Wacana Pengawasan Kampus Tuai Protes

Jum'at, 08 Juni 2018 - 10:39 WIB
Wacana Pengawasan Kampus Tuai Protes
Wacana Pengawasan Kampus Tuai Protes
A A A
JAKARTA - Wacana Kemenristek Dikti bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) mengawasi nomor ponsel dan media sosial (medsos) civitas akademika di perguruan tinggi menuai protes sejumlah anggota DPR.

Kebijakan itu berpotensi melanggar HAM. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon Junaidi Mahesa mengakui bahwa wacana kebijakan itu merupakan bagian iktikad baik pemerintah. Tapi, masalahnya ada ketentuan lain di mana belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan.

“Yang jadi soal adalah ada aturan lain, ada undang-undang penya dap an yang hari ini belum ada,” kata Desmon di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Menurut politikus Partai Gerindra ini, aturan itu penting karena dalam penyadapan ini ada keamanan mahasiswa dan dosen yang sebagai pribadi juga memiliki hak asasi manusia.

“Atau dalam rangka kepentingan negara. Nah, hari ini kan harus jelas aturannya. Kalau tidak ada aturannya, berarti pemerintah melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi X Reni Marlinawati pun menilai rencana Kemenristek Dikti memantau komunikasi sivitas akademika di perguruan tinggi dalam rangka menangkal paham radikal merupakan ide yang keliru dan serampangan.

Alih-alih rencana ini akan menangkal radikalisme, justru sebaliknya berpotensi memproduksi radikalis-radikalis baru. “Kemenristek Dikti seharusnya fokus pada upaya pencegahan dan penangkalan paham radikal berkembang di lingkungan perguruan tinggi,” kata Reni dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO di Jakarta.

Menurut Reni, pembentukan sistem pencegahan masuknya paham radikal keperguruan tinggi jauh lebih efektif dan berkelanjutan (sustainable). Sistem ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Salah satu yang mendasar yang dilakukan dengan melakukan audit secara berkala dan berjenjang atas bahan ajar, termasuk satuan acara pembelajaran (SAP) yang berada di lingkungan perguruan tinggi.

“Langkah mendasar ini penting untuk memastikan setiap materi yang disampaikan di lingkungan perguruan tinggi steril dari paham radikal,” ujarnya. Kemudian, lanjut Reni, Kemenristek perlu memperbaiki proses rekrutmen tenaga pengajar dan mahasiswa.

Rekrutmen tenaga pengajar baik di PTN maupun di PTS harus memastikan tenaga pengajar selain cakap dari sisi keilmuan juga dipastikan steril dari paham kontra-NKRI. Tuntutan standar kualifikasi tenaga pengajar seperti dosen ber no mor induk dosen nasional (NIDN) yang ditentukan Ristek Dikti jangan sampai mengabaikan prinsip-prinsip tersebut ditambah penelusuran rekam jejaknya.

“Rekrutmen calon mahasiswa baru baik di PTN dan PTS juga tidak semata-mata hanya berpijak pada nilai akhir saat di SLTA. Sebaliknya, syarat substansial-elementer terkait nilai kebangsaan dan keindonesiaan harus di tempatkan di nomor pertama untuk kualifikasi lolos tidaknya calon mahasiswa,” ujar politikus PPP itu.

Terpisah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa saat ini sedang dilakukan kajian oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) mengenai diperlukan atau tidaknya regulasi yang secara khusus mengatur soal radikalisme di lingkungan kampus ini. Menurutnya, jika dibutuhkan maka regulasi akan dibuka.

“Baru dalam proses kajian oleh Kemenristek-Dikti. Tetapi kalau memang regulasi itu diperlukan, akan kita buat. Tapi ini masih dalam kajian,” tuturnya.

Dia menegaskan bahwa radikalisme di kampus dan pencegahannya sama sekali tidak berkaitan dengan prinsip kebebasan akademik atau berserikat.

Dua hal itu menurutnya adalah hal berbeda yang tidak saling terkait. “Tidak ada hubungannya antara kebebasan akademik atau kebebasan berserikat dengan proses pencegahan radikalisme. Ini adalah proses dalam rangka eksistensi negara kita ini, bukan yang lain,” jelasnya. (Kiswondari/Dita Angga)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7189 seconds (0.1#10.140)