Waspada Politisasi Dana Desa Jelang Pilkada Serentak
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mewaspadai politisasi dana desa menjelang pilkada serentak 2018. Dana desa dinilai cukup signifikan untuk memobilisasi dukungan saat kontestasi politik lokal berlangsung.
Selama tiga tahun ini, implementasi dana desa melihat masih diwarnai dengan beberapa penyalahgunaan. Berbagai bentuk penyalahgunaan anggaran desa dikhawatirkan semakin menjadi-jadi di tahun kontestasi pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019.
“Kami memang tidak melakukan pengukuran potensi itu, tapi melihat peluang peng gunaan dana desa untuk memobilisasi dukungan suara cukup besar,” kata peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina kemarin.
Almas mengatakan petahana yang maju pilkada hanya cuti, bukan mengundurkan diri, sehingga tetap bisa mengendalikan dana desa untuk instrumen pemenangan dirinya pada pilkada. Dalam konteks dana desa, politisasi dapat dilakukan melalui badan pemberdayaan desa yang menjanjikan penambahan alokasi atau pengurangan alokasi bagi desa yang tidak memilihnya sebelum ditetapkan dalam peraturan bupati.
“Sebagaimana diketahui, pencairan atau distribusi empat dari tujuh sumber keuangan desa melibatkan wewenang kepala daerah, yaitu alokasi APBN, bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah, alokasi dana desa hasil dana perimbangan, dan bantuan keuangan dari APBD,” urainya.
Almas menduga kepala daerah sengaja memperlambat pencairan untuk mendapat dukungan kepala desa. Apalagi, jabatan kepala desa merupakan posisi yang sangat strategis. Selain mempunyai wewenang yang besar, kepala desa umumnya mempunyai kedekatan dengan masyarakat dan merupakan sosok yang berpengaruh serta dipercaya.
“Dana tersebut di tahan pencairannya sampai ada kepastian dukungan politik di desa. Baru dicair kan jelang penyelenggaraan pilkada,“ paparnya.
Meski begitu, Almas juga mengatakan tidak tertutup kemungkinan bahwa kepala desa secara sukarela mengapitalisasi dana desa untuk kepentingan dukungan. Tanpa memperlambat pencairan, kepala desa akan menggunakan dana desa itu untuk kepentingan salah satu pasangan calon.
“Kemungkinan itu pasti ada. Kepala desa mungkin akan mendapatkan benefit tertentu jika mampu mengondisikan warganya untuk memberikan dukungan,” kata Almas.
Meski demikian, Almas menegaskan bahwa peluang penyalahgunaan ini tidak hanya terjadi pada daerah yang petahananya maju kembali dalam pilkada. Menurutnya, kepala daerah petahana yang sudah dua periode pun bisa menyalahgunakan dana desa untuk mencari dukungan bagi calon yang dijagokannya.
Seperti diketahui, 115 kabupaten yang akan menggelar Pilkada 2018 mendapat suntikan dana APBN sebesar Rp18,7 triliun untuk 22.447 desa. Dari 115 kabupaten tersebut, terdapat sedikitnya 151 kepala daerah aktif kembali mencalonkan diri.
“Tidak hanya kepala daerah tingkat kabupaten, kepala daerah tingkat provinsi juga mempunyai peluang memolitisasi anggaran desa baik secara langsung maupun melalui bupati yang mempunyai afiliasi dengannya,” ungkapnya.
Menanggapi pernyataan ICW tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa potensi tersebut memang ada. Apa lagi, hubungan kepala daerah dan kepala desa itu cukup dekat sehingga berpotensi dijadikan alat pemenangan di desa.
“Untuk memperoleh suara ke menangan seseorang itu, ya kuncinya bagaimana mengelola dan mengorganisir kepala desa. Mereka yang panutan di bawah, menghimpun suara buat kepala daerah,” katanya.
