Kowani: Berbicara Perempuan Tidak Hanya Soal Sanggul
A
A
A
JAKARTA - Puisi Sukmawati Soekarnoputri yang di dalamnya menyinggung tentang azan dan cadar menjadi kontroversi. Puisi berjudul Ibu Indonesia itu pun menuai polemik.
Menyikapi polemik tersebut, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo berpendapat di Bumi Pertiwi yang beragam ini, setiap orang harus dapat menjaga dan menghargai keragaman, termasuk menghindari perbuatan yang menyinggung keyakinan beragama.
Menurut Giwo, berbicara perempuan tidak hanya bicara sanggul. Perempuan cantik, tidak hanya cantik penampilan, tapi juga cantik batin, yakni hati, kecerdasan, wawasan, ahlak.
"Lebih-lebih Kowani yang mendapat mandat sebagai Ibu Bangsa yang merupakan hasil keputusan Kongres Perempuan ke II tahun 1935. Di mana kewajiban perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa yang berarti berusaha membina pertumbuhan generasi penerus yang lebih sadar kebangsaannya," tutur Giwo dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa 3 Maret 2018.
Dia menegaskan, sudah menjadi aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), setiap orang dilarang untuk bicara yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) demi keutuhan bangsa Indonesia.
Giwo mengaku prihatin karena Isu SARA sepertinya tidak pernah mati. Ada saja pihak yang menggunakan isu SARA sebbagai senjata untuk meraih tujuan.
"Entah itu tujuan politik atau ekonomi. Bak komoditas yang laris manis, isu SARA selalu saja diproduksi dan direproduksi meski rambu regulasi sudah banyak diterbitkan di Indonesia," tandasnya.
Dia mengungkapkan, sebenarnya nama Ibu Indonesia adalah suatu hal yang mulia. Berdasarkan hasil keputusan kongres pada 1935, wanita Indonesia wajib menjadi ibu bangsa. Dengan demikian, kata dia, bukan untuk urusan konde dan sebagainya.
Giwo menegaskan tugas sebagai ibu bangsa sangat berat, vital dan urgent, namun sangat mulia karena harus mempersiapkan sebuah generasi yang sehat jasmani dan rohani, jujur, rajin, berkarakter, cakap, pintar, berpengetahuan, tahan uji, kreatif, inovatif, unggul dan berdaya saing.
"Berwawasan luas dan memiliki wawasan kebangsaan yang militan tak mudah menyerah, kokoh tergoyahkan dan membanggakan," tutur Giwo.
Ibu Bangsa memegang teguh persatuan dan kesatuan oleh karenanya maka etika kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi samgat penting.
Menyikapi polemik tersebut, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo berpendapat di Bumi Pertiwi yang beragam ini, setiap orang harus dapat menjaga dan menghargai keragaman, termasuk menghindari perbuatan yang menyinggung keyakinan beragama.
Menurut Giwo, berbicara perempuan tidak hanya bicara sanggul. Perempuan cantik, tidak hanya cantik penampilan, tapi juga cantik batin, yakni hati, kecerdasan, wawasan, ahlak.
"Lebih-lebih Kowani yang mendapat mandat sebagai Ibu Bangsa yang merupakan hasil keputusan Kongres Perempuan ke II tahun 1935. Di mana kewajiban perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa yang berarti berusaha membina pertumbuhan generasi penerus yang lebih sadar kebangsaannya," tutur Giwo dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa 3 Maret 2018.
Dia menegaskan, sudah menjadi aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), setiap orang dilarang untuk bicara yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) demi keutuhan bangsa Indonesia.
Giwo mengaku prihatin karena Isu SARA sepertinya tidak pernah mati. Ada saja pihak yang menggunakan isu SARA sebbagai senjata untuk meraih tujuan.
"Entah itu tujuan politik atau ekonomi. Bak komoditas yang laris manis, isu SARA selalu saja diproduksi dan direproduksi meski rambu regulasi sudah banyak diterbitkan di Indonesia," tandasnya.
Dia mengungkapkan, sebenarnya nama Ibu Indonesia adalah suatu hal yang mulia. Berdasarkan hasil keputusan kongres pada 1935, wanita Indonesia wajib menjadi ibu bangsa. Dengan demikian, kata dia, bukan untuk urusan konde dan sebagainya.
Giwo menegaskan tugas sebagai ibu bangsa sangat berat, vital dan urgent, namun sangat mulia karena harus mempersiapkan sebuah generasi yang sehat jasmani dan rohani, jujur, rajin, berkarakter, cakap, pintar, berpengetahuan, tahan uji, kreatif, inovatif, unggul dan berdaya saing.
"Berwawasan luas dan memiliki wawasan kebangsaan yang militan tak mudah menyerah, kokoh tergoyahkan dan membanggakan," tutur Giwo.
Ibu Bangsa memegang teguh persatuan dan kesatuan oleh karenanya maka etika kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi samgat penting.
(dam)