KPK Didesak Tuntaskan 13 Kasus Tertunda
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus-kasus besar yang masih tertunda dan belum selesai. Tercatat ada 13 kasus besar yang hingga kini belum terselesaikan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho mengatakan memang hingga saat ini masih banyak kasus, termasuk berskala kasus kakap, dengan nilai kerugian negara yang sangat signifikan, pelaku besar, dan jumlah pelaku yang banyak, mau pun dengan nilai suap yang sangat banyak yang masih belum ditindaklanjuti oleh KPK.
Menurut Jamal, saat ini publik melihat bahwa KPK punya kecenderungan atau lebih cenderung menangani kasus yang ada di depan mata. Kasus yang ada di depan mata tersebut, lanjutnya, sehubungan dengan banyaknya calon kepala daerah, kepala daerah, maupun anggota DPR yang ditangani KPK menjelang atau saat memasuki tahun politik. Utamanya bertepatan dengan pilkada serentak 2018.
"(Padahal) memang tunggakan perkaranya (KPK) kan banyak sekali. Sekarang ini ada kecenderungan yang saya anggap, istilahnya, penegakan hukum terhadap korupsi di depan mata. Ini kemudian ditangkap oleh publik, perkara-perkara besar seolah terbengkalai," ungkap Jamal saat dihubungi KORAN SINDO, Selasa (10/4/2018).
Menurut dia, penanganan dan pengusutan kasus-kasus yang di depan mata tadi menimbulkan dilema terhadap KPK. Di satu sisi ada tunggakan banyak kasus termasuk berlabel kakap yang harusnya ditindaklanjuti dan diselesaikan, namun di sisi lain KPK disibukkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) dan menyelesaikan kasus hasil pengembangan OTT.
Padahal, KPK mestinya menyadari keterbatasan mereka terutama dari sisi sumber daya manusia (SDM). "Hanya karena ini juga muaranya tahun politik, maka yang di depan mata ini namanya OTT lebih mempunyai sebuah pilihan atau dijadikan sebuah pilihan. Kira-kira itu," paparnya.
Menurut Jamal, tunggakan-tunggakan perkara lama yang masih tertunda dan belum ditindaklanjuti merupakan kewajiban KPK untuk menyelesaikan, sebab publik masih terus menagih dan tetap menunggu. Kewajiban KPK tersebut akan terus ditagih. Ditambah lagi dalam berbagai kesempatan pada setiap tahun, pimpinan KPK selalu berjanji menuntaskan kasus-kasus lama.
"Tapi saya yakin sebenarnya KPK juga memiliki tim-tim yang menindaklanjuti PR-PR perkara besar itu. Saya yakin di dalam KPK juga memprioritaskan tunggakan-tunggakan perkara yang menjadi sorotan publik," ungkapnya.
Kasus-kasus lama yang sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht) termasuk yang berkategori kakap semestinya menjadi prioritas KPK. Jamal menilai, putusan-putusan inkracht sangat melekat. Maksudnya, KPK tidak punya pilihan selain menindaklanjuti dengan menetapkan tersangka lainnya. "Saya rasa kalau itu kan putusan pengadilan, itu akhirnya melekat," tandasnya.
Senada diungkapkan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun. Tama menggolongkan kasus-kasus tertunda dan kelanjutan penanganannya ke dalam tiga aspek. Pertama, kasus-kasus yang sudah ada tersangka yang ditetapkan tapi belum rampung dan dilimpahkan ke tahap penuntutan kemudian dilimpahkan ke pengadilan disidangkan. Penanganan kasus-kasus yang dalam tahap penyidikan yang sangat berlarut-larut tentu akan menimbulkan penilaian negatif terhadap KPK.
Menurut Tama, KPK tidak punya pilihan lain selain menindaklanjuti kasus-kasus tersebut hingga tahap pengadilan. "KPK tidak membuat perkara-perkara jadi ulang tahun di sana. Khususnya mereka-mereka yang sudah ada predikat sebagai tersangka. Maka itu, KPK harus segera menyelesaikan tanggung jawabnya. Kita anggap ini utang-utangnya. Kan begitu," ujarnya.
Tama mencontohkan, kasus di tahap penyidikan yang sangat berlarut-larut adalah dugaan korupsi tiga QCC di Pelindo II dengan tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino dan kasus dugaan korupsi pemberian SKL BLBI dengan tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.
RJ Lino hingga kini belum pernah diperiksa sebagai tersangka meski menyandang status tersangka hampir tiga tahun, sedangkan kasus SKL BLBI dengan tersangka Syafruddin belum naik ke penuntutan sejak satu tahun penyidikannya. "Kita berharap KPK tidak seperti ini. Karena kemudian KPK lambat tangani perkara kan bukan sekali, dua kali. Perkara sebelumnya misalnya e-KTP sampai dua tahun. Nah kita berharap tidak ada lagi perkara-perkara yang lebih lama dari e-KTP," tandasnya.
