DPR Diminta Prioritaskan RUU Obat dan Makanan
A
A
A
JAKARTA - DPR diminta segera memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengendalian Obat dan Makanan (POM) yang pernah diajukan pemerintah beberapa waktu lalu. Tujuannya, agar masyarakat mendapat jaminan kepastian hukum jika ada pelanggaran aturan atas produk obat dan makanan yang beredar di pasar Indonesia.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Riant Nugroho berpendapat bahwa dengan adanya UU POM pada hakikatnya untuk memberikan kewenangan secara full spectrum kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), sehingga dapat melakukan pengawasan sejak dari hulu (Registrasi hingga pasca produksi) hingga ke hilir (post market).
"Saat ini BPOM tidak punya kewenangan untuk memberikan sanksi seperti penutupan pabrik, jika ditemukan pelanggaran atas izin produk tertentu. Karena kewenangan penutupan pabrik ada di Kementerian Kesehatan," ujarnya kepada wartawan, Senin (5/2/2018).
Karena masalah krusial persoalan obat dan makanan selain bahan baku produksi, aspek keagamaan seperti halal atau tidaknya yang berada di bawah MUI atau Kementerian Agama dianggap perlu juga diperhatikan. Menurut dia, BPOM saat ini hanya bertindak sebagai pengawas, bukan sebagai pengendali.
Maka itu, dengan adanya UU POM nantinya, maka Kementerian Kesehatan nanti hanya bertindak sebagai regulator dan BPOM sebagai operator yang mengendalikan peredaran obat dan makanan di masyarakat.
Dia pun menyinggung kabar hasil penemuan Balai POM atas hasil uji sampel produk suplemen makanan Viostin DS dan Enzyplex tablet yang ramai diperbincangkan masyarakat belakangan ini. "DPR harusnya mengapresiasi hasil temuan BPOM tersebut," ujarnya.
Selama ini yang mengeluarkan izin peredaran produk kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sedangkan pengawasannya berada di bawah kewenangan BPOM.
"Sehingga BPOM sama sekali tidak mempunyai kewenangan menutup pabrik produk tersebut," ucapnya.
Sebelumnya beredar viral surat dari Balai Besar POM di Mataram kepada Balai POM di Palangka Raya tentang Hasil Pengujian Sampel Uji Rujuk Suplemen Makanan Viostin DS dan Enzyplex tablet.
Setelah BPOM turun tangan melakukan penyelidikan, terungkap bahwa sampel produk yang tertera dalam surat tersebut adalah Viostin DS produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H, dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101.
Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran (post-market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa produk di atas terbukti positif mengandung DNA Babi.
Badan POM-RI akhirnya telah menginstruksikan PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Riant Nugroho berpendapat bahwa dengan adanya UU POM pada hakikatnya untuk memberikan kewenangan secara full spectrum kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), sehingga dapat melakukan pengawasan sejak dari hulu (Registrasi hingga pasca produksi) hingga ke hilir (post market).
"Saat ini BPOM tidak punya kewenangan untuk memberikan sanksi seperti penutupan pabrik, jika ditemukan pelanggaran atas izin produk tertentu. Karena kewenangan penutupan pabrik ada di Kementerian Kesehatan," ujarnya kepada wartawan, Senin (5/2/2018).
Karena masalah krusial persoalan obat dan makanan selain bahan baku produksi, aspek keagamaan seperti halal atau tidaknya yang berada di bawah MUI atau Kementerian Agama dianggap perlu juga diperhatikan. Menurut dia, BPOM saat ini hanya bertindak sebagai pengawas, bukan sebagai pengendali.
Maka itu, dengan adanya UU POM nantinya, maka Kementerian Kesehatan nanti hanya bertindak sebagai regulator dan BPOM sebagai operator yang mengendalikan peredaran obat dan makanan di masyarakat.
Dia pun menyinggung kabar hasil penemuan Balai POM atas hasil uji sampel produk suplemen makanan Viostin DS dan Enzyplex tablet yang ramai diperbincangkan masyarakat belakangan ini. "DPR harusnya mengapresiasi hasil temuan BPOM tersebut," ujarnya.
Selama ini yang mengeluarkan izin peredaran produk kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sedangkan pengawasannya berada di bawah kewenangan BPOM.
"Sehingga BPOM sama sekali tidak mempunyai kewenangan menutup pabrik produk tersebut," ucapnya.
Sebelumnya beredar viral surat dari Balai Besar POM di Mataram kepada Balai POM di Palangka Raya tentang Hasil Pengujian Sampel Uji Rujuk Suplemen Makanan Viostin DS dan Enzyplex tablet.
Setelah BPOM turun tangan melakukan penyelidikan, terungkap bahwa sampel produk yang tertera dalam surat tersebut adalah Viostin DS produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H, dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101.
Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran (post-market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa produk di atas terbukti positif mengandung DNA Babi.
Badan POM-RI akhirnya telah menginstruksikan PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut.
(maf)