UU Disahkan, Penanganan Terorisme Harus Lebih Baik
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Antiterorisme telah resmi disahkan oleh DPR, Jumat 25 Mei 2018 lalu. Keberadaan UU Antiterorisme dinilai sudah menjadi kebutuhan di tengah ancaman terorisme yang semakin mengglobal.
Meski begitu, penanggulangan terorisme harus tetap menjunjung tinggi prinsip kearifan lokal dan pengayoman. Hal itu diungkapkan praktisi dan akademisi hukum Suhardi Somomoeljono di Jakarta, Rabu 30 Mei 2018.
“Harapan kita, dengan adanya UU Antiterorisme, penanganan masalah terorisme di Indonesia harus lebih baik. Para stakeholder yang terkait dalam masalah ini juga harus menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan pengayoman, baik dalam melakukan pencegahan maupun penegakan hukum. Sifat pengayoman dan kearifan lokal harus diutamakan, tidak boleh berlebihan, apalagi overacting,” tuturnya.
Dia menilai, keberadaan UU Antiterorisme bertujuan mengayomi masyarakat dari segala bentuk tindakan terorisme. Karena itu, seluruh pihak terkait harus bisa mengemban amanat UU ini agar tidak menimbulkan sikap tidak baik di mata publik.
Dengan mengedepankan pengayoman dan kearifan lokal, serta menghormati hak asasi manusia (HAM), dia optimistis penanganan terorisme bisa berjalan dengan baik.
Diundangkannya UU Antiterorisme, kata dia, tugas pemerintah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) dalam rangka mengisi pasal-pasal yang masih menimbulkan tafsir.
Menurut dia, pembuatan PP itu sangat penting agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang terlalu banyak dan bersifat deskrisioner. Apalagi definisi terorisme itu ditambah dengan motif, yaitu politik, ideologi, dan gangguan keamanan.
“Ini harus dilakukkan agar jangan sampai keliru memberikan definisi terhadap motif dan persepektif implementatifnya. Harus dirumuskan secara benar. Kalau salah mengartikulasikan, terutama dalam penegakan hukum tidak mendekati rasionalitas dan tidak masuk akal, akan jauh dari harapan masyarakat,” tutur Suhardi.
Terkait deradikalisasi, Suhardi menilai apa yang telah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bagus. Faktanya, cara-cara pendekatan lunak (soft approach) BNPT bisa meredam dan meyakinkan para mantan narapidana terorisme (napiter) agar sadar dan kembali ke UUD 45. Sekarang, tinggal bagaimana menyelaraskan program-program yang sudah bagus itu dengan UU Antiterorisme yang baru disahkan.
Dia mencontohkan proses deradikalisasi Umar Patek, yang dulu merupakan teroris internasional yang pernah diburu Amerika Serikat, bahkan kepalanya pernah dihargai Rp5 miliar. Menurut Suhardi, langkah pemerintah, dalam hal ini BNPT, Densus 88, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta tokoh-tokoh agama, sudah bagus.
Belum lagi langkah BNPT yang juga "menyentuh" keluarganya, terbukti berhasil "menyembuhkan" Umar Patek. Begitu juga para mantan teroris lainnya yang kini sudah kembali ke masyarakat seperti Ali Fauzi, Khairul Ghazali, Sofyan Tsauri, Iqbal Husaini, Tony Togar, Abu Thulut, dan lain-lain. Bahkan sebagian mereka juga terlibat aktif bersama BNPT, menggaungkan perdamaian dan anti terorisme.
“Ini harus diapresiasi. Jangan diartikan penanggulangan terorisme dan penegakan hukum itu dengan membinasakan. Terbukti dengan cara-cara lunak di atas, mereka yang dulu sangat ‘keras’ bisa ‘dilunakkan’. Artinya deradikalisasi yang telah dilakukan sudah baik, meski belum sempurna,”ungkap Suhardi.
Dalam hal ini, dia menilai banyak orang berpikir keliru tentang deradikalisasi dan tuduhan bahwa teroris itu adalah konspirasi internasional.
Suhardi meluruskan pernyataan itu tidak salah, tapi tidak seluruhnya benar. Dia menjelaskan, ada dua metode dalam kerangka melakukan kejahatan atau terorisme. Pertama, pendekatan konspirasi, yakni pelaku hanya sebagai obyek. Aksinya sudah ada yang mengatur yaitu aktor intelektualnya. Kedua, pendekatan fungsional, pelaku meyakini dan memiliki referensi bahwa teror yang mereka lakukan itu sah sesuai ajaran yang dia yakini.
