Jihad Ulama Adalah Perangi Kebodohan, Kemiskinan, dan Perpecahan
A
A
A
JAKARTA - Ulama dinilai memiliki peran besar dalam mengawal dan membangun Indonesia, sejak belum lahir, merdeka, dan mengarungi era milenial seperti sekarang ini.
Jika dahulu ulama berjihad dengan berjuang melawan penjajah,kata dia, di zaman sekarang perjuangan ulama adalah memerangi kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan
“Kalau dulu ulama dan kiai jihadnya menjadikan pesantren sebagai tempat perjuangan dan teriakan takbir mereka itu satu napas dengan teriakan merdeka. Hari ini para ulama dan kiai mengajarkan jihad itu lewat pendidikan, makanya jihad tertinggi dalam Islam adalah bagaimana kita melawan kebodohan, melawan kemiskinan, dan perpecahan,” tutur KH Maman Imanulhaq, mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa belum lama ini.
Maman menjelaskan, tiga jihad itu yang menjadi fokus bagi ulama dan kiai. Selain itu juga mengingatkan kepada generasi muda untuk tidak tuna terhadap nilai-nilai keilmuan dan adab serta etika.
Oleh karena itu, kata dia, pendidikan karakter terus ditanamkan para kiai dan ulama dengan modal keislaman dan nasionalisme. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa jihad di era sekarang bukan pergi ke suatu medan perang yang tidak tahu bagimana medannya. Itu sama saja dengan bunuh diri.
Dia mencontohkan di era sebelum kemerdekaan, ada perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, juga di tahun 1926-an, ada tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asyari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan tokoh Jawa Barat, Abdullah bin Nuh.
Ulama-ulama itu tidak sekadar mengajarkan ilmu agama, tapi juga mencintai Tanah Air, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Karena itu, kata Maman, sesuai ajaran itu, tugas pertama ulama di era sekarang adalah menguatkan kembali nilai-nilai Islam, yaitu Islam yang harus jadi spirit untuk perubahan dan perdamaian, bukan membuat teror, atau menyebarkan ketakutan di mana-mana.
Kedua, lanjut Kiai Maman, yang diajarkan ulama adalah mencintai Tanah Air. Oleh karena itu ada ucapan yang sangat terkenal, yaitu hubbul wathon minal iman. Artinya mencintai Tanah Air dalam bentuk komitmen keimanannya.
“Orang yang mengaku beriman dia akan mencintai Tanah Air. Kita tidak mungkin diadu domba, diprovokasi hoaks, hate speech, fitnah, dan apa pun di medsos, karena kita tahu negeri ini didirikan dengan air mata, darah, perjuangan dan para ulama di dalamnya mempunyai andil besar. Itulah hakikatnya ulama-ulama Indonesia,” tuturnya.
Dia menegaskan, mengacu kepada Al Quran dan Hadits, pertama, ulama itu innama yaqsalloha min ibadil ulama, yaitu ulama hanya takut pada Allah. Kedua, Rasulullah Muhammad SAW bersabda al ulama waratsatul anbiya artinya ulama itu pewaris dari perjuangan para nabi.
Dari dua definisi itu, maka yang pertama seorang ulama adalah orang yang meyakini bahwa tujuan hidupnya, yaitu perjuangan karena Allah. Sesuai perintah Rasul, ulama harus mengacu kepada bagaimana Allah memberikan manusia nilai kasis sayang dan nilai pemaaf.
“Itulah yang sebenarnya harus dimiliki seorang ulama karena hamba Allah hanya takut pada Allah. Maka sifat-sifat Allah itu yang ia pakai untuk bercermin dalam perjuangannya,” tuturnya.
Dengan demikian, kata dia, ulama tidak boleh mengajarkan kekerasan, intimidasi, caci maki, fitnah, apalagi menghancurkan kemanusiaan.
Ciri orang yang takut kepada Allah tidak akan pernah menyakiti kemanusiaan, Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man fis samaa’i. Artinya cintailah orang yang ada di muka bumi ini, maka Allah sang maha pemilik langit dan bumi akan mencintai kita.
Dia menegaskan, para ulama harus konsisten berjuang untuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKR). Pasalnya, saat ini, bangsa Indonesia menghadapi ancaman besar berupa ideologi transnasional dan transaksional.
Pertama, transnasional, yakni ada upaya secara global orang ingin masuk ke Indonesia. “Seluruh masyarakat harus betul-betul paham bahwa Indonesia sudah punya Pancasila, Indonesia sudah punya bentuk NKRI, Indonesia sudah sepakat soal Bhinneka Tunggal Ika. Itu sudah lebih dari cukup buat negara ini,” tutur pimpinan Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka ini.
Kedua, lanjut Maman, ancaman itu datang dari ideologi transaksional yaitu ada orang yang tidak teriming-imingi untuk dibayar uang dari kelompok di luar, tapi hanya untuk menghancurkan negara.
