Pemerintah Diminta Kaji Ulang Rencana PNS Pria Cuti 1 Bulan
A
A
A
BANDUNG - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr Asep Sumaryana MS menilai, pemberian cuti satu bulan kepada pegawai negeri sipil (PNS) pria yang istrinya melahirkan dikhawatirkan dapat menurunkan kinerja. Sebab, harus diakui kinerja aparatur sipil negara (ASN) selama ini belum cukup baik.
Menurutnya, kalau Indonesia mengikuti negara-negara maju seperti Norwegia dan lain-lain kurang tepat. Sebab, kinerja ASN di negara maju lebih efektif dalam melaksanakan tugas yang diemban.
"Jika pemerintah tetap melaksanakan kebijakan itu, berarti harus ada yang membantu atau memback up PNS yang cuti satu bulan itu. Sementara, di negara-negara maju pekerjaan administrasi dan pelayanan publik sudah mulai menggunakan teknologi. Sedangkan di Indonesia, semua pekerjaan administrasi masih dilakukan secara manual," ujar Asep, Dosen Adiminitrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini kepada SINDO, Rabu (14/3/2018).
Celakanya, kata dia, jika waktu kerja PNS disita oleh cuti yang cukup lama itu maka bisa berdampak terhadap penurunan kinerja PNS dalam konteks pelayanan publik. “Nah, ini persoalan. Ketika mereka (PNS di negara maju) sudah sangat otomatis, menggunakan teknologi tinggi, segala macam, sementara di kita (Indonesia) masih butuh orang. Ketika orangnya tidak ada, akan terganggulah itu (pelayanan publik),” jelas Asep.
Dia berpandangan, betul jika ada yang mengatakan tidak mengganggu tapi untuk konteks PNS di Jakarta. Sedangkan kebijakan ini akan diterapkan di seluruh Indonesia. Lantas, bagaimana dengan pelayanan publik yang ada di Papua, Kalimantan, dan daerah-daerah pelosok lainnya.
Asep mempertanyakan, cuti satu bulan ini untuk anak ke berapa. Sebab di Indonesia jumlah anak bisa 'tidak terbatas'. Bisa lebih dari tiga, bahkan empat sampai lima. Lalu, cuti ini untuk istri yang mana, pertama, kedua, ketiga, atau keempat.
Masih kata dia, kalau Indonesia bercermin kepada negara maju yang memiliki waktu cuti banyak, selain kinerja mereka efektif dan warga yang dilayani juga tidak terlalu banyak. Dia mencontohkan Norwegia dan Australia warga negaranya sedikit.
“Berbeda dengan Indonesia, negaranya besar, rakyatnya banyak, kemudian jangkauan teknologi masih rendah. Bahkan infrastruktur kita belum menjangkau sampai ke pelosok-pelosok. Sehingga kalau kita mengikuti mereka, harus dihitung juga dampak yang ditimbulkan atas kebijakan ini,” tegas Asep.
Jadi, ujungnya adalah terletak pada perangkat pemerintah pusat dan daerah untuk menaungi PNS yang akan mendapatkan cuti istri melahirkan. Karena bahasanya dapat cuti satu bulan, berarti bisa satu hari, dua hari, tiga hari.
Untuk di Indonesia kebiasaannya PNS ingin libur (cuti) ambil waktu yang panjang. Bahkan ada yang menambah waktu cutinya, reguler dan khusus. Cuti reguler 12 hari ditambah cuti alasan penting (istri melahirkan) satu bulan berarti total 42 hari.
“Pertanyaannya, kenapa cuti yang wajib justru lebih singkat dibanding cuti sunah. Ini perlu dihitung, dipertimbangkan, dan ditinjau ulang lagi. Bangsa kita ini sudah mulai cermat berhitung. Jangan sampai masyarakat menilai, kebijakan populis ini dijadikan komoditas politik. Maklumlah, tahun-tahun ini merupakan tahun demokratis (politik),” tutur dia.
Disinggung tentang indikasi kebijakan ini merupakan alat untuk menarik dukungan PNS bagi rezim saat ini dalam menghadapi Pilpres 2019, Asep menambahkan, potensi dan indikasi itu ada. “Karena kan karakteristik pegawai kita itu adalah pegawai yang kalau gajinya tidak memadai, maka liburnya diperbanyak. Hal-hal yang menyenangkan pegawai ini jangan sampai dijadikan alat komoditas politik. Ini yang tidak boleh terjadi,” pungkas Asep.
