaan.
"Kita itu sudah lama sebenarnya mengotak-atik masalah itu ada link and match. Bahkan 20 tahun lalu. Padahal sudah 20 tahun tapi enggak ada link," ujar dia saat memberi pemaparan di depan Sekolah Staf Pimpinan Luar Negeri Angkatan ke 59 di Economic Trend, Global Phenomenon and Its Implication to Indonesia di Pusdiklat Kementerian Luar Negeri, Jakarta.
Darmin melihat ada sejumlah persoalan kurikulum di SMK yang membuat lulusannya masih sulit diserap industri. Dalam pandangannya, proporsi kurikulum yang terbagi atas 30% di kelas, 30% praktik, dan 30% magang, masih perlu diperbaiki lagi.
’Kita lakukan perubahan di bidang vokasional. Kondisi peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas lulusan SMK, impor ekspor invetasi itu yang sedang kita lakukan. Kita percaya bahwa itu bisa menjawab untuk menyiapkan langkah-langkah yang buat kita berkembang," kata dia.
Lebih jauh dia mengungkapkan, perbaikan struktur pendidikan di SMK dimaksud dilakukan dengan cara memperbanyak praktik lapangan. Pemerintah harus bekerja sama dengan para pelaku industri agar siswa SMK dapat melakukan magang di industri. Dia meyakini, semakin banyak siswa SMK mendapatkan kesempatan memanfaatkan fasilitas di industri, mereka akan semakin terlatih dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan Industri. Dengan demikian lulusan SMK semakin terserap industri.
Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengakui kalangan industri membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai. Untuk itu seharusnya para lulusan SMK bisa langsung siap bekerja melalui pemberian kurikulum pendidikan yang tepat. "Perusahaan tidak ada waktu dan anggaran mengadakan pelatihan terhadap pegawai baru, yang dibutuhkan mereka bisa langsung kerja," kata Sarman saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, tadi malam.
Menurut dia, para calon tenaga kerja tersebut seharusnya sudah dibekali sesuai dengan bidang dan kompetensinya masing-masing. Kurikulum pendidikan yang ada saat ini harus disesuaikan dengan dunia industri terkini. "Saya sepakat bahwa kurikulum di SMK harus disesuaikan dengan dunia industri supaya kurikulum ini betul-betul dan sejalan dengan kebutuhan di dunia usaha, supaya mereka bisa langsung bekerja," tegasnya.
Untuk itu, kata Sarman, pendidikan setingkat SMK harus memperbanyak kurikulum dari segi praktik di lapangan, bukan hanya teorinya saja. Hal ini juga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Selain dari pemerintah, untuk mencetak tenaga kerja yang berkualitas juga membutuhkan dukungan dari dunia usaha.
"Selain kurikulum, peralatan praktik yang dipakai di SMK juga harus disesuaikan dengan industri terkini, misalnya jurusan perhotelan, peralatan dapur, alat pembersihnya harus disesuaikan dengan alat yang ada di hotel saat ini," terangnya.
Dia juga mengimbau kepada para pelaku usaha agar siswa SMK dapat melakukan magang di industri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dengan demikian, siswa tersebut mempunyai kualitas yang kempeten karena telah mempunyai pengalaman bekerja di industri secara langsung.
Sementara itu, Direktur Pembinaan SMK Kemendikbud, Bakhrun, menyatakan, sebenarnya sudah banyak SMK yang disesuaikan dengan kebutuhan industri di era pemerintahan sebelumnya. Namun dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 9/2016 tentang Revitalisasi SMK akhirnya semakin mendorong industri dan SMK melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kedua belah pihak.
‘’Sampai saat ini ada sekitar 100 SMK yang sudah menjalin kerja sama dengan industri. Namun jumlah 100 SMK yang kerja sama ini masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah SMK yang saat ini jumlahnya ada 13.710 unit,’’ ujar dia.
Dia lantas menuturkan saat ini Kemendikbud sudah melakukan revitalisasi terhadap 219 SMK. Jumlahnya akan ditambah lagi sebanyak 350 unit SMK tahun depan. Selain itu, kurikulum SMK pun sudah mulai diselaraskan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). “Menyelaraskan 142 kompetensi keahlian yang ada di SMK. Tiap sekolah mulai tahun ini menerapkan kurikulum yang sudah disinkronkan dengan DUDI,” jelasnya.
