Korupsi SKL BLBI, Rapat Penerbitan SKL di Rumah Pribadi Megawati
A
A
A
JAKARTA - Rapat pembahasan upaya penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dilakukan di rumah pribadi Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Fakta tersebut diungkap Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) periode 1999-2000 sekaligus Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/7).
Kwik Kian Gie bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung. Selain Kwik, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK juga menghadirkan Menko Ekuin periode 2000-2001 Rizal Ramli, ketua BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan, kepala BPPN 2001-2002, dan Koordinator Tim Pengarah Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Hadiah Herawatie.
Kwik Kian Gie menyatakan, saat menjabat sebagai Menko Ekuin dirinya juga merangkap sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Saat itu, Sekretaris KKSK adalah Syafruddin Arsjad Temenggung. Untuk jabatan kepala Bappenas, tutur Kwik, juga ex-officio sebagai anggota KKSK. Posisi Kwik sebagai kepala Bappenas ketika itu dijabat saat era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Kwik memaparkan, dirinya sudah sejak awal menolak diterbitkan dan diberikannya SKL kepada para obligor BLBI. Karena bagi Kwik penerbitan SKL atau Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SPKPS) sangat berbahaya, akan menimbulkan permasalahan, dan mengakibatkan kerugian negara yang sangat. Dia membeberkan, penolakannya secara keras juga terjadi di masa pemerintahan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Dia memaparkan, ada tiga kali rapat kabinet yang dilakukan pemerintahan Megawati guna membahas kebijakan penerbitan SKL. Kwik mengklaim, saat dua kali rapat dirinya berhasil menggagalkan pengambilan keputusan dengan menyampaikan pendapat seperti tadi.
"Tetapi ketika ketiga kalinya, diadakan rapat sidang kabinet terbatas maka saya kalah, oleh karena saya langsung menghadapi apa yang saya sebut total football. Begitu sidang kabinet dibuka, semua menteri dari semua penjuru menghantam saya, sehingga saya sudah tidak berdaya lagi untuk mengemukakan argumentasi," tutur Kwik di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Anggota JPU I Wayan Riana lantas membacakan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kwik nomor 26. Inti BAP tersebut terkait dengan keikutsertaan Kwik selaku kepala Bappenas ex-officio anggota KKSK dalam tiga kali rapat perihal penerbitan SKL yang tidak spesifik untuk obligor tertentu. Pertama, Kwik diundang oleh Megawati Soekarnoputri selaku Presiden RI saat itu untuk hadir di kediaman pribadi Megawati di Jalan Teuku Umar Nomor 27, Menteng, Jakarta Pusat.
Selain Megawati dan Kwik, hadir juga Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Gotong-Royong 2001-2004 merangkap Ketua KKSK, Boediono selaku Menteri Keuangan, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN, dan MA Rahman selaku Jaksa Agung.
Rapat tersebut memutuskan memberikan SKL kepada obligor yang kooperatif. Tapi Kwik menolak keputusan rapat dengan empat alasan. Pertama, Kwik berpendirian bahwa obligor yang berhak mendapat SKL apabila jumlah uang terhutang kepada negara benar masuk ke dalam kas negara.
"Dalam rapat tersebut saya beralasan bahwa rapat di Teuku Umar tidak sah karena tidak ada undangan tertulis, tidak dilaksanakan di Istana Negara sehingga bukan rapat kabinet yang sah. Saudara Megawati selaku Presiden RI membatalkan kesepakatan di Teuku Umar tersebut," JPU Wayan membacakan isi BAP Kwik.
Masih dalam BAP Kwik, pertemuan kedua terjadi di Istana Negara yang dihadiri juga oleh Dorodjatun, Boediono, Sukardi, dan MA Rahman. Dalam rapat ini, Kwik tetap tidak setuju dengan rencana keputusan penerbitan SKL. Atas penolakan Kwik tersebut, Megawati selaku Presiden menutup rapat dengan tidak mengambil keputusan apapun. Saat pertemuan ketiga masih di Istana Negara, para pihak yang hadir juga sama. Hanya saja ada tambahan satu orang yakni Yusril Ihza Mahedra. Seingat Kwik sepeti dalam BAP, Yusril ketika itu selaku Menteri Kehakiman. Meteri rapat tetap sama membahas pemberian SKL kepada obligor BLBI.
"Pendapat saya atas keputusan rapat tersebut adalah tetap tidak setuju dengan penerbitan SKL. Rapat tersebut akhirnya Bu Megawati selaku Presiden RI memutuskan untuk tetap menerbitkan SKL kepada para obligor yang kooperatif," bunyi BAP Kwik yang dibaca JPU Wayan.
