Bebankan THR dan Gaji ke-13 ke APBD, Pemerintah Dinilai Reaksioner
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah pusat tentang Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 khususnya yang dibebankan ke daerah (APBD) dinilai sebagai kebijakan populis yang dikeluarkan tanpa perhitungan matang.
Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman mengatakan jika dilihat sekilas kebijakan THR dan gaji ketigabelas ini terlihat bagus, namun di balik itu semua menyimpan segudang persoalan.
"Misalnya dengan kondisi APBN 2018 yang semakin defisit dan utang membengkak pemerintah pusat malah menaikan THR sebesar 68,9 persen dibanding tahun sebelumnya," ujar Jajang kepada SINDOnews, Kamis (7/6/2018).
Menjadi persoalan, kata Jajang, kenaikan dana THR ini tidak disertai dengan kebijakan lainnya seperti pemangkasan anggaran pos-pos belanja tidak produktif atau tidak terlalu penting. Justru sebaliknya, pemerintah malah mempertontonkan gaji ratusan juta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Jajang menyoroti beban THR yang harus ditanggung daerah. Ia menilai hal ini akan mengganggu APBD yang sudah disusun sebelumnya oleh masing-masing legislatif dan kepala daerah.
"Contohnya Kota Surabaya, kepala daerah tentunya akan protes karena dengan surat edaran dari Kemendagri tentang THR akan mengganggu rencana yang sudah dikonsepkan jauh-jauh hari malah diintervensi oleh Pemerintah pusat," jelas Jajang.
Sementara itu, terkait dalih pemerintah pusat yang menyebut Pemda bisa mengalokasikan dana THR dari pos anggaran lainnya seperti belanja tak terduga, Jajang mengatakan masing-masing daerah meiliki kebijakan berbeda-beda dalam menyusun anggarannya.
Berdasarkan pantauan CBA, terdapat daerah yang tidak mengalokasikan belanja tidak terduga, seperti Kabupaten Supiori dan Kabupaten Teluk Bintuni. Belum lagi daerah yang sudah mematangkan APBD nya untuk program-program prioritas secara mendetail dan tidak boleh diganggu dengan belanja dadakan seperti THR.
Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman mengatakan jika dilihat sekilas kebijakan THR dan gaji ketigabelas ini terlihat bagus, namun di balik itu semua menyimpan segudang persoalan.
"Misalnya dengan kondisi APBN 2018 yang semakin defisit dan utang membengkak pemerintah pusat malah menaikan THR sebesar 68,9 persen dibanding tahun sebelumnya," ujar Jajang kepada SINDOnews, Kamis (7/6/2018).
Menjadi persoalan, kata Jajang, kenaikan dana THR ini tidak disertai dengan kebijakan lainnya seperti pemangkasan anggaran pos-pos belanja tidak produktif atau tidak terlalu penting. Justru sebaliknya, pemerintah malah mempertontonkan gaji ratusan juta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Jajang menyoroti beban THR yang harus ditanggung daerah. Ia menilai hal ini akan mengganggu APBD yang sudah disusun sebelumnya oleh masing-masing legislatif dan kepala daerah.
"Contohnya Kota Surabaya, kepala daerah tentunya akan protes karena dengan surat edaran dari Kemendagri tentang THR akan mengganggu rencana yang sudah dikonsepkan jauh-jauh hari malah diintervensi oleh Pemerintah pusat," jelas Jajang.
Sementara itu, terkait dalih pemerintah pusat yang menyebut Pemda bisa mengalokasikan dana THR dari pos anggaran lainnya seperti belanja tak terduga, Jajang mengatakan masing-masing daerah meiliki kebijakan berbeda-beda dalam menyusun anggarannya.
Berdasarkan pantauan CBA, terdapat daerah yang tidak mengalokasikan belanja tidak terduga, seperti Kabupaten Supiori dan Kabupaten Teluk Bintuni. Belum lagi daerah yang sudah mematangkan APBD nya untuk program-program prioritas secara mendetail dan tidak boleh diganggu dengan belanja dadakan seperti THR.
(kri)