Jadi Martir Reformasi, 4 Mahasiswa Layak Jadi Pahlawan Nasional
A
A
A
JAKARTA - Hari ini sivitas akademika Universitas Trisaksi kembali menggelar upacara mengenang pengorbanan empat mahasiswa dalam Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998. Saat itu aksi demonstrasi mereka disambut dengan tindak represif aparat keamanan.
Pihak kampus pun masih menuntut akan mereka diangkat menjadi pahlawan nasional. “Menjadi martir, mereka layak diangkat sebagai pahlawan nasional,” ujar Dadan Umar Daihani, mantan Ketua Tim Krisis Center Tragedi Trisaksi seusai upacara mengenang wafatnya empat mahasiswa Trisaksi dalam memperjuangkan reformasi di Museum Pahlawan Reformasi, Gedung Syarif Thajeb, Jakarta Barat, Sabtu (12/5/2018).
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998). Para martir ini tewas tertembak di dalam kampus karena terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Lebih lanjut dikatakan, Presiden SBY pernah memberikan penghargaan kepada mereka. “Kalau mereka diakui sebagai martir dengan adanya penghargaan ini, maka akuilah sebagai sebagai pahlawan nasional. Ini yang kami harapkan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mengedepankan humanisme, HAM,” harapnya.
Negara, kata Dadan, diharapkan mengakui bahwa tindakan aparat adalah salah. Sehingga ada evaluasi atas kejadian itu dan ke depan tragedi yang sama tidak terjadi lagi.
“Afrika Selatan mengakui kesalahannya sehingga ada rekonsiliasi. Kami minta negara mengakui bahwa penanganan anak bangsa dengan model seperti ini adalah salah. Kalau tidak, dikhawatirkan model penanganan yang sama dilakukan kembali,” jelas Dadan.
Terkait kasus penembakannya, Kampus Trisaksi juga menuntut adanya penuntasan secara hukum. Empat mahasiswa yang tewas ditembak saat keluar dari persembunyiannya.
Hendriawan Sie ditembak saat akan keluar di depan pos untuk berlindung menuju kampus. “Elang dekat pohon, Heri Hertanto juga saat berlindung,” ucapnya.
“Mereka bukan korban tawuran tapi korban kesewenang-wenangan rezim saat itu. Terus terang Trisakti saat itu kondusif, lalu direpresif. Saya bisa bersaksi, bukan terinjak, dipukul, atau ditembak tak sengaja. Tapi tewas karena one man one bullet di bagian vital. Satu misalnya di bagian dada masuknya sejati kelingking di bagian dada, di belakang tembus 6 cm. Mereka ditembak sengaja,” tuturnya.
Upacara dan Napak Tilas
Terkait tragedi tersebut, Universitas Trisakti menggelar upacara dan napak tilas di halaman Gedung Syarief Thayeb Kampus A Trisakti, Gorgol Jakarta Barat, Sabtu pagi.
Upacara dipimpin Pelaksana Tugas (Plt) Rektor Trisakti, Ali Ghufron dan dihadiri oleh sivitas akademika serta keluarga dari empat mahasiswa Trisakti yang meninggal pada tragedi itu. "Kita kembali, mengingat, dan menghargai jasa pahlawan reformasi yang gugur," kata Ali Ghufron.
Ali mengutarakan, setelah 20 tahun reformasi berjalan banyak perubahan yang harus dilakukan. Peguruan tinggi, kata dia, dituntut untuk bisa menghasilkan terobosan-terobosan baru pada era revolusi industri 4.0 seperti sekarang.
“Kurikulum telah disesuaikan. Kerja sama dengan kampus asing menjadi hal yang harus dilakukan untuk menjalin kolaborasi," ucapnya.
Trisakti, tambah dia, salah satu perguruan tinggi swasta yang telah berhasil mendapatkan akreditasi institusi dengan nilai A. Dari 4.528 Perguruan tinggi yang ada di Indonesia hanya 168 yang mendapat akreditasi A.
