Praktik Politisasi Birokrasi Masih Mengancam Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mensinyalir politisasi birokrasi masih menjadi ancaman rusaknya sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai daerah yang sedang berlangsung saat ini.
“Tidak hanya politik uang dan politisasi sara saja yang mengancam, tetapi juga politisasi birokrasi,” ungkap Direktur Politik Kemendagri, Bahtiar, Kamis (12/4/2018).
Menurut Bahtiar, politisasi birokrasi menjadi fenomena yang terus berulang saat pilkada. Hal ini terjadi karena aparatur sipil negara (ASN) di daerah terjebak dalam kondisi keadaan yang dilakukan secara sistematik.
“Hari ini di daerah, ketika kita anjurkan sesuai undang-undang yang menyatakan ASN harus netral, umumnya mereka hanya tersenyum. Karena tak punya pilihan lain untuk bisa survive dalam karier,” ungkapnya, seperti dalam keterangan tertulis.
Para ASN di daerah, kata dia, dihadapkan pada kenyataan jika bersikap netral maka oleh pasangan calon kepala daerah dianggap tidak bersedia membantu atau bekerja. Akibatnya, apabila pasangan calon kepala daerah terpilih, kariernya akan meredup.
“Mereka justru dianggap sebagai musuh," ujarnya.
Sebaliknya, kata dia, justru ASN yang tidak netral mendukung pasangan calon kepala daerah yang terpilih, mendapatkan banyak privilege seperti kenaikan pangkat dan karier yang moncer tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan, kompetensi dan hal lainnya
“Dasarnya sederhana. Para ASN ini ingin survive. Ketika ASN netral dicopot, upaya gugatan di PTUN atau KSN tak bisa juga menolong. Terlalu banyak contoh untuk itu,” tuturnya.
Bahtiar mengingatkan, politisasi birokrasi merupakan cara mudah untuk menggalang dukungan dalam ilkada. Sebab para birokrat itu punya keluarga dan biasa dikenal sebagai orang terpandang di daerahnya.
“Hal itulah yang sering dimanfaatkan oleh para pasangan calon kepala daerah, baik petahana maupun bukan petahana.”
Solusinya, penyelenggara pilkada dalam hal ini Bawaslu lewat penegakan hukum terpadu harus berani mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti secara terencana, sistemik dan masih (TSM) mempolitisasi birokrasi. Ini diperlukan sebagai efek jera, untuk memutus mata rantai politisasi biokrasi yang terus berulang selama ini.
Pemerintah dalam hal ini kementerian dalam negeri dan lain-lain hanya dalam posisi menindaklanjuti hasil kerja Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). “Kalau tidak ada rekomendasi Gakumdu, pemerintah tak bisa melakukan tindakan,” tandasnya.
Menurut dia, saat ini yang berlaku, hanya adanya aturan tidak boleh memutasi ASN enam bulan sebelum mendaftar sebagai peserta pilkada dan enam bulan sesudah pelantikan. Tetapi pengalaman selama ini, hal itu sifantya hanya menunda eksekusi. Yang tidak dukung pasti akan dinonjobkan. Sedangkan yang tidak netral justru mendapat privelege dalam karier.
Bahtiar khawatir, kalau ini dibiarkan subsistem birokrasi menjadi rusak. Padahal sama pentingnya melahirkan pemimpin baru dan menciptakan mesin birokrasi yang profesional.
“Kalau pemimpin amanah, birokrasi tak profesional, tak ada gunanya untuk masyarakat,” ujarnya.
“Tidak hanya politik uang dan politisasi sara saja yang mengancam, tetapi juga politisasi birokrasi,” ungkap Direktur Politik Kemendagri, Bahtiar, Kamis (12/4/2018).
Menurut Bahtiar, politisasi birokrasi menjadi fenomena yang terus berulang saat pilkada. Hal ini terjadi karena aparatur sipil negara (ASN) di daerah terjebak dalam kondisi keadaan yang dilakukan secara sistematik.
“Hari ini di daerah, ketika kita anjurkan sesuai undang-undang yang menyatakan ASN harus netral, umumnya mereka hanya tersenyum. Karena tak punya pilihan lain untuk bisa survive dalam karier,” ungkapnya, seperti dalam keterangan tertulis.
Para ASN di daerah, kata dia, dihadapkan pada kenyataan jika bersikap netral maka oleh pasangan calon kepala daerah dianggap tidak bersedia membantu atau bekerja. Akibatnya, apabila pasangan calon kepala daerah terpilih, kariernya akan meredup.
“Mereka justru dianggap sebagai musuh," ujarnya.
Sebaliknya, kata dia, justru ASN yang tidak netral mendukung pasangan calon kepala daerah yang terpilih, mendapatkan banyak privilege seperti kenaikan pangkat dan karier yang moncer tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan, kompetensi dan hal lainnya
“Dasarnya sederhana. Para ASN ini ingin survive. Ketika ASN netral dicopot, upaya gugatan di PTUN atau KSN tak bisa juga menolong. Terlalu banyak contoh untuk itu,” tuturnya.
Bahtiar mengingatkan, politisasi birokrasi merupakan cara mudah untuk menggalang dukungan dalam ilkada. Sebab para birokrat itu punya keluarga dan biasa dikenal sebagai orang terpandang di daerahnya.
“Hal itulah yang sering dimanfaatkan oleh para pasangan calon kepala daerah, baik petahana maupun bukan petahana.”
Solusinya, penyelenggara pilkada dalam hal ini Bawaslu lewat penegakan hukum terpadu harus berani mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti secara terencana, sistemik dan masih (TSM) mempolitisasi birokrasi. Ini diperlukan sebagai efek jera, untuk memutus mata rantai politisasi biokrasi yang terus berulang selama ini.
Pemerintah dalam hal ini kementerian dalam negeri dan lain-lain hanya dalam posisi menindaklanjuti hasil kerja Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). “Kalau tidak ada rekomendasi Gakumdu, pemerintah tak bisa melakukan tindakan,” tandasnya.
Menurut dia, saat ini yang berlaku, hanya adanya aturan tidak boleh memutasi ASN enam bulan sebelum mendaftar sebagai peserta pilkada dan enam bulan sesudah pelantikan. Tetapi pengalaman selama ini, hal itu sifantya hanya menunda eksekusi. Yang tidak dukung pasti akan dinonjobkan. Sedangkan yang tidak netral justru mendapat privelege dalam karier.
Bahtiar khawatir, kalau ini dibiarkan subsistem birokrasi menjadi rusak. Padahal sama pentingnya melahirkan pemimpin baru dan menciptakan mesin birokrasi yang profesional.
“Kalau pemimpin amanah, birokrasi tak profesional, tak ada gunanya untuk masyarakat,” ujarnya.
(dam)