JPU Wayan mengonfirmasi ulang ke Kwik apakah benar isi BAP tersebut. Kwik memastikan memang kejadiannya seperti itu. Pada rapat sidang kabinet yang terakhir inilah menurut Kwik, dirinya tidak berdaya lagi dalam mengemukakan pendapat.
"Akhirnya Presiden Megawati menutup rapat dengan mengatakan ya. Lalu seingat saya, (Megawati) menugaskan pak Yusril sebagai menteri kehakiman untuk menyusunnya, menyusun draf inpres (instruksi presiden)," ungkap Kwik.
Dia membeberkan, inpres disusun sebagai implementasi dari UU Nomor 25/2001 tentang Propenas dan TAP MPR. Karena dengan adanya ketidakpastian hukum bagi para debitur (obligor) maka akan menimbulkan ketidaknyamanan dan perlunya kepastian ekonomi cepat kembali pulih. Inpres lantas diteken Megawati pada 30 Desember 2002.
Lebih lanjut Kwik menjelaskan konteks obligor kooperatif sebagaimana pernyataan dalam rapat di kediaman pribadi Megawati. Obligor kooperatif adalah membayarkan dan menyetorkan kewajibannya ke negara dan masuk dalam kas negara, bukan sekadar datang ketika dipanggil BPPN atau KKSK.
"BDNI masuk kelompok tidak kooperatif. Pemegang saham tidak membayarkan kewajibannya. Total kewajiban yang tidak dibayarkan BDNI, Sjamsul Nursalim totalnya Rp4,8 triliun, yang unsuistanaible Rp3,5 triliun," tegasnya.
Yusril Ihza Mahedra yang saat ini duduk sebagai Ketua Tim Penasihat Hukum Syafruddin Arsjad Temenggung. Yusril mengatakan, yang menyusun Instruksi Presiden (inpres) Nomor 8/2002 adalah Sekretaris Kabinet bukan Menteri Kehakiman atau Menkumham. Inpres tersebut tutur Yusril yang menyusunnya adalah Bambang Kristowo selaku Menteri Sekretaris Negara merangkap Sekretaris Kabinet.
"Kalau Inpres 100% itu Sekretariat Negara dan Sekretaris Kabinet pak Bambang Kristowo bukan Yusril Ihza Mahendra. Jadi kalau dilihat teks aslinya ini itu ditandatangani oleh ibu Megawati Soekarnoputri, salinan sesuai dengan aslinya deputi sekretaris kabinet dan perundang undangan," ucap Yusril.
Fakta tersebut diungkap Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) periode 1999-2000 sekaligus Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/7).
Kwik Kian Gie bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung. Selain Kwik, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK juga menghadirkan Menko Ekuin periode 2000-2001 Rizal Ramli, ketua BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan, kepala BPPN 2001-2002, dan Koordinator Tim Pengarah Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Hadiah Herawatie.
Kwik Kian Gie menyatakan, saat menjabat sebagai Menko Ekuin dirinya juga merangkap sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Saat itu, Sekretaris KKSK adalah Syafruddin Arsjad Temenggung. Untuk jabatan kepala Bappenas, tutur Kwik, juga ex-officio sebagai anggota KKSK. Posisi Kwik sebagai kepala Bappenas ketika itu dijabat saat era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Kwik memaparkan, dirinya sudah sejak awal menolak diterbitkan dan diberikannya SKL kepada para obligor BLBI. Karena bagi Kwik penerbitan SKL atau Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SPKPS) sangat berbahaya, akan menimbulkan permasalahan, dan mengakibatkan kerugian negara yang sangat. Dia membeberkan, penolakannya secara keras juga terjadi di masa pemerintahan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Dia memaparkan, ada tiga kali rapat kabinet yang dilakukan pemerintahan Megawati guna membahas kebijakan penerbitan SKL. Kwik mengklaim, saat dua kali rapat dirinya berhasil menggagalkan pengambilan keputusan dengan menyampaikan pendapat seperti tadi.
"Tetapi ketika ketiga kalinya, diadakan rapat sidang kabinet terbatas maka saya kalah, oleh karena saya langsung menghadapi apa yang saya sebut total football. Begitu sidang kabinet dibuka, semua menteri dari semua penjuru menghantam saya, sehingga saya sudah tidak berdaya lagi untuk mengemukakan argumentasi," tutur Kwik di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Anggota JPU I Wayan Riana lantas membacakan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kwik nomor 26. Inti BAP tersebut terkait dengan keikutsertaan Kwik selaku kepala Bappenas ex-officio anggota KKSK dalam tiga kali rapat perihal penerbitan SKL yang tidak spesifik untuk obligor tertentu. Pertama, Kwik diundang oleh Megawati Soekarnoputri selaku Presiden RI saat itu untuk hadir di kediaman pribadi Megawati di Jalan Teuku Umar Nomor 27, Menteng, Jakarta Pusat.