Namun, Tjahjo mengatakan pengawasan penggunaan dana desa semakin diperketat. Apalagi saat ini telah ada kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, kejaksaan, dan Irjen Kemendagri. Mendagri menegaskan bahwa pihaknya sudah mengingatkan Inspektorat Daerah untuk lebih waspada terhadap penyalahgunaan dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan seseorang dalam proses pilkada.
“Soal ada, itu memang ekses, kasuistik, dan itu yang harus kita ingatkan. Besok (hari ini) kita akan rapat kerja dengan sek da, gubernur, wagub, kesbangpol dalam upaya tadi. Kuncinya taat aturan dan mengoptimalkan anggaran-anggaran yang ada di bawah, “ jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan bahwa untuk anggaran dana desa 2018, pemerintah membuat suatu mekanisme baru. Jika semua syarat administrasi dipenuhi maka dana desa akan ditransfer pada setiap tanggal 25 kepada kabupaten/kota. Dana desa tahun 2018 disalurkan melalui tiga tahap, yakni Januari 20%, Maret 40%, dan Juli 40%.
“Sehingga ini memudahkan monitoring. Kita bisa mengecek apakah setelah tujuh hari sudah sampai ke rekening desa. Kalau belum, ada masalah apa. Kalau tidak ditetapkan tanggal berapa akan sulit melakukan evaluasi. Seperti tahun sebelumnya,” paparnya.
Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Ter tinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menga takan, terkait dengan peng awasan dana desa selama tiga tahun sudah jauh lebih baik. Menurutnya, masyarakat saat ini sudah cukup tahu bagaimana proses alokasi dana desa.
“Kita juga sudah ada MoU (memorandum of understanding) dengan Kemendagri dan kepolisian. Sebentar lagi dengan kejaksaan dan KPK. Seharusnya lebih bagus,” katanya.
Terlebih lagi menurutnya saat ini partisipasi masyarakat saat ini lebih baik. Hal ini terlihat dari banyaknya laporan masya ra kat yang masuk ke satgas dana desa. “Saya yakin pengawasan lebih baik dari tahun lalu,” katanya. (Dita Angga)
Selama tiga tahun ini, implementasi dana desa melihat masih diwarnai dengan beberapa penyalahgunaan. Berbagai bentuk penyalahgunaan anggaran desa dikhawatirkan semakin menjadi-jadi di tahun kontestasi pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019.
“Kami memang tidak melakukan pengukuran potensi itu, tapi melihat peluang peng gunaan dana desa untuk memobilisasi dukungan suara cukup besar,” kata peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina kemarin.
Almas mengatakan petahana yang maju pilkada hanya cuti, bukan mengundurkan diri, sehingga tetap bisa mengendalikan dana desa untuk instrumen pemenangan dirinya pada pilkada. Dalam konteks dana desa, politisasi dapat dilakukan melalui badan pemberdayaan desa yang menjanjikan penambahan alokasi atau pengurangan alokasi bagi desa yang tidak memilihnya sebelum ditetapkan dalam peraturan bupati.
“Sebagaimana diketahui, pencairan atau distribusi empat dari tujuh sumber keuangan desa melibatkan wewenang kepala daerah, yaitu alokasi APBN, bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah, alokasi dana desa hasil dana perimbangan, dan bantuan keuangan dari APBD,” urainya.
Almas menduga kepala daerah sengaja memperlambat pencairan untuk mendapat dukungan kepala desa. Apalagi, jabatan kepala desa merupakan posisi yang sangat strategis. Selain mempunyai wewenang yang besar, kepala desa umumnya mempunyai kedekatan dengan masyarakat dan merupakan sosok yang berpengaruh serta dipercaya.
“Dana tersebut di tahan pencairannya sampai ada kepastian dukungan politik di desa. Baru dicair kan jelang penyelenggaraan pilkada,“ paparnya.
