Pemerintah Diminta Bentuk TGPF Usut Kekerasan terhadap Ulama

Kamis, 08 Maret 2018 - 11:51 WIB
Pemerintah Diminta Bentuk TGPF Usut Kekerasan terhadap Ulama
Pemerintah Diminta Bentuk TGPF Usut Kekerasan terhadap Ulama
A A A
JAKARTA - Pernyataan Polri bahwa isu penyerangan ulama mayoritas adalah hoax, atau hanya merupakan kasus kriminal biasa, mendapat tanggapan Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Menurut Fadli, pernyataan itu perlu dikaji mendalam karena mengabaikan persepsi serta penalaran publik.

“Informasi tentang penganiayaan tokoh agama memang terjadi dan faktual. Ini juga diakui sendiri oleh pihak pemerintah. Pekan lalu Menko Polhukam menyebut ada 21 kasus penyerangan terhadap tokoh agama, di mana 15 di antaranya dilakukan oleh orang gila. Kini Polri menyebut dari 45 kasus penganiayaan tokoh agama yang dilaporkan, hampir semuanya dianggap hoax,” tutur Fadli dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Rabu 7 Maret 2018.

Dengan demikian, kata dia, ada dua pejabat pemerintah, satu mengakui ada kasus penganiayaan terhadap tokoh agama, sementara yang satunya lagi menyangkal hal itu.

"Mana yang harus dirujuk oleh publik? Aparat keamanan dan pemerintah harus menyadari kita sekarang sedang berada pada situasi di mana tingkat kepercayaan publik terhadap aparat sedang berada pada posisi dilematis. Apapun yang dilakukan aparat, cenderung selalu ditanggapi apriori," tuturnya.

Untuk menghindari agar publik tidak semakin apriori kian apriori terhadap kerja kepolisian, lanjut dia, mestinya pemerintah membentuk tim independen untuk mengungkap kasus tersebut.

Menurut dia, sangat baik jika pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkapkan kasus penganiayaan terhadap sejumlah tokoh agama dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat sipil di dalamnya.

Misalnya, sambung dia, Komnas HAM, MUI, ormas, akademisi, atau unsur-unsur lain yang terkait. Menurut dia, Setidaknya ada tiga hal positif yang bisa dipetik pemerintah dari pembentukan tim semacam itu.

Pertama, pengungkapan kasus secara obyektif akan mengurangi simpang siur yang berkembang di masyarakat. "Tentunya ini bagus untuk memelihara stabilitas keamanan ke depannya," tandasnya.

Kedua, pembentukan tim independen akan membuktikan pemerintah dan aparat mau bersikap transparan dan obyektif dalam mengungkapkan kebenaran sebuah kasus. Ketiga, tentu saja hal itu akan mengembalikan lagi tingkat kepercayaan publik terhadap aparat dan juga pemerintah.

“Jangan lupa, dulu pemerintah Orde Baru yang sering dianggap otoriter sekalipun beberapa kali pernah membentuk TGPF untuk mengungkap kasus-kasus yang jadi sorotan publik. Seperti kasus penembakan di Dili dan Liquica pada awal 1990-an, misalnya," katanya.

Pada saat itu, sambung dia, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sedang rendah sehingga setiap klaim atau kesimpulan apapun dari aparat keamanan jadi tak lagi dipercayai.

Untuk mengembalikan kembali kepercayaan itu, lanjut dia, pemerintah akhirnya terbuka membentuk TGPF. “Hal serupa juga pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY. Meski tak bernama TGPF, pada saat terjadi konflik antara Polri dan KPK, Presiden membentuk tim independen yang disebut Tim Lima. Tim itu terbukti bisa menambal lubang apriori yang tengah menganga di masyarakat,” katanya.

Oleh karena itu, kata dia, Presiden dan Kapolri harus memahami situasi serupa yang terjadi hari ini. "Isu dan kasus penganiayaan itu jangan diambangkan, apalagi dikecilkan. Karena, di luar apa pun fakta obyektif yang nantinya ditemukan, yang jelas kasus penganiayaan terhadap tokoh agama ini melibatkan soal yang sensitif. Polisi dan pemerintah seharusnya berhati-hati dalam menangani kasus ini. Termasuk, berhati-hati dalam membuat pernyataan,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7210 seconds (0.1#10.140)