Calon Kepala Daerah Perempuan, Bukan Sekadar Cantik
A
A
A
DUNIA akting punya andil besar dalam perjalanan hidup Nurul Qomaril Arifin atau yang dikenal Nurul Arifin. Ia memulai debutnya lewat film Hati yang Perawan pada 1984. Sejak itu, wanita kelahiran Bandung, 18 Juli 1966 ini kian "naik daun". Beberapa film besar pernah dibintanginya. Sebut saja, Nagabonar, Lupus, hingga film bergenre komedi Warkop, dan lainnya. Ia pernah menyabet Aktris Terpuji Festival Film Bandung pada 1990 dan tiga kali masuk nominasi Citra sebagai aktris terbaik.
Kala itu, belum terbersit sekali pun dalam benaknya untuk terjun ke politik. "Awalnya memang tidak ada niat," ujarnya, Rabu (24/1/2018) pekan lalu. Namun, lewat peran dalam sebuah sinema tentang HIV AIDS, Nurul mulai tergerak menjadi aktivis. Ia kemudian terlibat secara aktif menjadi sukarelawan untuk membantu korban AIDS, narkoba, dan kekerasan terhadap perempuan. "Saya ingin berjuang agar mereka tidak didiskriminasi," imbuhnya.
Atas dedikasinya, Nurul mendapat sejumlah penghargaan. Mulai dari Artis Peduli AIDS dari Yayasan Pelita, Wira Kencana dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hingga Young Global Leaders di World Forum, Swiss. Bekal itu kian melecut semangatnya terjun ke dunia politik. Sejurus kemudian, ia meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dengan menempuh pendidikan ilmu politik di Universitas Indonesia pada 2000 dan melanjutkan studi S-2 bidang politik pada 2007.
Dasar pemikirannya untuk terjun ke politik lantaran belum banyak perempuan yang terwakili di DPR. Menurutnya, kepentingan perempuan kurang terwadahi dalam kebijakan atau keputusan parlemen. "Bila ingin terlibat dalam proses produksi kebijakan, masuklah ke dalam sistem karena kebijakan dirumuskan dan diproduksi oleh legislasi," katanya.
Pada 2003, ia kemudian melabuhkan hatinya dengan bergabung dengan Partai Golkar. Setahun setelah itu, Nurul terpilih menjadi anggota DPR RI 2004–2009 dan berlanjut pada 2009–2014. Sayang, dirinya gagal terpilih kembali menjadi wakil rakyat pada pemilihan legislatif (pileg) 2014.
Sebenarnya apa saja modal perempuan untuk bertarung di panggung politik? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 48/VI/2018 yang terbit Senin (29/1/2018).
Kala itu, belum terbersit sekali pun dalam benaknya untuk terjun ke politik. "Awalnya memang tidak ada niat," ujarnya, Rabu (24/1/2018) pekan lalu. Namun, lewat peran dalam sebuah sinema tentang HIV AIDS, Nurul mulai tergerak menjadi aktivis. Ia kemudian terlibat secara aktif menjadi sukarelawan untuk membantu korban AIDS, narkoba, dan kekerasan terhadap perempuan. "Saya ingin berjuang agar mereka tidak didiskriminasi," imbuhnya.
Atas dedikasinya, Nurul mendapat sejumlah penghargaan. Mulai dari Artis Peduli AIDS dari Yayasan Pelita, Wira Kencana dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hingga Young Global Leaders di World Forum, Swiss. Bekal itu kian melecut semangatnya terjun ke dunia politik. Sejurus kemudian, ia meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dengan menempuh pendidikan ilmu politik di Universitas Indonesia pada 2000 dan melanjutkan studi S-2 bidang politik pada 2007.
Dasar pemikirannya untuk terjun ke politik lantaran belum banyak perempuan yang terwakili di DPR. Menurutnya, kepentingan perempuan kurang terwadahi dalam kebijakan atau keputusan parlemen. "Bila ingin terlibat dalam proses produksi kebijakan, masuklah ke dalam sistem karena kebijakan dirumuskan dan diproduksi oleh legislasi," katanya.
Pada 2003, ia kemudian melabuhkan hatinya dengan bergabung dengan Partai Golkar. Setahun setelah itu, Nurul terpilih menjadi anggota DPR RI 2004–2009 dan berlanjut pada 2009–2014. Sayang, dirinya gagal terpilih kembali menjadi wakil rakyat pada pemilihan legislatif (pileg) 2014.
Sebenarnya apa saja modal perempuan untuk bertarung di panggung politik? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 48/VI/2018 yang terbit Senin (29/1/2018).
(amm)