Menanti Eksekusi Mati Jilid IV
A
A
A
JAKARTA - Indonesia darurat narkoba karena marak aksi penyelundupan dari luar negeri dengan jumlah fantastis. Apalagi saat ini Indonesia menjadi pasar terbesar di Asia untuk penjualan dan peredaran narkoba.
Bahkan Indonesia masuk dalam tujuh negara pengedar narkoba terbesar di dunia setelah Kolumbia, China, Brasil, Iran, Meksiko, dan Italia. Belum lama ini tim gabungan Polri dan Bea Cukai mengungkap peredaran sabu-sabu seberat 1,6 ton di Perairan Anambas, Kepulauan Riau.
Kemudian Keamanan Laut Armada Bagian Barat (Gus kamlabar) TNI AL mengamankan 41 karung plastik berisi sabu seberat 1,3 ton atau setara dengan Rp2 triliun. Benar-benar bikin miris.
Kalau dulu dengan berat kilogram saja sudah fantastis, sekarang mencapai tontonan dengan nilai triliunan rupiah. Namun, eksekusi mati para pelaku atau otak peredaran narkoba ini dalam satu tahun belakangan ini seakan-akan berat dilaksanakan.
Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, eksekusi mati hanya tertahan sampai edisi jilid III saja. Publik saat ini menanti gebrakan kejaksaan selaku eksekutor untuk melanjutkan eksekusi mati jilid IV. Hal ini untuk membalas kegeraman atas semakin menjadinya peredaran narkoba yang telah merusak generasi muda bangsa Indonesia dan sebagai efek jera.
Deputi Pencegahan Badan Narkotik Nasional (BNN) Irjen Pol Arman Depari sangat berterima kasih kepada pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada bandar narkoba dari hasil penyidikan dan penindakan yang dilakukan selama ini.
Namun dia enggan berkomentar atas sikap Jaksa Agung yang hingga saat ini belum mengambil langkah untuk mengeksekusi mati terpidana narkotika. Arman mengatakan pelaksanaan eksekusi mati bisa ditanyakan kepada pihak-pihak berwenang seperti Kejaksaan Agung.
Pasalnya, menurut dia, salah satu terpidana mati Togiman alias Toge hingga saat ini belum dieksekusi mati atas kasus penyelundupan 25 kg sabu. Bahkan Toge tetap bisa mengendalikan bisnis narkoba saat menunggu eksekusi mati di dalam penjara. Toge diketahui telah divonis hukuman mati sebanyak dua kali, tetapi belum dieksekusi. Bandar kelas kakap ini juga terlibat dalam kasus tindak pidana pencucian uang (PTTU) senilai 6,4 triliun.
“Itu tanya ke pihak eksekutor karena yang mengeksekusi bukan kami,” ujar Arman. Desakan untuk segera dilakukan eksekusi mati bagi terpidana diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ekspos 1,6 ton sabu Pelabuhan Sekupang, Batam, Kepulauan Riau.
Sri mengeluhkan ada terpidana hukuman mati yang tak kunjung dieksekusi. “Jadi ada yang mengoperasikan dan mengoordinasikan suatu penyelundupan. Sudah dua kali dihukum mati tapi belum mati. Karena menunggu hukum dilaksanakan, dia masih bisa melakukan bisnis narkotika,” kata Sri.
Jaksa Agung M Prasetyo pun menjelaskan kendala dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Indonesia. Hal ini disampaikan seusai dicecar pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR mengenai mandeknya pelaksanaan hukuman mati saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (31/1) lalu.
Prasetyo mengaku sulit men jawab terbuka alasan tidak melanjutkan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba. Sebab dia mengalami dilema untuk melanjutkan eksekusi mati tersebut. “Kami berada di bawah posisi sebagai yudikatif dan sebagai eksekutif. Saya pikir Bapak bisa memahami maksud saya. Banyak hal penting bangsa ini yang mesti diprioritaskan di samping eksekusi mati juga penting,” ujar Prasetyo.
