SAS Institute Nilai Serangan ke Pemuka Agama Politik Adu Domba

Rabu, 14 Februari 2018 - 17:28 WIB
SAS Institute Nilai Serangan ke Pemuka Agama Politik Adu Domba
SAS Institute Nilai Serangan ke Pemuka Agama Politik Adu Domba
A A A
JAKARTA - Hari-hari ini kita sedang dihadapkan pada situasi yang rentan dengan perpecahan antar umat beragama. Diawali dengan kasus penyerangan seorang Ulama NU Kiai Umar Basyri di Cicalengka. Disusul pemukulan Komandan Brigade Persis Prawoto hingga tewas oleh sosok tak dikenal. Tersangka diduga orang yang kelainan jiwa.

Selang beberapa waktu, ada aksi persekusi terhadap Biksu Mulyanto. Persekusi dilakukan karena provokasi segelintir orang, bahwa rumah itu dijadikan tempat ibadah.

Tak lama, terjadi penyerangan di Gereja Katolik Santa Lidwina, di Sleman. Aksi itu sempat melukai para jemaat misa dan Romo Karl Edmund mengalami beberapa luka sabetan senjata tajam. Beberapa berita tentang penyerangan imam masjid di Aceh dan perusakan masjid di Tuban viral di media sosial.

Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute, M Imdadun Rahmat menangkap adanya tanda bahaya. Sejalan dengan apa yang sudah dirilis SETARA Institute dan Wahid Foundation sebelumnya, Imdadun menilai bahwa rangkaian peristiwa kekerasan ini bisa memicu konflik antar agama yang lebih luas. Sebab terlihat pola yang mengarah pada provokasi kecurigaan kepada kelompok agama lain. Arahnya adu domba.

"Secara khusus, saya melihat Yogyakarta sudah lampu kuning untuk kehidupan toleransi. Secara keseluruhan gerakan intoleransi di negeri ini kian mewabah dan merusak harmoni kehidupan beragama akhir-akhir ini," ujarnya dalam siaran persnya, Rabu (14/2/2018).

SAS Institute menilai hal ini juga dimanipulasi secara politis untuk melakukan delegitimasi terhadap pemerintah. Permasalahan berikutnya, selalu ada kelompok dan kubu politik oposan yang memaknai peristiwa itu sebagai kegagalan pemerintah dan mengambil keuntungan secara politis atas aksi-aksi tersebut.

"Kejadian-kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua sebagai bangsa. Bukan malah dipolitisir untuk mendelegitimasi pemerintah yang berakibat semakin runcing persoalan," tegas dia.

Jika melihat polanya, Imadadun berpandangan seakan rangkaian peristiwa ini adalah sebuah rekayasa mendisharmoni kehidupan sosial umat beragama. Rentang waktu kejadian tergolong pendek dan motif aksi tidak jelas. "Hanya semacam gerakan lone wolf yang sporadis," ucap Imdadun.

Dirinya kembali mengimbau masyarakat luas agar tidak terprovokasi dengan aksi-aksi teror seperti ini. Forum-forum lintas agama juga harus kembali dimaksimalkan fungsinya. Sebagai benteng utama umat beragama.

"Kepala BIN, harus mengevaluasi kebijakan dan kinerja para jajaran untuk membaca gerakan pengacau di masyarakat. Sistem intelijen membutuhkan kepemimpinan yang solid dan partisipatoris rakyat," tutup Imdadun.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6686 seconds (0.1#10.140)