Kedua, kategori perkara yang sudah ada terpidana atau mantan terpidana dengan putusan yang sudah inkracht. Untuk kategori ini, Tama menandaskan KPK harus mereviu kembali semua putusan inkracht. Karena dalam setiap putusan tersebut tercantum pihak-pihak yang turut serta melakukan perbuatan pidana. "Nah, itu KPK harus juga mengambil keputusan. Yang pasti gini, semangatnya adalah perkaranya ditangani," ungkapnya.
Dalam konteks kategori kedua ini, Tama menyarankan, kalau kemudian memang kasus yang ditangani sangat overload dan KPK tidak memiliki cukup sumber daya manusia untuk merespons putusan yang sudah inkracht, maka bisa dilimpahkan ke penegak hukum lain. Hal tersebut untuk menghindari agar kasus-kasus tidak jelas juntrungannya setelah adanya putusan inkracht. "Bisa dilimpahkan ke penegak hukum lain. Tapi dengan (KPK) melakukan supervisi," ujarnya.
Kategori ketiga adalah kasus-kasus yang masih dalam tahap penyelidikan. Tama memaparkan, penyelidikan yang dilakukan KPK berbeda dengan penyelidikan yang dilakukan penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian. Proses penyelidikan KPK dilakukan untuk memastikan tindak pidana dan menemukan dua alat bukti untuk dinaikkan ke penyidikan dan penetapan tersangka.
"KPK lebih kuat kewenangannya dibanding lembaga lain kalau bicara soal penyelidikan. Karena di situ dia sudah mencari dua alat bukti untuk naik ke penyidikan," ucapnya.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang mengatakan, berikan sekitar 20.000 pegawai baru termasuk penyelidikan dan penyidik untuk KPK serta dana 0,5% dari APBN, maka KPK akan lebih performa dalam menyelesaikan dan menuntaskan semua kasus yang tertunda, belum dinaikkan ke penuntutan, dan belum dinaikkan ke penyidikan.
Menurut Saut, KPK tidak gegabah menyelesaikan semua kasus karena dasarnya adalah pembuktian. "Sudah pasti dasarnya hukum, hukum pembuktian. Logika mana yang Anda pakai dengan penyidik KPK kurang dari 100 orang bisa berkinerja melototin APBN hampir Rp2.000 triliun dan luas wilayah Aceh sampai Papua," kata Saut tadi malam. Dia menggariskan, publik tidak perlu pesimistis dengan kerja dan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho mengatakan memang hingga saat ini masih banyak kasus, termasuk berskala kasus kakap, dengan nilai kerugian negara yang sangat signifikan, pelaku besar, dan jumlah pelaku yang banyak, mau pun dengan nilai suap yang sangat banyak yang masih belum ditindaklanjuti oleh KPK.
Menurut Jamal, saat ini publik melihat bahwa KPK punya kecenderungan atau lebih cenderung menangani kasus yang ada di depan mata. Kasus yang ada di depan mata tersebut, lanjutnya, sehubungan dengan banyaknya calon kepala daerah, kepala daerah, maupun anggota DPR yang ditangani KPK menjelang atau saat memasuki tahun politik. Utamanya bertepatan dengan pilkada serentak 2018.
"(Padahal) memang tunggakan perkaranya (KPK) kan banyak sekali. Sekarang ini ada kecenderungan yang saya anggap, istilahnya, penegakan hukum terhadap korupsi di depan mata. Ini kemudian ditangkap oleh publik, perkara-perkara besar seolah terbengkalai," ungkap Jamal saat dihubungi KORAN SINDO, Selasa (10/4/2018).
Menurut dia, penanganan dan pengusutan kasus-kasus yang di depan mata tadi menimbulkan dilema terhadap KPK. Di satu sisi ada tunggakan banyak kasus termasuk berlabel kakap yang harusnya ditindaklanjuti dan diselesaikan, namun di sisi lain KPK disibukkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) dan menyelesaikan kasus hasil pengembangan OTT.
Padahal, KPK mestinya menyadari keterbatasan mereka terutama dari sisi sumber daya manusia (SDM). "Hanya karena ini juga muaranya tahun politik, maka yang di depan mata ini namanya OTT lebih mempunyai sebuah pilihan atau dijadikan sebuah pilihan. Kira-kira itu," paparnya.
Menurut Jamal, tunggakan-tunggakan perkara lama yang masih tertunda dan belum ditindaklanjuti merupakan kewajiban KPK untuk menyelesaikan, sebab publik masih terus menagih dan tetap menunggu. Kewajiban KPK tersebut akan terus ditagih. Ditambah lagi dalam berbagai kesempatan pada setiap tahun, pimpinan KPK selalu berjanji menuntaskan kasus-kasus lama.