Meski begitu Kejaksaan Agung, menurut Prasetyo, telah membuktikan komitmen dan keberanian melakukan eksekusi mati terhadap 18 orang. Karena itu dia menolak jika dikatakan kendalanya karena alasan ketidakberanian. Menurut dia, ada persoalan lain yang dihadapi bangsa ini yang juga perlu diprioritaskan.
“Kita sedang berusaha untuk menjadi anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB. Kita sedang melakukan perbaikan ekonomi dan politik, sementara mayoritas negara dunia sudah meniadakan hukuman mati,” kata Prasetyo.
Menurut dia, ada dua aspek yang terkait dalam pelaksanaan hukuman mati, yakni aspek yuridis dan teknis. Dari aspek yuridis, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ada kendala dalam eksekusi mati, yakni dihapuskannya pembatasan pengajuan grasi. Dengan demikian terpidana mati bebas mengajukan grasi sesuai dengan yang dikehendaki.
“Bisa mengulur waktu untuk mengajukan grasi, termasuk PK dilakukan beberapa kali. Ini semua adalah hal-hal yang menghambat kami untuk melaksanakan hukuman mati,” ujar Prasetyo. Mengenai persoalan teknis, Prasetyo mengatakan hal itu tidak menjadi persoalan jika ma salah yuridis sudah terpenuhi. “Tinggal menyiapkan tempatnya dan tinggal didor saja,” tandasnya.
Modernisasi Alutsista
Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyebutkan banyaknya kapal penyelundup yang tertangkap selain menggambarkan keberhasilan aparat penegak hukum, juga menjadi bukti Indonesia menjadi sasaran para bandar narkoba internasional.
Sahroni menggarisbawahi serbuan narkoba dari luar negeri pertanda kurangnya efek jera hukuman terhadap bandar narkoba yang mendekam di lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan fakta, dia menyatakan bandar maupun pengedar besar yang telah divonis mati tetap mampu mengendalikan peredaran narkoba di balik hotel prodeo. “Saya yakin jumlah narkoba yang diselundupkan ke Indonesia lebih besar daripada narkoba yang berhasil di tangkap karena negeri ini memiliki luas perbatasan dengan panjang mencapai 99.000 km,” kata anggota Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini.
Di lain pihak, dia menilai hubungan antar penegak hukum semakin sinergis dalam mengungkap peredaran narkoba di Indonesia.
Seluruh instansi penegak hukum maupun penjaga kedaulatan, seperti TNI, mampu bersatupadu memerangi narkoba bersama Polri, BNN, dan Bea Cukai. Menurut dia, faktor pendukung keberhasilan menggagalkan penyelundupan narkoba adalah alat komunikasi, teknologi informasi, serta alat utama sistem senjata (alutsista).
Modernisasi teknologi informasi dan komunikasi serta alutsista mutlak dilakukan. Tak hanya Polri atau BNN, instansi lain yang bersinggungan dengan penyelundupan seperti Ditjen Bea Cukai, bahkan TNI AL sebagai penjaga perbatasan, juga harus dimodernisasi peralatannya.
Sahro ni juga menekankan aparat Polri dan BNN harus menjerat bandar maupun pengedar jaringan internasional dengan pasal tindak pidana pencucian uang dari hasil transaksi narkoba guna memiskinkan pelaku kejahatan narkoba.
“Revisi UU Narkotika juga mendesak mengingat perkembangan jenis dan efek jera belum optimal sehingga membutuhkan peradilan khusus tindak pidana narkoba,” terangnya.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahputra menilai maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan dampak sampingan atau side effect dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum.
“Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih fleksibel,” katanya. Menurut Azmi, negara tidak boleh abai atau dalam posisi “kedap”. Negara menurut dia harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini.
Di lain sisi, kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau pemroduksi narkoba ini belum maksimal dan efektif.
“Hukuman mati harus dan merampas kekayaannya jika perlu diterapkan tanpa tawar,” terangnya.
Dia menjelaskan, pemerintah terutama penegak hukum harus tegas untuk melindungi warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba.
