Genjot Program Keluarga Harapan untuk Atasi Stunting
A
A
A
JAKARTA - Kerawanan kesehatan dan gizi buruk masih dialami banyak balita. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah balita stunting atau kurang gizi kronis di Indonesia mencapai 7,8 juta balita.
Kondisi ini memerlukan penanganan serius, diantaranya dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Pemerintah menggenjot program PKH salah satunya untuk mengatasi stunting. Pelaksanaannya melakui Kementerian Sosial (Kemensos) yang siap berkolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait. Program ini menjadi senjata Kemensos mengatasi stunting.
”Stunting akan berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas. Karenanya, perlu intervensi berbagai pihak. Butuh pula kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,” ungkap Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat saat workshop acara puncak Hari Gizi Nasional ke-58 di Kementerian Kesehatan, kemarin.
Harry menjelaskan, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi di dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, atau dalam 1.000 hari pertama kehidupan.
Kemensos memasukkan ibu hamil dan anak bawah lima tahun (balita) sebagai salah satu komponen bantuan sosial (bansos) PKH. Sasaran tersebut agar ibu hamil dan balita bisa mendapat kan asupan gizi mencukupi.
”No minal intervensi yang diberikan pemerintah sejumlah Rp1.890.000 yang diberikan dalam empat tahap selama satu tahun. Bantuan disalurkan secara nontunai,” tuturnya.
Bantuan tersebut, tidak diberikan secara cuma-cuma melainkan dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya ibu hamil peserta program PKH harus memenuhi kewajiban memeriksakan kehamilan minimal empat kali selama masa kehamilan.
”Pemeriksaan ini adalah upaya yang dilakukan pemerintah menurunkan angka kematian ibu dan bayi, termasuk didalamnya bayi stunting. Tujuannya agar ibu hamil dan bayi yang lahir nantinya sehat,” tuturnya. Harry juga memaparkan kondisi terkini kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua.
Saat ini tim terpadu sudah bekerja menangani para korban gizi buruk tersebut dan bantuan logistik serta permakanan sudah dikirimkan ke Asmat.
Dirjen Kesehatan Masya rakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anung Sugihantono menyampaikan, stunting dan kekurangan gizi pada ibu hamil sering kali tidak disadari baik itu oleh individu, keluarga mau pun masyarakat sebagai sebuah masalah yang harus dicegah dan di selesaikan.
Hal ter sebut mengindikasikan bahwa kebanyakan keluarga tidak memiliki pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehatan yang tepat, khususnya terkait bagaimana memilih, mengolah, dan menyajikan makanan yang baik bagi keluarga.
”Oleh karenanya menjadi penting menempatkan keluarga sebagai lokus maupun fokus tanggung jawab pemecahan persoalan gizi di masyarakat,” katanya kemarin. Sebagai contoh, dari sekitar 89,1% perempuan hamil yang mendapatkan tablet tambah darah, hanya 33,3% yang mengonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan. Contoh lainnya adalah belum semua anak usia 0-5 bulan mendapatkan ASI secara eksklusif. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016, diketahui hanya 54% bayi yang menerima ASI Eksklusif. (Neneng Zubaidah)
Kondisi ini memerlukan penanganan serius, diantaranya dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Pemerintah menggenjot program PKH salah satunya untuk mengatasi stunting. Pelaksanaannya melakui Kementerian Sosial (Kemensos) yang siap berkolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait. Program ini menjadi senjata Kemensos mengatasi stunting.
”Stunting akan berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas. Karenanya, perlu intervensi berbagai pihak. Butuh pula kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,” ungkap Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat saat workshop acara puncak Hari Gizi Nasional ke-58 di Kementerian Kesehatan, kemarin.
Harry menjelaskan, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi di dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, atau dalam 1.000 hari pertama kehidupan.
Kemensos memasukkan ibu hamil dan anak bawah lima tahun (balita) sebagai salah satu komponen bantuan sosial (bansos) PKH. Sasaran tersebut agar ibu hamil dan balita bisa mendapat kan asupan gizi mencukupi.
”No minal intervensi yang diberikan pemerintah sejumlah Rp1.890.000 yang diberikan dalam empat tahap selama satu tahun. Bantuan disalurkan secara nontunai,” tuturnya.
Bantuan tersebut, tidak diberikan secara cuma-cuma melainkan dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya ibu hamil peserta program PKH harus memenuhi kewajiban memeriksakan kehamilan minimal empat kali selama masa kehamilan.
”Pemeriksaan ini adalah upaya yang dilakukan pemerintah menurunkan angka kematian ibu dan bayi, termasuk didalamnya bayi stunting. Tujuannya agar ibu hamil dan bayi yang lahir nantinya sehat,” tuturnya. Harry juga memaparkan kondisi terkini kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua.
Saat ini tim terpadu sudah bekerja menangani para korban gizi buruk tersebut dan bantuan logistik serta permakanan sudah dikirimkan ke Asmat.
Dirjen Kesehatan Masya rakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anung Sugihantono menyampaikan, stunting dan kekurangan gizi pada ibu hamil sering kali tidak disadari baik itu oleh individu, keluarga mau pun masyarakat sebagai sebuah masalah yang harus dicegah dan di selesaikan.
Hal ter sebut mengindikasikan bahwa kebanyakan keluarga tidak memiliki pengetahuan tentang gizi dan perilaku kesehatan yang tepat, khususnya terkait bagaimana memilih, mengolah, dan menyajikan makanan yang baik bagi keluarga.
”Oleh karenanya menjadi penting menempatkan keluarga sebagai lokus maupun fokus tanggung jawab pemecahan persoalan gizi di masyarakat,” katanya kemarin. Sebagai contoh, dari sekitar 89,1% perempuan hamil yang mendapatkan tablet tambah darah, hanya 33,3% yang mengonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan. Contoh lainnya adalah belum semua anak usia 0-5 bulan mendapatkan ASI secara eksklusif. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016, diketahui hanya 54% bayi yang menerima ASI Eksklusif. (Neneng Zubaidah)
(nfl)