Tiga Kader Tersangka KPK, PDIP: Ada yang Ingin Jadi Tersangka dalam Pilkada?
A
A
A
JAKARTA - Dalam sepekan di bulan puasa, KPK mencokok tiga kader PDI Perjuangan yang menjadi kepala daerah, yakni Bupati Purbalingga Tasdi, Wali Kota Blitar Muh Samanhudi Anwar dan Bupati Tulungangung Syahri Mulyo. Tasdi ditetapkan tersangka melalui operasi tangkap tangan (OTT), sedangkan Samanhudi dan Syahri melalui pengembangan OTT.
Menyikapi hal ini, Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menduga ada pihak-pihak yang ingin menjadi 'wasit' dalam Pilkada setelah dirinya turun langsung menyaring informasi ke Blitar dan Tulungagung.
"Kemudian menggunakan berbagai upaya, untuk termasuk menggunakan hukum sabagai alat kekuasaan," ungkap Hasto di Stasiun Senen, Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Hasto mengungkapkan, saat dirinya turun ke Tulungagung mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa kasus yang menimpa kader tersebut bagian dari rivalitas pilkada. Bahkan, Hasto mengaku mendapat informasi bahwa dua hari sebelum OTT, ada tim lawan yang menyebut akan ada kejadian luar biasa di Tulungagung.
"Dan kami tau siapa orangnya itu, yang akan merubah peta poltik di Tulungagung. Dan jangan gunakan hukum karena rivalitas dalam pilkada," ujarnya.
Hasto mengaku sepakat pemberantasan korupsi harus ditegakkan. Namun, hal itu didasari atas prinsip kebenaran dan keadilan sesuai mekanisme hukum. Terlebih, kata Hasto, kader PDIP yang tersangkut kasus dugaan korupsi itu memiliki elektabilitas yang tinggi.
Dia berharap, penegak hukum seperti KPK tak menggunakan cara OTT yang tidak tepat yang berpotensi mengorbankan pemerintahan setempat.
"Kemudian di Blitar yang ditangkap bukan pejabat negara, sehingga ada motif apa? Sehingga wajar ketika rakyat di Blitar dan Tulungagung mengatakan ada motif politik di balik hal tersebut, karena yang teratangkap tangan bukan bupati dan wali kotanya kemudian dibangun kesan secara masif," pungkasnya.
Menyikapi hal ini, Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menduga ada pihak-pihak yang ingin menjadi 'wasit' dalam Pilkada setelah dirinya turun langsung menyaring informasi ke Blitar dan Tulungagung.
"Kemudian menggunakan berbagai upaya, untuk termasuk menggunakan hukum sabagai alat kekuasaan," ungkap Hasto di Stasiun Senen, Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Hasto mengungkapkan, saat dirinya turun ke Tulungagung mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa kasus yang menimpa kader tersebut bagian dari rivalitas pilkada. Bahkan, Hasto mengaku mendapat informasi bahwa dua hari sebelum OTT, ada tim lawan yang menyebut akan ada kejadian luar biasa di Tulungagung.
"Dan kami tau siapa orangnya itu, yang akan merubah peta poltik di Tulungagung. Dan jangan gunakan hukum karena rivalitas dalam pilkada," ujarnya.
Hasto mengaku sepakat pemberantasan korupsi harus ditegakkan. Namun, hal itu didasari atas prinsip kebenaran dan keadilan sesuai mekanisme hukum. Terlebih, kata Hasto, kader PDIP yang tersangkut kasus dugaan korupsi itu memiliki elektabilitas yang tinggi.
Dia berharap, penegak hukum seperti KPK tak menggunakan cara OTT yang tidak tepat yang berpotensi mengorbankan pemerintahan setempat.
"Kemudian di Blitar yang ditangkap bukan pejabat negara, sehingga ada motif apa? Sehingga wajar ketika rakyat di Blitar dan Tulungagung mengatakan ada motif politik di balik hal tersebut, karena yang teratangkap tangan bukan bupati dan wali kotanya kemudian dibangun kesan secara masif," pungkasnya.
(pur)