Merasa Dibohongi, Alasan Effendi Gazali Gugat UU Pemilu ke MK
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan mengenai uji materi atau judicial review Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pasal itu mengatur tentang ambang batas pernyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden 2019. Dalam pasal itu disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kuris di DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya.
Uji materi itu diajukan oleh beberapa orang, termasuk pakar komunikasi politik Effendi Gazali. "Hal tersebut juga dinyatakan dalam putusan MK sendiri bahwa Pancasila adalah bagian utuh dari UUD 1945 di nyatakan dalam putusan Nomor 59 Tahun 2015," kata Efendi di Gedung MK, Jakarta, Senin (9/7/2018).
Effendi mengatakan, sebagai warga negara yang sudah melakukan hak pilih pada pemilu DPR 2014,tidak pernah diberitahu sama sekali baik oleh UU atau peraturan apa pun, maupun oleh DPR mengenai aturan tersebut.
Menurut dia, saat Pemilu 2014, dirinya yang memiliki hak pilih tidak mengetahui bahwa hasil pemilu legislatif sekaligus untuk menentukan presidential threshold atau ambang batas pernyaratan pencapresan.
Oleh karena itu, Efendi merasa dibohongi. Dia pun merujuk arti kata bohong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mempersoalkan keputusan DPR dan pemerintah mengenai Pasal 222.
Namun Effendi meminta agar MK tidak membiarkan Pemilu serentak 2019 bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan bagian utuh dari UUD 1945.
"Kalau itu dibiarkan dan terlaksana pada pemilu serentak, berarti sudah membiarkan terjadinya pembohongan kepada warga negara. Setidaknya kami yang sudah melakukan hak pilih kami pada Pemilu DPR 2014 dan sekaligus MK membiarkan terjadinya manipulasi ataupun penggelapan hasil hak suara kami pada pemilu DPR 2014 untuk tujuan-tujuan sebagaimana sudah disampaikan sebagai Warga negara," katanya.
Sementara itu, Hakim Konstuitusi Saldi Isra mengatakan permohonan tersebut harus perlu diperbaiki. "Ini memang harus di sistematisasi lagi ada yang melompat lompat, kronologinya jelas, identitas pemohon, kewenangan Mahkamah, legal standing para pemohon, kemudian alasan mengajukan permohonan, baru kemudian petitum," kata Saldi.
Selain Efendi, dalam sidang pendahuluan ini juga turut hadir pemohon lainnya, yakni Reza Indragiri Amriel, Mahasiswa Ketua Kabinet KM ITB, Ahmad Wali Radhi, Wiraswasta, Khoe Seng Seng, dan mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat, Usman.
Pasal itu mengatur tentang ambang batas pernyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden 2019. Dalam pasal itu disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kuris di DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya.
Uji materi itu diajukan oleh beberapa orang, termasuk pakar komunikasi politik Effendi Gazali. "Hal tersebut juga dinyatakan dalam putusan MK sendiri bahwa Pancasila adalah bagian utuh dari UUD 1945 di nyatakan dalam putusan Nomor 59 Tahun 2015," kata Efendi di Gedung MK, Jakarta, Senin (9/7/2018).
Effendi mengatakan, sebagai warga negara yang sudah melakukan hak pilih pada pemilu DPR 2014,tidak pernah diberitahu sama sekali baik oleh UU atau peraturan apa pun, maupun oleh DPR mengenai aturan tersebut.
Menurut dia, saat Pemilu 2014, dirinya yang memiliki hak pilih tidak mengetahui bahwa hasil pemilu legislatif sekaligus untuk menentukan presidential threshold atau ambang batas pernyaratan pencapresan.
Oleh karena itu, Efendi merasa dibohongi. Dia pun merujuk arti kata bohong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mempersoalkan keputusan DPR dan pemerintah mengenai Pasal 222.
Namun Effendi meminta agar MK tidak membiarkan Pemilu serentak 2019 bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan bagian utuh dari UUD 1945.
"Kalau itu dibiarkan dan terlaksana pada pemilu serentak, berarti sudah membiarkan terjadinya pembohongan kepada warga negara. Setidaknya kami yang sudah melakukan hak pilih kami pada Pemilu DPR 2014 dan sekaligus MK membiarkan terjadinya manipulasi ataupun penggelapan hasil hak suara kami pada pemilu DPR 2014 untuk tujuan-tujuan sebagaimana sudah disampaikan sebagai Warga negara," katanya.
Sementara itu, Hakim Konstuitusi Saldi Isra mengatakan permohonan tersebut harus perlu diperbaiki. "Ini memang harus di sistematisasi lagi ada yang melompat lompat, kronologinya jelas, identitas pemohon, kewenangan Mahkamah, legal standing para pemohon, kemudian alasan mengajukan permohonan, baru kemudian petitum," kata Saldi.
Selain Efendi, dalam sidang pendahuluan ini juga turut hadir pemohon lainnya, yakni Reza Indragiri Amriel, Mahasiswa Ketua Kabinet KM ITB, Ahmad Wali Radhi, Wiraswasta, Khoe Seng Seng, dan mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat, Usman.
(dam)