Sasaran Deradikalisasi Diperluas
A
A
A
JAKARTA - Pendekatan hard power dinilai belum cukup dalam rangka pencegahan dan penanggulangan terorisme. Pemerintah akan mulai menyeimbangkan antara hard powerdan soft powe runtuk menghadapi penyebaran paham ataupun aksi terorisme. Selama ini fokus penanggulangan terorisme lebih banyak tertuju pada pendekatan hard power, yaitu melakukan penegakan hukum yang tegas, keras, dan tanpa kompromi, sekaligus memburu jaringan teroris hingga akar-akarnya.
”Pendekatan hard power jelas sangat diperlukan, tetapi itu belum cukup. Sudah saatnya kita juga menyeimbangkan dengan pendekatan soft power,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka rapat terbatas (ratas) terkait pencegahan dan penanggulangan terorisme, di Kantor Presiden kemarin.
Salah satu soft power yang akan dilakukan adalah perluasan sasaran deradikalisasi paham terorisme, yang salah satu sasarannya adalah lembaga-lembaga pendidikan. Sebelumnya, sasaran deradikalisasi difokuskan kepada para mantan napi teroris.
”Saya minta pendekatan soft power yang kita lakukan bukan hanya memperkuat program deradikalisasi kepada mantan napi teroris, tapi juga membersihkan lembaga-lembaga mulai TK, SD, SMA, SMK, perguruan tinggi, dan ruang-ruang publik, mimbar-mimbar umum dari ajaran ideologi terorisme,” ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, langkah preventif ini menjadi penting mengingat teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo sudah melibatkan keluarga, perempuan, dan anak-anak di bawah umur.
Menurut mantan gubernur DKI Jakarta itu, hal tersebut menjadi peringatan bahwa ideologi terorisme sudah masuk lingkungan keluarga, ”Menjadi wake up call betapa keluarga telah menjadi target indoktrinasi ideologi terorisme. Sekali lagi saya ingatkan, ideologi terorisme telah masuk kepada keluarga kita, sekolahsekolah kita. Untuk itu, saya minta pendekatan hard power dan soft power dipadukan, diseimbangkan, dan saling menguatkan, sehingga aksi pencegahan, penanggulangan terorisme bisa berjalan jauh lebih efektif lagi,” jelasnya.
Jokowi juga kembali menegaskan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap bangsa, negara, dan kemanusiaan. Dia mengatakan ancaman terorisme tidak hanya mengancam Indonesia, tapi juga mayoritas negara di dunia. ”Karena terorisme adalah kejahatan luar biasa, maka juga dihadapi, dilawan, diperangi, dengan caracara luar biasa,” tegasnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, terorisme tidak langsung melakukan aksi, tetapi dimulai dengan rekrutmen dan diikuti pencucian otak. ”Ajakan dan ujung proses aksi-aksi yang dilaksanakan teroris,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan bahwa terorisme merupakan musuh bersama karena mengancam rakyat. Maka itu, dibutuhkan sinkronisasi seluruh komponen bangsa untuk menghadapinya. ”Di lingkungan Kemenko Polhukam ada suatu tekad bagaimana mengonsolidasikan kekuatan.
Kita sinkronkan kementerian/lembaga untuk menetralisasi mulai awal dari rekrutmen, kaderisasi, brainwash sampai aksi mereka,” tuturnya. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengakui paham-paham terorisme masuk lembaga-lembaga pendidikan.
Menurutnya, penting mengembalikan nasionalisme di lembaga-lembaga pendidikan. Salah satunya melalui pengembangan kurikulum. ”Ini yang mesti kami kembangkan dan tugas kami di BNPT untuk menyinergikan, mengoordinasikan.
Di Jepang itu, sampai kelas 2 SD mereka diajarkan manner, etika menghadapi orang tua guru itu masuk nasionalisasi, itu tidak ditinggalkan,” ungkapnya Tidak saja dalam hal pelajaran, Suhardi juga menyoroti pengajar yang juga rawan terdoktrinasi ideologi terorisme.
Maka itu, dia mengingatkan agar lembaga-lembaga pendidikan berhati-hati dalam merekrut tenaga pendidik. Sementara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, dibutuhkan upaya komprehensif dalam menghadapi terorisme. Selain penegakan hukum, juga akan dilakukan upaya-upaya dengan pendekatan soft power.