Pemerintah Harus Fasilitasi
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, jika memang pemerintah mau memperhatikan pendidikan vokasi ini lebih dari pendidikan umum, maka harus ada kerja sama yang nyata antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha. “Pemerintah harus segera membuka dan memfasilitasi hubungan kerjasama riil antara lembaga pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI),” katanya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan, sistem akademik di pendidikan vokasi juga harus dimaksimalkan kepada praktik. Konsepnya harus 70% belajar praktik di industri dan hanya 30% saja belajar teori di dalam kelas.
Menurut dia, link and match tidak hanya terjalin di ruang kelas. Namun pemerintah harus menanyakan kebutuhan sumber daya manusia seperti apa yang harus diluluskan vokasi. Sehingga jurusan yang dibuka di pendidikan vokasi pun sesuai kebutuhan dan penyerapan tenaga kerja pun semakin cepat serta angka pengangguran bisa teratasi.
“Perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan vokasi harus bekerjasama dengan Kadin, sebagaimana yang sudah diterapkan di negara-negara maju seperti Jerman,” katanya.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, antara keduanya memang pada kenyataanya masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada komunikasi antarkeduanya. Dampaknya, dunia industri pun tidak tahu apa yang terjadi di dunia pendidikan dan lembaga pendidikan tidak tahu apa yang dibutuhkan industri.
Oleh karena itu, ujar mantan Ketua Tim Pengembangan Kurikulum 2013 ini, keduanya harus tahu apa yang dibutuhkan masing-masing dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidikan vokasi. Said menganggap lulusan vokasi yang tidak terserap oleh dunia industri, sama halnya temuan ilmiah dan teknologi yang tidak diserap dan dibesarkan dunia bisnis tidak akan ada artinya lagi. (neneng zubaedah)
Fakta ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, kemarin. Pemerintah sendiri sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelaraskan sekolah dengan industri. Terakhir, melalui Instruksi Presiden Nomor 9/2016 tentang Revitalisasi SMK yang semakion mendorong industri dan SMK melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kedua belah pihak. Sejauh ini ada sekitar 100 SMK yang sudah menjalin kerja sama dengan industri.
Di sisi lain, saat ini sudah ada 31 program studi yang dijalankan pemerintah melalui koordinasi sejumlah kementerian, seperti Kemendikbud, Kemenhub, Kemenaker, Kementerian BUMN, dan Kemenko Perekonomian. Targetnya, seluruh kementerian yang memiliki vokasi menjalin bekerja bersama dan menggunakan lulusan SMK. Diharapkan 600 ribu lulusan SMK dapat lapangan pekerjaan.
"Kita itu sudah lama sebenarnya mengotak-atik masalah itu ada link and match. Bahkan 20 tahun lalu. Padahal sudah 20 tahun tapi enggak ada link," ujar dia saat memberi pemaparan di depan Sekolah Staf Pimpinan Luar Negeri Angkatan ke 59 di Economic Trend, Global Phenomenon and Its Implication to Indonesia di Pusdiklat Kementerian Luar Negeri, Jakarta.
Darmin melihat ada sejumlah persoalan kurikulum di SMK yang membuat lulusannya masih sulit diserap industri. Dalam pandangannya, proporsi kurikulum yang terbagi atas 30% di kelas, 30% praktik, dan 30% magang, masih perlu diperbaiki lagi.
’Kita lakukan perubahan di bidang vokasional. Kondisi peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas lulusan SMK, impor ekspor invetasi itu yang sedang kita lakukan. Kita percaya bahwa itu bisa menjawab untuk menyiapkan langkah-langkah yang buat kita berkembang," kata dia.
Lebih jauh dia mengungkapkan, perbaikan struktur pendidikan di SMK dimaksud dilakukan dengan cara memperbanyak praktik lapangan. Pemerintah harus bekerja sama dengan para pelaku industri agar siswa SMK dapat melakukan magang di industri. Dia meyakini, semakin banyak siswa SMK mendapatkan kesempatan memanfaatkan fasilitas di industri, mereka akan semakin terlatih dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan Industri. Dengan demikian lulusan SMK semakin terserap industri.
Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengakui kalangan industri membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai. Untuk itu seharusnya para lulusan SMK bisa langsung siap bekerja melalui pemberian kurikulum pendidikan yang tepat. "Perusahaan tidak ada waktu dan anggaran mengadakan pelatihan terhadap pegawai baru, yang dibutuhkan mereka bisa langsung kerja," kata Sarman saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, tadi malam.