Selain Megawati dan Kwik, hadir juga Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Gotong-Royong 2001-2004 merangkap Ketua KKSK, Boediono selaku Menteri Keuangan, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN, dan MA Rahman selaku Jaksa Agung.
Rapat tersebut memutuskan memberikan SKL kepada obligor yang kooperatif. Tapi Kwik menolak keputusan rapat dengan empat alasan. Pertama, Kwik berpendirian bahwa obligor yang berhak mendapat SKL apabila jumlah uang terhutang kepada negara benar masuk ke dalam kas negara.
"Dalam rapat tersebut saya beralasan bahwa rapat di Teuku Umar tidak sah karena tidak ada undangan tertulis, tidak dilaksanakan di Istana Negara sehingga bukan rapat kabinet yang sah. Saudara Megawati selaku Presiden RI membatalkan kesepakatan di Teuku Umar tersebut," JPU Wayan membacakan isi BAP Kwik.
Masih dalam BAP Kwik, pertemuan kedua terjadi di Istana Negara yang dihadiri juga oleh Dorodjatun, Boediono, Sukardi, dan MA Rahman. Dalam rapat ini, Kwik tetap tidak setuju dengan rencana keputusan penerbitan SKL. Atas penolakan Kwik tersebut, Megawati selaku Presiden menutup rapat dengan tidak mengambil keputusan apapun. Saat pertemuan ketiga masih di Istana Negara, para pihak yang hadir juga sama. Hanya saja ada tambahan satu orang yakni Yusril Ihza Mahedra. Seingat Kwik sepeti dalam BAP, Yusril ketika itu selaku Menteri Kehakiman. Meteri rapat tetap sama membahas pemberian SKL kepada obligor BLBI.
"Pendapat saya atas keputusan rapat tersebut adalah tetap tidak setuju dengan penerbitan SKL. Rapat tersebut akhirnya Bu Megawati selaku Presiden RI memutuskan untuk tetap menerbitkan SKL kepada para obligor yang kooperatif," bunyi BAP Kwik yang dibaca JPU Wayan.
JPU Wayan mengonfirmasi ulang ke Kwik apakah benar isi BAP tersebut. Kwik memastikan memang kejadiannya seperti itu. Pada rapat sidang kabinet yang terakhir inilah menurut Kwik, dirinya tidak berdaya lagi dalam mengemukakan pendapat.
"Akhirnya Presiden Megawati menutup rapat dengan mengatakan ya. Lalu seingat saya, (Megawati) menugaskan pak Yusril sebagai menteri kehakiman untuk menyusunnya, menyusun draf inpres (instruksi presiden)," ungkap Kwik.
Dia membeberkan, inpres disusun sebagai implementasi dari UU Nomor 25/2001 tentang Propenas dan TAP MPR. Karena dengan adanya ketidakpastian hukum bagi para debitur (obligor) maka akan menimbulkan ketidaknyamanan dan perlunya kepastian ekonomi cepat kembali pulih. Inpres lantas diteken Megawati pada 30 Desember 2002.
Lebih lanjut Kwik menjelaskan konteks obligor kooperatif sebagaimana pernyataan dalam rapat di kediaman pribadi Megawati. Obligor kooperatif adalah membayarkan dan menyetorkan kewajibannya ke negara dan masuk dalam kas negara, bukan sekadar datang ketika dipanggil BPPN atau KKSK.
"BDNI masuk kelompok tidak kooperatif. Pemegang saham tidak membayarkan kewajibannya. Total kewajiban yang tidak dibayarkan BDNI, Sjamsul Nursalim totalnya Rp4,8 triliun, yang unsuistanaible Rp3,5 triliun," tegasnya.
Yusril Ihza Mahedra yang saat ini duduk sebagai Ketua Tim Penasihat Hukum Syafruddin Arsjad Temenggung. Yusril mengatakan, yang menyusun Instruksi Presiden (inpres) Nomor 8/2002 adalah Sekretaris Kabinet bukan Menteri Kehakiman atau Menkumham. Inpres tersebut tutur Yusril yang menyusunnya adalah Bambang Kristowo selaku Menteri Sekretaris Negara merangkap Sekretaris Kabinet.
"Kalau Inpres 100% itu Sekretariat Negara dan Sekretaris Kabinet pak Bambang Kristowo bukan Yusril Ihza Mahendra. Jadi kalau dilihat teks aslinya ini itu ditandatangani oleh ibu Megawati Soekarnoputri, salinan sesuai dengan aslinya deputi sekretaris kabinet dan perundang undangan," ucap Yusril.
(pur)