”Upaya soft power terutama untuk membendung ideologi terorisme, bukan agama tertentu. Kemudian, upaya pengembangan ekonomi dan lainnya termasuk melibatkan stakeholder masyarakat, kajian kurikulum, masalah pentingnya untuk membendung ideologi terorisme dengan ideologi lain,” ungkapnya. (Dita Angga)
”Pendekatan hard power jelas sangat diperlukan, tetapi itu belum cukup. Sudah saatnya kita juga menyeimbangkan dengan pendekatan soft power,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka rapat terbatas (ratas) terkait pencegahan dan penanggulangan terorisme, di Kantor Presiden kemarin.
Salah satu soft power yang akan dilakukan adalah perluasan sasaran deradikalisasi paham terorisme, yang salah satu sasarannya adalah lembaga-lembaga pendidikan. Sebelumnya, sasaran deradikalisasi difokuskan kepada para mantan napi teroris.
”Saya minta pendekatan soft power yang kita lakukan bukan hanya memperkuat program deradikalisasi kepada mantan napi teroris, tapi juga membersihkan lembaga-lembaga mulai TK, SD, SMA, SMK, perguruan tinggi, dan ruang-ruang publik, mimbar-mimbar umum dari ajaran ideologi terorisme,” ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, langkah preventif ini menjadi penting mengingat teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo sudah melibatkan keluarga, perempuan, dan anak-anak di bawah umur.
Menurut mantan gubernur DKI Jakarta itu, hal tersebut menjadi peringatan bahwa ideologi terorisme sudah masuk lingkungan keluarga, ”Menjadi wake up call betapa keluarga telah menjadi target indoktrinasi ideologi terorisme. Sekali lagi saya ingatkan, ideologi terorisme telah masuk kepada keluarga kita, sekolahsekolah kita. Untuk itu, saya minta pendekatan hard power dan soft power dipadukan, diseimbangkan, dan saling menguatkan, sehingga aksi pencegahan, penanggulangan terorisme bisa berjalan jauh lebih efektif lagi,” jelasnya.
Jokowi juga kembali menegaskan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap bangsa, negara, dan kemanusiaan. Dia mengatakan ancaman terorisme tidak hanya mengancam Indonesia, tapi juga mayoritas negara di dunia. ”Karena terorisme adalah kejahatan luar biasa, maka juga dihadapi, dilawan, diperangi, dengan caracara luar biasa,” tegasnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, terorisme tidak langsung melakukan aksi, tetapi dimulai dengan rekrutmen dan diikuti pencucian otak. ”Ajakan dan ujung proses aksi-aksi yang dilaksanakan teroris,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan bahwa terorisme merupakan musuh bersama karena mengancam rakyat. Maka itu, dibutuhkan sinkronisasi seluruh komponen bangsa untuk menghadapinya. ”Di lingkungan Kemenko Polhukam ada suatu tekad bagaimana mengonsolidasikan kekuatan.
Kita sinkronkan kementerian/lembaga untuk menetralisasi mulai awal dari rekrutmen, kaderisasi, brainwash sampai aksi mereka,” tuturnya. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengakui paham-paham terorisme masuk lembaga-lembaga pendidikan.
Menurutnya, penting mengembalikan nasionalisme di lembaga-lembaga pendidikan. Salah satunya melalui pengembangan kurikulum. ”Ini yang mesti kami kembangkan dan tugas kami di BNPT untuk menyinergikan, mengoordinasikan.
Di Jepang itu, sampai kelas 2 SD mereka diajarkan manner, etika menghadapi orang tua guru itu masuk nasionalisasi, itu tidak ditinggalkan,” ungkapnya Tidak saja dalam hal pelajaran, Suhardi juga menyoroti pengajar yang juga rawan terdoktrinasi ideologi terorisme.
Maka itu, dia mengingatkan agar lembaga-lembaga pendidikan berhati-hati dalam merekrut tenaga pendidik. Sementara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, dibutuhkan upaya komprehensif dalam menghadapi terorisme. Selain penegakan hukum, juga akan dilakukan upaya-upaya dengan pendekatan soft power.
”Upaya soft power terutama untuk membendung ideologi terorisme, bukan agama tertentu. Kemudian, upaya pengembangan ekonomi dan lainnya termasuk melibatkan stakeholder masyarakat, kajian kurikulum, masalah pentingnya untuk membendung ideologi terorisme dengan ideologi lain,” ungkapnya. (Dita Angga)
(nfl)