Hal ini merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia. Dia menyebutkan, semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus dengan jumlah yang sangat besar (jumlahnya berton) untuk memasukkan zat yang berbahaya yang mengganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
“Maka eksekusi mati harus dijalankan tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba banyak dijalankan dari dalam lapas atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana,” tegasnya. (M Yamin/Ant)
Bahkan Indonesia masuk dalam tujuh negara pengedar narkoba terbesar di dunia setelah Kolumbia, China, Brasil, Iran, Meksiko, dan Italia. Belum lama ini tim gabungan Polri dan Bea Cukai mengungkap peredaran sabu-sabu seberat 1,6 ton di Perairan Anambas, Kepulauan Riau.
Kemudian Keamanan Laut Armada Bagian Barat (Gus kamlabar) TNI AL mengamankan 41 karung plastik berisi sabu seberat 1,3 ton atau setara dengan Rp2 triliun. Benar-benar bikin miris.
Kalau dulu dengan berat kilogram saja sudah fantastis, sekarang mencapai tontonan dengan nilai triliunan rupiah. Namun, eksekusi mati para pelaku atau otak peredaran narkoba ini dalam satu tahun belakangan ini seakan-akan berat dilaksanakan.
Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, eksekusi mati hanya tertahan sampai edisi jilid III saja. Publik saat ini menanti gebrakan kejaksaan selaku eksekutor untuk melanjutkan eksekusi mati jilid IV. Hal ini untuk membalas kegeraman atas semakin menjadinya peredaran narkoba yang telah merusak generasi muda bangsa Indonesia dan sebagai efek jera.
Deputi Pencegahan Badan Narkotik Nasional (BNN) Irjen Pol Arman Depari sangat berterima kasih kepada pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada bandar narkoba dari hasil penyidikan dan penindakan yang dilakukan selama ini.
Namun dia enggan berkomentar atas sikap Jaksa Agung yang hingga saat ini belum mengambil langkah untuk mengeksekusi mati terpidana narkotika. Arman mengatakan pelaksanaan eksekusi mati bisa ditanyakan kepada pihak-pihak berwenang seperti Kejaksaan Agung.
Pasalnya, menurut dia, salah satu terpidana mati Togiman alias Toge hingga saat ini belum dieksekusi mati atas kasus penyelundupan 25 kg sabu. Bahkan Toge tetap bisa mengendalikan bisnis narkoba saat menunggu eksekusi mati di dalam penjara. Toge diketahui telah divonis hukuman mati sebanyak dua kali, tetapi belum dieksekusi. Bandar kelas kakap ini juga terlibat dalam kasus tindak pidana pencucian uang (PTTU) senilai 6,4 triliun.
“Itu tanya ke pihak eksekutor karena yang mengeksekusi bukan kami,” ujar Arman. Desakan untuk segera dilakukan eksekusi mati bagi terpidana diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ekspos 1,6 ton sabu Pelabuhan Sekupang, Batam, Kepulauan Riau.
Sri mengeluhkan ada terpidana hukuman mati yang tak kunjung dieksekusi. “Jadi ada yang mengoperasikan dan mengoordinasikan suatu penyelundupan. Sudah dua kali dihukum mati tapi belum mati. Karena menunggu hukum dilaksanakan, dia masih bisa melakukan bisnis narkotika,” kata Sri.
Jaksa Agung M Prasetyo pun menjelaskan kendala dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Indonesia. Hal ini disampaikan seusai dicecar pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR mengenai mandeknya pelaksanaan hukuman mati saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (31/1) lalu.
Prasetyo mengaku sulit men jawab terbuka alasan tidak melanjutkan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba. Sebab dia mengalami dilema untuk melanjutkan eksekusi mati tersebut. “Kami berada di bawah posisi sebagai yudikatif dan sebagai eksekutif. Saya pikir Bapak bisa memahami maksud saya. Banyak hal penting bangsa ini yang mesti diprioritaskan di samping eksekusi mati juga penting,” ujar Prasetyo.
Meski begitu Kejaksaan Agung, menurut Prasetyo, telah membuktikan komitmen dan keberanian melakukan eksekusi mati terhadap 18 orang. Karena itu dia menolak jika dikatakan kendalanya karena alasan ketidakberanian. Menurut dia, ada persoalan lain yang dihadapi bangsa ini yang juga perlu diprioritaskan.