Menurutnya, kalau Indonesia mengikuti negara-negara maju seperti Norwegia dan lain-lain kurang tepat. Sebab, kinerja ASN di negara maju lebih efektif dalam melaksanakan tugas yang diemban.
"Jika pemerintah tetap melaksanakan kebijakan itu, berarti harus ada yang membantu atau memback up PNS yang cuti satu bulan itu. Sementara, di negara-negara maju pekerjaan administrasi dan pelayanan publik sudah mulai menggunakan teknologi. Sedangkan di Indonesia, semua pekerjaan administrasi masih dilakukan secara manual," ujar Asep, Dosen Adiminitrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini kepada SINDO, Rabu (14/3/2018).
Celakanya, kata dia, jika waktu kerja PNS disita oleh cuti yang cukup lama itu maka bisa berdampak terhadap penurunan kinerja PNS dalam konteks pelayanan publik. “Nah, ini persoalan. Ketika mereka (PNS di negara maju) sudah sangat otomatis, menggunakan teknologi tinggi, segala macam, sementara di kita (Indonesia) masih butuh orang. Ketika orangnya tidak ada, akan terganggulah itu (pelayanan publik),” jelas Asep.
Dia berpandangan, betul jika ada yang mengatakan tidak mengganggu tapi untuk konteks PNS di Jakarta. Sedangkan kebijakan ini akan diterapkan di seluruh Indonesia. Lantas, bagaimana dengan pelayanan publik yang ada di Papua, Kalimantan, dan daerah-daerah pelosok lainnya.
Asep mempertanyakan, cuti satu bulan ini untuk anak ke berapa. Sebab di Indonesia jumlah anak bisa 'tidak terbatas'. Bisa lebih dari tiga, bahkan empat sampai lima. Lalu, cuti ini untuk istri yang mana, pertama, kedua, ketiga, atau keempat.
Masih kata dia, kalau Indonesia bercermin kepada negara maju yang memiliki waktu cuti banyak, selain kinerja mereka efektif dan warga yang dilayani juga tidak terlalu banyak. Dia mencontohkan Norwegia dan Australia warga negaranya sedikit.
“Berbeda dengan Indonesia, negaranya besar, rakyatnya banyak, kemudian jangkauan teknologi masih rendah. Bahkan infrastruktur kita belum menjangkau sampai ke pelosok-pelosok. Sehingga kalau kita mengikuti mereka, harus dihitung juga dampak yang ditimbulkan atas kebijakan ini,” tegas Asep.
Jadi, ujungnya adalah terletak pada perangkat pemerintah pusat dan daerah untuk menaungi PNS yang akan mendapatkan cuti istri melahirkan. Karena bahasanya dapat cuti satu bulan, berarti bisa satu hari, dua hari, tiga hari.
Untuk di Indonesia kebiasaannya PNS ingin libur (cuti) ambil waktu yang panjang. Bahkan ada yang menambah waktu cutinya, reguler dan khusus. Cuti reguler 12 hari ditambah cuti alasan penting (istri melahirkan) satu bulan berarti total 42 hari.
“Pertanyaannya, kenapa cuti yang wajib justru lebih singkat dibanding cuti sunah. Ini perlu dihitung, dipertimbangkan, dan ditinjau ulang lagi. Bangsa kita ini sudah mulai cermat berhitung. Jangan sampai masyarakat menilai, kebijakan populis ini dijadikan komoditas politik. Maklumlah, tahun-tahun ini merupakan tahun demokratis (politik),” tutur dia.
Disinggung tentang indikasi kebijakan ini merupakan alat untuk menarik dukungan PNS bagi rezim saat ini dalam menghadapi Pilpres 2019, Asep menambahkan, potensi dan indikasi itu ada. “Karena kan karakteristik pegawai kita itu adalah pegawai yang kalau gajinya tidak memadai, maka liburnya diperbanyak. Hal-hal yang menyenangkan pegawai ini jangan sampai dijadikan alat komoditas politik. Ini yang tidak boleh terjadi,” pungkas Asep.
(kri)