Pemenuhan Hak Korban Teror Masih Terabaikan

Jum'at, 26 Januari 2018 - 14:05 WIB
Pemenuhan Hak Korban...
Pemenuhan Hak Korban Teror Masih Terabaikan
A A A
JAKARTA - Aliansi Indonesia Damai (Aida) menilai bahwa pemenuhan hak-hak korban terorisme di Indonesia masih terabaikan.

Deputi Direktur Aida Laode Arham mengatakan, pelaku terorisme di Indonesia lebih diperhatikan ketimbang korbannya. Justru, perhatian lebih kepada korban berasal dari pemerintah negara asing.

”Dalam pemberitaan terorisme di media massa harus berperspektif korban, agar bisa membuat para korban semakin dekat untuk mendapatkan seluruh hak-hak dan peran mereka,” ungkap Arham dalam sesi diskusi ”Memahami Perspektif dan Realitas Korban” di Jakarta, 24-25 Januari.

Dia mengatakan, peliputan media tentang korban sangat soft, jauh dari sensasional, apalagi kontroversial. Dia juga menyebutkan temuan media monitoring Aida bahwa RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya berfokus pada pencegahan dan penindakan. Akibatnya, terkesan abai terhadap hak-hak korban. Jadi, masih banyak lagi korban yang membutuhkan peran negara.

”Padahal, korban sudah butuh penanganan segera. Maka itu, perlu ada revisi UU yang menguatkan LPSK, menyederhanakan prosedur, dan lebih luas mencakup korban,” sambungnya.

Demi memecah kebuntuan ini, Aida mendorong penguatan LPSK melalui revisi UU Penanganan Tindak Pidana Terorisme. Pasal mengenai definisi korban tindak pidana terorisme dan pemenuhan jaminan yang jadi hak-hak korban perlu diperluas.

Ramdhani, salah satu korban dari Bom Kuningan pada 2009 yang pada saat itu bekerja di Yayasan BI samping kedutaan Australia, mengungkapkan bahwa dirinya sama sekali belum menerima kompensasi dari pemerintah Indonesia.

”Namun, alhamdulillah pemerintah Australia hingga saat ini masih menjamin saya,” ujarnya. Hasibullah Satrawi, direktur Aida mengatakan, dampak yang dialami para korban berbeda-beda, maka hitungan terkait besaran kompensasi harus menggunakan asas keadilan. Besaran kompensasi bisa diberikan kepada para korban sesuai kadar dampak yang dialaminya.

”Dari segi hak, materi ini sebenarnya bagian dari hakmedisyangdiaturdalamUU LPSK (No31/2014) tentang hak medis. Namun berdasar kan fakta di lapangan dan pengalaman para korban, hak medis dalam UU No. 31/2014 tak memadai untuk menjangkau adanya jaminan negara terkait pengobatan para korban pada masa-masa kritis,” tegasnya. (Binti Mufarida)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0915 seconds (0.1#10.140)