“Kita sedang berusaha untuk menjadi anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB. Kita sedang melakukan perbaikan ekonomi dan politik, sementara mayoritas negara dunia sudah meniadakan hukuman mati,” kata Prasetyo.
Menurut dia, ada dua aspek yang terkait dalam pelaksanaan hukuman mati, yakni aspek yuridis dan teknis. Dari aspek yuridis, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ada kendala dalam eksekusi mati, yakni dihapuskannya pembatasan pengajuan grasi. Dengan demikian terpidana mati bebas mengajukan grasi sesuai dengan yang dikehendaki.
“Bisa mengulur waktu untuk mengajukan grasi, termasuk PK dilakukan beberapa kali. Ini semua adalah hal-hal yang menghambat kami untuk melaksanakan hukuman mati,” ujar Prasetyo. Mengenai persoalan teknis, Prasetyo mengatakan hal itu tidak menjadi persoalan jika ma salah yuridis sudah terpenuhi. “Tinggal menyiapkan tempatnya dan tinggal didor saja,” tandasnya.
Modernisasi Alutsista
Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyebutkan banyaknya kapal penyelundup yang tertangkap selain menggambarkan keberhasilan aparat penegak hukum, juga menjadi bukti Indonesia menjadi sasaran para bandar narkoba internasional.
Sahroni menggarisbawahi serbuan narkoba dari luar negeri pertanda kurangnya efek jera hukuman terhadap bandar narkoba yang mendekam di lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan fakta, dia menyatakan bandar maupun pengedar besar yang telah divonis mati tetap mampu mengendalikan peredaran narkoba di balik hotel prodeo. “Saya yakin jumlah narkoba yang diselundupkan ke Indonesia lebih besar daripada narkoba yang berhasil di tangkap karena negeri ini memiliki luas perbatasan dengan panjang mencapai 99.000 km,” kata anggota Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini.
Di lain pihak, dia menilai hubungan antar penegak hukum semakin sinergis dalam mengungkap peredaran narkoba di Indonesia.
Seluruh instansi penegak hukum maupun penjaga kedaulatan, seperti TNI, mampu bersatupadu memerangi narkoba bersama Polri, BNN, dan Bea Cukai. Menurut dia, faktor pendukung keberhasilan menggagalkan penyelundupan narkoba adalah alat komunikasi, teknologi informasi, serta alat utama sistem senjata (alutsista).
Modernisasi teknologi informasi dan komunikasi serta alutsista mutlak dilakukan. Tak hanya Polri atau BNN, instansi lain yang bersinggungan dengan penyelundupan seperti Ditjen Bea Cukai, bahkan TNI AL sebagai penjaga perbatasan, juga harus dimodernisasi peralatannya.
Sahro ni juga menekankan aparat Polri dan BNN harus menjerat bandar maupun pengedar jaringan internasional dengan pasal tindak pidana pencucian uang dari hasil transaksi narkoba guna memiskinkan pelaku kejahatan narkoba.
“Revisi UU Narkotika juga mendesak mengingat perkembangan jenis dan efek jera belum optimal sehingga membutuhkan peradilan khusus tindak pidana narkoba,” terangnya.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahputra menilai maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan dampak sampingan atau side effect dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum.
“Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih fleksibel,” katanya. Menurut Azmi, negara tidak boleh abai atau dalam posisi “kedap”. Negara menurut dia harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini.
Di lain sisi, kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau pemroduksi narkoba ini belum maksimal dan efektif.
“Hukuman mati harus dan merampas kekayaannya jika perlu diterapkan tanpa tawar,” terangnya.
Dia menjelaskan, pemerintah terutama penegak hukum harus tegas untuk melindungi warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba.
Hal ini merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia. Dia menyebutkan, semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus dengan jumlah yang sangat besar (jumlahnya berton) untuk memasukkan zat yang berbahaya yang mengganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
“Maka eksekusi mati harus dijalankan tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba banyak dijalankan dari dalam lapas atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana,” tegasnya. (M Yamin/Ant)
(nfl)