“Untuk mengubah pemikiran salah yang dianut pelaku fungsional, tidak mudah. Beda dengan konspirasi yang relatif lebih mudah dipatahkan karena tidak pakai akal sehat. Jangan meremehkan apa yang dilakukan BNPT selama ini,” katanya.
Meski begitu, penanggulangan terorisme harus tetap menjunjung tinggi prinsip kearifan lokal dan pengayoman. Hal itu diungkapkan praktisi dan akademisi hukum Suhardi Somomoeljono di Jakarta, Rabu 30 Mei 2018.
“Harapan kita, dengan adanya UU Antiterorisme, penanganan masalah terorisme di Indonesia harus lebih baik. Para stakeholder yang terkait dalam masalah ini juga harus menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan pengayoman, baik dalam melakukan pencegahan maupun penegakan hukum. Sifat pengayoman dan kearifan lokal harus diutamakan, tidak boleh berlebihan, apalagi overacting,” tuturnya.
Dia menilai, keberadaan UU Antiterorisme bertujuan mengayomi masyarakat dari segala bentuk tindakan terorisme. Karena itu, seluruh pihak terkait harus bisa mengemban amanat UU ini agar tidak menimbulkan sikap tidak baik di mata publik.
Dengan mengedepankan pengayoman dan kearifan lokal, serta menghormati hak asasi manusia (HAM), dia optimistis penanganan terorisme bisa berjalan dengan baik.
Diundangkannya UU Antiterorisme, kata dia, tugas pemerintah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) dalam rangka mengisi pasal-pasal yang masih menimbulkan tafsir.
Menurut dia, pembuatan PP itu sangat penting agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang terlalu banyak dan bersifat deskrisioner. Apalagi definisi terorisme itu ditambah dengan motif, yaitu politik, ideologi, dan gangguan keamanan.
“Ini harus dilakukkan agar jangan sampai keliru memberikan definisi terhadap motif dan persepektif implementatifnya. Harus dirumuskan secara benar. Kalau salah mengartikulasikan, terutama dalam penegakan hukum tidak mendekati rasionalitas dan tidak masuk akal, akan jauh dari harapan masyarakat,” tutur Suhardi.
Terkait deradikalisasi, Suhardi menilai apa yang telah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bagus. Faktanya, cara-cara pendekatan lunak (soft approach) BNPT bisa meredam dan meyakinkan para mantan narapidana terorisme (napiter) agar sadar dan kembali ke UUD 45. Sekarang, tinggal bagaimana menyelaraskan program-program yang sudah bagus itu dengan UU Antiterorisme yang baru disahkan.
Dia mencontohkan proses deradikalisasi Umar Patek, yang dulu merupakan teroris internasional yang pernah diburu Amerika Serikat, bahkan kepalanya pernah dihargai Rp5 miliar. Menurut Suhardi, langkah pemerintah, dalam hal ini BNPT, Densus 88, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta tokoh-tokoh agama, sudah bagus.
Belum lagi langkah BNPT yang juga "menyentuh" keluarganya, terbukti berhasil "menyembuhkan" Umar Patek. Begitu juga para mantan teroris lainnya yang kini sudah kembali ke masyarakat seperti Ali Fauzi, Khairul Ghazali, Sofyan Tsauri, Iqbal Husaini, Tony Togar, Abu Thulut, dan lain-lain. Bahkan sebagian mereka juga terlibat aktif bersama BNPT, menggaungkan perdamaian dan anti terorisme.
“Ini harus diapresiasi. Jangan diartikan penanggulangan terorisme dan penegakan hukum itu dengan membinasakan. Terbukti dengan cara-cara lunak di atas, mereka yang dulu sangat ‘keras’ bisa ‘dilunakkan’. Artinya deradikalisasi yang telah dilakukan sudah baik, meski belum sempurna,”ungkap Suhardi.
Dalam hal ini, dia menilai banyak orang berpikir keliru tentang deradikalisasi dan tuduhan bahwa teroris itu adalah konspirasi internasional.
Suhardi meluruskan pernyataan itu tidak salah, tapi tidak seluruhnya benar. Dia menjelaskan, ada dua metode dalam kerangka melakukan kejahatan atau terorisme. Pertama, pendekatan konspirasi, yakni pelaku hanya sebagai obyek. Aksinya sudah ada yang mengatur yaitu aktor intelektualnya. Kedua, pendekatan fungsional, pelaku meyakini dan memiliki referensi bahwa teror yang mereka lakukan itu sah sesuai ajaran yang dia yakini.
“Untuk mengubah pemikiran salah yang dianut pelaku fungsional, tidak mudah. Beda dengan konspirasi yang relatif lebih mudah dipatahkan karena tidak pakai akal sehat. Jangan meremehkan apa yang dilakukan BNPT selama ini,” katanya.
(dam)