Meski begitu, Almas juga mengatakan tidak tertutup kemungkinan bahwa kepala desa secara sukarela mengapitalisasi dana desa untuk kepentingan dukungan. Tanpa memperlambat pencairan, kepala desa akan menggunakan dana desa itu untuk kepentingan salah satu pasangan calon.
“Kemungkinan itu pasti ada. Kepala desa mungkin akan mendapatkan benefit tertentu jika mampu mengondisikan warganya untuk memberikan dukungan,” kata Almas.
Meski demikian, Almas menegaskan bahwa peluang penyalahgunaan ini tidak hanya terjadi pada daerah yang petahananya maju kembali dalam pilkada. Menurutnya, kepala daerah petahana yang sudah dua periode pun bisa menyalahgunakan dana desa untuk mencari dukungan bagi calon yang dijagokannya.
Seperti diketahui, 115 kabupaten yang akan menggelar Pilkada 2018 mendapat suntikan dana APBN sebesar Rp18,7 triliun untuk 22.447 desa. Dari 115 kabupaten tersebut, terdapat sedikitnya 151 kepala daerah aktif kembali mencalonkan diri.
“Tidak hanya kepala daerah tingkat kabupaten, kepala daerah tingkat provinsi juga mempunyai peluang memolitisasi anggaran desa baik secara langsung maupun melalui bupati yang mempunyai afiliasi dengannya,” ungkapnya.
Menanggapi pernyataan ICW tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa potensi tersebut memang ada. Apa lagi, hubungan kepala daerah dan kepala desa itu cukup dekat sehingga berpotensi dijadikan alat pemenangan di desa.
“Untuk memperoleh suara ke menangan seseorang itu, ya kuncinya bagaimana mengelola dan mengorganisir kepala desa. Mereka yang panutan di bawah, menghimpun suara buat kepala daerah,” katanya.
Namun, Tjahjo mengatakan pengawasan penggunaan dana desa semakin diperketat. Apalagi saat ini telah ada kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, kejaksaan, dan Irjen Kemendagri. Mendagri menegaskan bahwa pihaknya sudah mengingatkan Inspektorat Daerah untuk lebih waspada terhadap penyalahgunaan dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan seseorang dalam proses pilkada.
“Soal ada, itu memang ekses, kasuistik, dan itu yang harus kita ingatkan. Besok (hari ini) kita akan rapat kerja dengan sek da, gubernur, wagub, kesbangpol dalam upaya tadi. Kuncinya taat aturan dan mengoptimalkan anggaran-anggaran yang ada di bawah, “ jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan bahwa untuk anggaran dana desa 2018, pemerintah membuat suatu mekanisme baru. Jika semua syarat administrasi dipenuhi maka dana desa akan ditransfer pada setiap tanggal 25 kepada kabupaten/kota. Dana desa tahun 2018 disalurkan melalui tiga tahap, yakni Januari 20%, Maret 40%, dan Juli 40%.
“Sehingga ini memudahkan monitoring. Kita bisa mengecek apakah setelah tujuh hari sudah sampai ke rekening desa. Kalau belum, ada masalah apa. Kalau tidak ditetapkan tanggal berapa akan sulit melakukan evaluasi. Seperti tahun sebelumnya,” paparnya.
Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Ter tinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menga takan, terkait dengan peng awasan dana desa selama tiga tahun sudah jauh lebih baik. Menurutnya, masyarakat saat ini sudah cukup tahu bagaimana proses alokasi dana desa.
“Kita juga sudah ada MoU (memorandum of understanding) dengan Kemendagri dan kepolisian. Sebentar lagi dengan kejaksaan dan KPK. Seharusnya lebih bagus,” katanya.
Terlebih lagi menurutnya saat ini partisipasi masyarakat saat ini lebih baik. Hal ini terlihat dari banyaknya laporan masya ra kat yang masuk ke satgas dana desa. “Saya yakin pengawasan lebih baik dari tahun lalu,” katanya. (Dita Angga)
(nfl)