Menurut dia, para calon tenaga kerja tersebut seharusnya sudah dibekali sesuai dengan bidang dan kompetensinya masing-masing. Kurikulum pendidikan yang ada saat ini harus disesuaikan dengan dunia industri terkini. "Saya sepakat bahwa kurikulum di SMK harus disesuaikan dengan dunia industri supaya kurikulum ini betul-betul dan sejalan dengan kebutuhan di dunia usaha, supaya mereka bisa langsung bekerja," tegasnya.
Untuk itu, kata Sarman, pendidikan setingkat SMK harus memperbanyak kurikulum dari segi praktik di lapangan, bukan hanya teorinya saja. Hal ini juga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Selain dari pemerintah, untuk mencetak tenaga kerja yang berkualitas juga membutuhkan dukungan dari dunia usaha.
"Selain kurikulum, peralatan praktik yang dipakai di SMK juga harus disesuaikan dengan industri terkini, misalnya jurusan perhotelan, peralatan dapur, alat pembersihnya harus disesuaikan dengan alat yang ada di hotel saat ini," terangnya.
Dia juga mengimbau kepada para pelaku usaha agar siswa SMK dapat melakukan magang di industri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dengan demikian, siswa tersebut mempunyai kualitas yang kempeten karena telah mempunyai pengalaman bekerja di industri secara langsung.
Sementara itu, Direktur Pembinaan SMK Kemendikbud, Bakhrun, menyatakan, sebenarnya sudah banyak SMK yang disesuaikan dengan kebutuhan industri di era pemerintahan sebelumnya. Namun dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 9/2016 tentang Revitalisasi SMK akhirnya semakin mendorong industri dan SMK melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kedua belah pihak.
‘’Sampai saat ini ada sekitar 100 SMK yang sudah menjalin kerja sama dengan industri. Namun jumlah 100 SMK yang kerja sama ini masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah SMK yang saat ini jumlahnya ada 13.710 unit,’’ ujar dia.
Dia lantas menuturkan saat ini Kemendikbud sudah melakukan revitalisasi terhadap 219 SMK. Jumlahnya akan ditambah lagi sebanyak 350 unit SMK tahun depan. Selain itu, kurikulum SMK pun sudah mulai diselaraskan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). “Menyelaraskan 142 kompetensi keahlian yang ada di SMK. Tiap sekolah mulai tahun ini menerapkan kurikulum yang sudah disinkronkan dengan DUDI,” jelasnya.
Pemerintah Harus Fasilitasi
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, jika memang pemerintah mau memperhatikan pendidikan vokasi ini lebih dari pendidikan umum, maka harus ada kerja sama yang nyata antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha. “Pemerintah harus segera membuka dan memfasilitasi hubungan kerjasama riil antara lembaga pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI),” katanya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan, sistem akademik di pendidikan vokasi juga harus dimaksimalkan kepada praktik. Konsepnya harus 70% belajar praktik di industri dan hanya 30% saja belajar teori di dalam kelas.
Menurut dia, link and match tidak hanya terjalin di ruang kelas. Namun pemerintah harus menanyakan kebutuhan sumber daya manusia seperti apa yang harus diluluskan vokasi. Sehingga jurusan yang dibuka di pendidikan vokasi pun sesuai kebutuhan dan penyerapan tenaga kerja pun semakin cepat serta angka pengangguran bisa teratasi.
“Perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan vokasi harus bekerjasama dengan Kadin, sebagaimana yang sudah diterapkan di negara-negara maju seperti Jerman,” katanya.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, antara keduanya memang pada kenyataanya masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada komunikasi antarkeduanya. Dampaknya, dunia industri pun tidak tahu apa yang terjadi di dunia pendidikan dan lembaga pendidikan tidak tahu apa yang dibutuhkan industri.
Oleh karena itu, ujar mantan Ketua Tim Pengembangan Kurikulum 2013 ini, keduanya harus tahu apa yang dibutuhkan masing-masing dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidikan vokasi. Said menganggap lulusan vokasi yang tidak terserap oleh dunia industri, sama halnya temuan ilmiah dan teknologi yang tidak diserap dan dibesarkan dunia bisnis tidak akan ada artinya lagi. (neneng zubaedah)
(thm)