"Setiap tahun jumlah profesor dan dosen yang melaksanakan penelitian meningkat di Universitas Trisakti. Kami salah satu perguruan tinggi swasta yang mendapat dana penelitian terbesar," imbuhnya.
Pihak kampus pun masih menuntut akan mereka diangkat menjadi pahlawan nasional. “Menjadi martir, mereka layak diangkat sebagai pahlawan nasional,” ujar Dadan Umar Daihani, mantan Ketua Tim Krisis Center Tragedi Trisaksi seusai upacara mengenang wafatnya empat mahasiswa Trisaksi dalam memperjuangkan reformasi di Museum Pahlawan Reformasi, Gedung Syarif Thajeb, Jakarta Barat, Sabtu (12/5/2018).
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998). Para martir ini tewas tertembak di dalam kampus karena terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Lebih lanjut dikatakan, Presiden SBY pernah memberikan penghargaan kepada mereka. “Kalau mereka diakui sebagai martir dengan adanya penghargaan ini, maka akuilah sebagai sebagai pahlawan nasional. Ini yang kami harapkan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mengedepankan humanisme, HAM,” harapnya.
Negara, kata Dadan, diharapkan mengakui bahwa tindakan aparat adalah salah. Sehingga ada evaluasi atas kejadian itu dan ke depan tragedi yang sama tidak terjadi lagi.
“Afrika Selatan mengakui kesalahannya sehingga ada rekonsiliasi. Kami minta negara mengakui bahwa penanganan anak bangsa dengan model seperti ini adalah salah. Kalau tidak, dikhawatirkan model penanganan yang sama dilakukan kembali,” jelas Dadan.
Terkait kasus penembakannya, Kampus Trisaksi juga menuntut adanya penuntasan secara hukum. Empat mahasiswa yang tewas ditembak saat keluar dari persembunyiannya.
Hendriawan Sie ditembak saat akan keluar di depan pos untuk berlindung menuju kampus. “Elang dekat pohon, Heri Hertanto juga saat berlindung,” ucapnya.
“Mereka bukan korban tawuran tapi korban kesewenang-wenangan rezim saat itu. Terus terang Trisakti saat itu kondusif, lalu direpresif. Saya bisa bersaksi, bukan terinjak, dipukul, atau ditembak tak sengaja. Tapi tewas karena one man one bullet di bagian vital. Satu misalnya di bagian dada masuknya sejati kelingking di bagian dada, di belakang tembus 6 cm. Mereka ditembak sengaja,” tuturnya.
Upacara dan Napak Tilas
Terkait tragedi tersebut, Universitas Trisakti menggelar upacara dan napak tilas di halaman Gedung Syarief Thayeb Kampus A Trisakti, Gorgol Jakarta Barat, Sabtu pagi.
Upacara dipimpin Pelaksana Tugas (Plt) Rektor Trisakti, Ali Ghufron dan dihadiri oleh sivitas akademika serta keluarga dari empat mahasiswa Trisakti yang meninggal pada tragedi itu. "Kita kembali, mengingat, dan menghargai jasa pahlawan reformasi yang gugur," kata Ali Ghufron.
Ali mengutarakan, setelah 20 tahun reformasi berjalan banyak perubahan yang harus dilakukan. Peguruan tinggi, kata dia, dituntut untuk bisa menghasilkan terobosan-terobosan baru pada era revolusi industri 4.0 seperti sekarang.
“Kurikulum telah disesuaikan. Kerja sama dengan kampus asing menjadi hal yang harus dilakukan untuk menjalin kolaborasi," ucapnya.
Trisakti, tambah dia, salah satu perguruan tinggi swasta yang telah berhasil mendapatkan akreditasi institusi dengan nilai A. Dari 4.528 Perguruan tinggi yang ada di Indonesia hanya 168 yang mendapat akreditasi A.
"Setiap tahun jumlah profesor dan dosen yang melaksanakan penelitian meningkat di Universitas Trisakti. Kami salah satu perguruan tinggi swasta yang mendapat dana penelitian terbesar," imbuhnya.
(kri)