"Tapi saya yakin sebenarnya KPK juga memiliki tim-tim yang menindaklanjuti PR-PR perkara besar itu. Saya yakin di dalam KPK juga memprioritaskan tunggakan-tunggakan perkara yang menjadi sorotan publik," ungkapnya.
Kasus-kasus lama yang sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht) termasuk yang berkategori kakap semestinya menjadi prioritas KPK. Jamal menilai, putusan-putusan inkracht sangat melekat. Maksudnya, KPK tidak punya pilihan selain menindaklanjuti dengan menetapkan tersangka lainnya. "Saya rasa kalau itu kan putusan pengadilan, itu akhirnya melekat," tandasnya.
Senada diungkapkan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun. Tama menggolongkan kasus-kasus tertunda dan kelanjutan penanganannya ke dalam tiga aspek. Pertama, kasus-kasus yang sudah ada tersangka yang ditetapkan tapi belum rampung dan dilimpahkan ke tahap penuntutan kemudian dilimpahkan ke pengadilan disidangkan. Penanganan kasus-kasus yang dalam tahap penyidikan yang sangat berlarut-larut tentu akan menimbulkan penilaian negatif terhadap KPK.
Menurut Tama, KPK tidak punya pilihan lain selain menindaklanjuti kasus-kasus tersebut hingga tahap pengadilan. "KPK tidak membuat perkara-perkara jadi ulang tahun di sana. Khususnya mereka-mereka yang sudah ada predikat sebagai tersangka. Maka itu, KPK harus segera menyelesaikan tanggung jawabnya. Kita anggap ini utang-utangnya. Kan begitu," ujarnya.
Tama mencontohkan, kasus di tahap penyidikan yang sangat berlarut-larut adalah dugaan korupsi tiga QCC di Pelindo II dengan tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino dan kasus dugaan korupsi pemberian SKL BLBI dengan tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.
RJ Lino hingga kini belum pernah diperiksa sebagai tersangka meski menyandang status tersangka hampir tiga tahun, sedangkan kasus SKL BLBI dengan tersangka Syafruddin belum naik ke penuntutan sejak satu tahun penyidikannya. "Kita berharap KPK tidak seperti ini. Karena kemudian KPK lambat tangani perkara kan bukan sekali, dua kali. Perkara sebelumnya misalnya e-KTP sampai dua tahun. Nah kita berharap tidak ada lagi perkara-perkara yang lebih lama dari e-KTP," tandasnya.
Kedua, kategori perkara yang sudah ada terpidana atau mantan terpidana dengan putusan yang sudah inkracht. Untuk kategori ini, Tama menandaskan KPK harus mereviu kembali semua putusan inkracht. Karena dalam setiap putusan tersebut tercantum pihak-pihak yang turut serta melakukan perbuatan pidana. "Nah, itu KPK harus juga mengambil keputusan. Yang pasti gini, semangatnya adalah perkaranya ditangani," ungkapnya.
Dalam konteks kategori kedua ini, Tama menyarankan, kalau kemudian memang kasus yang ditangani sangat overload dan KPK tidak memiliki cukup sumber daya manusia untuk merespons putusan yang sudah inkracht, maka bisa dilimpahkan ke penegak hukum lain. Hal tersebut untuk menghindari agar kasus-kasus tidak jelas juntrungannya setelah adanya putusan inkracht. "Bisa dilimpahkan ke penegak hukum lain. Tapi dengan (KPK) melakukan supervisi," ujarnya.
Kategori ketiga adalah kasus-kasus yang masih dalam tahap penyelidikan. Tama memaparkan, penyelidikan yang dilakukan KPK berbeda dengan penyelidikan yang dilakukan penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian. Proses penyelidikan KPK dilakukan untuk memastikan tindak pidana dan menemukan dua alat bukti untuk dinaikkan ke penyidikan dan penetapan tersangka.
"KPK lebih kuat kewenangannya dibanding lembaga lain kalau bicara soal penyelidikan. Karena di situ dia sudah mencari dua alat bukti untuk naik ke penyidikan," ucapnya.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang mengatakan, berikan sekitar 20.000 pegawai baru termasuk penyelidikan dan penyidik untuk KPK serta dana 0,5% dari APBN, maka KPK akan lebih performa dalam menyelesaikan dan menuntaskan semua kasus yang tertunda, belum dinaikkan ke penuntutan, dan belum dinaikkan ke penyidikan.
Menurut Saut, KPK tidak gegabah menyelesaikan semua kasus karena dasarnya adalah pembuktian. "Sudah pasti dasarnya hukum, hukum pembuktian. Logika mana yang Anda pakai dengan penyidik KPK kurang dari 100 orang bisa berkinerja melototin APBN hampir Rp2.000 triliun dan luas wilayah Aceh sampai Papua," kata Saut tadi malam. Dia menggariskan, publik tidak perlu pesimistis dengan kerja dan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
(amm)