Untuk menghadapinya, komitmen nasnionalisme terus dipertahankan, terutama kepada anak-anak muda.“Kita tidak ingin seperti Suriah, Irak, Libya, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, kita tidak ingin Indonesia tiba-tiba tercabik-cabik oleh ancaman tersebut. Caranya memperkuat pemahaman ideologi Pancasila dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Jika dahulu ulama berjihad dengan berjuang melawan penjajah,kata dia, di zaman sekarang perjuangan ulama adalah memerangi kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan
“Kalau dulu ulama dan kiai jihadnya menjadikan pesantren sebagai tempat perjuangan dan teriakan takbir mereka itu satu napas dengan teriakan merdeka. Hari ini para ulama dan kiai mengajarkan jihad itu lewat pendidikan, makanya jihad tertinggi dalam Islam adalah bagaimana kita melawan kebodohan, melawan kemiskinan, dan perpecahan,” tutur KH Maman Imanulhaq, mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa belum lama ini.
Maman menjelaskan, tiga jihad itu yang menjadi fokus bagi ulama dan kiai. Selain itu juga mengingatkan kepada generasi muda untuk tidak tuna terhadap nilai-nilai keilmuan dan adab serta etika.
Oleh karena itu, kata dia, pendidikan karakter terus ditanamkan para kiai dan ulama dengan modal keislaman dan nasionalisme. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa jihad di era sekarang bukan pergi ke suatu medan perang yang tidak tahu bagimana medannya. Itu sama saja dengan bunuh diri.
Dia mencontohkan di era sebelum kemerdekaan, ada perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, juga di tahun 1926-an, ada tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asyari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan tokoh Jawa Barat, Abdullah bin Nuh.
Ulama-ulama itu tidak sekadar mengajarkan ilmu agama, tapi juga mencintai Tanah Air, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Karena itu, kata Maman, sesuai ajaran itu, tugas pertama ulama di era sekarang adalah menguatkan kembali nilai-nilai Islam, yaitu Islam yang harus jadi spirit untuk perubahan dan perdamaian, bukan membuat teror, atau menyebarkan ketakutan di mana-mana.
Kedua, lanjut Kiai Maman, yang diajarkan ulama adalah mencintai Tanah Air. Oleh karena itu ada ucapan yang sangat terkenal, yaitu hubbul wathon minal iman. Artinya mencintai Tanah Air dalam bentuk komitmen keimanannya.
“Orang yang mengaku beriman dia akan mencintai Tanah Air. Kita tidak mungkin diadu domba, diprovokasi hoaks, hate speech, fitnah, dan apa pun di medsos, karena kita tahu negeri ini didirikan dengan air mata, darah, perjuangan dan para ulama di dalamnya mempunyai andil besar. Itulah hakikatnya ulama-ulama Indonesia,” tuturnya.
Dia menegaskan, mengacu kepada Al Quran dan Hadits, pertama, ulama itu innama yaqsalloha min ibadil ulama, yaitu ulama hanya takut pada Allah. Kedua, Rasulullah Muhammad SAW bersabda al ulama waratsatul anbiya artinya ulama itu pewaris dari perjuangan para nabi.
Dari dua definisi itu, maka yang pertama seorang ulama adalah orang yang meyakini bahwa tujuan hidupnya, yaitu perjuangan karena Allah. Sesuai perintah Rasul, ulama harus mengacu kepada bagaimana Allah memberikan manusia nilai kasis sayang dan nilai pemaaf.
“Itulah yang sebenarnya harus dimiliki seorang ulama karena hamba Allah hanya takut pada Allah. Maka sifat-sifat Allah itu yang ia pakai untuk bercermin dalam perjuangannya,” tuturnya.
Dengan demikian, kata dia, ulama tidak boleh mengajarkan kekerasan, intimidasi, caci maki, fitnah, apalagi menghancurkan kemanusiaan.
Ciri orang yang takut kepada Allah tidak akan pernah menyakiti kemanusiaan, Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man fis samaa’i. Artinya cintailah orang yang ada di muka bumi ini, maka Allah sang maha pemilik langit dan bumi akan mencintai kita.
Dia menegaskan, para ulama harus konsisten berjuang untuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKR). Pasalnya, saat ini, bangsa Indonesia menghadapi ancaman besar berupa ideologi transnasional dan transaksional.
Pertama, transnasional, yakni ada upaya secara global orang ingin masuk ke Indonesia. “Seluruh masyarakat harus betul-betul paham bahwa Indonesia sudah punya Pancasila, Indonesia sudah punya bentuk NKRI, Indonesia sudah sepakat soal Bhinneka Tunggal Ika. Itu sudah lebih dari cukup buat negara ini,” tutur pimpinan Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka ini.
Kedua, lanjut Maman, ancaman itu datang dari ideologi transaksional yaitu ada orang yang tidak teriming-imingi untuk dibayar uang dari kelompok di luar, tapi hanya untuk menghancurkan negara.
Untuk menghadapinya, komitmen nasnionalisme terus dipertahankan, terutama kepada anak-anak muda.“Kita tidak ingin seperti Suriah, Irak, Libya, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, kita tidak ingin Indonesia tiba-tiba tercabik-cabik oleh ancaman tersebut. Caranya memperkuat pemahaman ideologi Pancasila dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
(dam)