Fadli Zon Kunjungi Kamp Pengungsi Rohingya di Bangladesh
A
A
A
JAKARTA - Plt Ketua DPR Fadli Zon mengunjungi lokasi pengungsian Rohingya di Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh. Sebelumnya, Fadli Zon sudah menemui Ketua Parlemen Bangladesh, Shirin Sharmin Chaudhury dan State Minister Kemlu Bangladesh Mohammed Shahriar Alam.
Dalam kunjungan ini, Fadli Zon didampingi oleh delegasi DPR, di antaranya Ledia Hanifa (F-PKS) dan Nurmansyah Effendi Tanjung (F-PDIP), Kamis 22 Desember 2017.
Hadir pula Dubes RI untuk Bangladesh Rina P Soemarno. Mereka sempat berdiskusi dengan para pengungsi difasilitasi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM).
Fadli menuturkan, dari dialog singkat dengan para pengungsi, mereka adalah korban militer Myanmar yang brutal. Rumah-rumah dibakar, perempuan diperkosa, ada yang ditembak atau dipenggal.
"Berhari-hari bahkan berminggu-minggu harus menyelamatkan diri dari kejaran militer Myanmar hingga akhirnya bisa menyeberangi perbatasan Bangladesh," kata Fadli Zon dalam siaran pers, Jumat (22/12/2017).
Fadli prihatin melihat warga Rohingya yang terusir dari negaranya sendiri karena konflik berkepanjangan di Rakhine. Katanya, para pengungsi ini sudah kehilangan keluarga, seperti anak, istri, atau suaminya, karena rezim militer di Myanmar.
"Ini harus dihentikan dengan langkah politik. Jelas yang terjadi dengan etnis Rohingya adalah genosida dan pemusnahan etnis (ethnic cleansing). Kita tak bisa mengabaikan dan menutup mata," tegasnya.
Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, lokasi pengungsian Cox's Bazar mencapai 3.000 hektare dan menjadi tempat pengungsi yang paling luas di dunia.
Ironisnya, kebanyakan pengungsi adalah anak-anak. Ada 500.000 anak-anak menjadi pengungsi di Kutupalong dan sekitarnya. Dari jumlah itu, 30.000 adalah anak-anak yatim piatu.
"Saat ini di Kutupalong, ada sekitar 1 juta pengungsi dari Rohingya yang menyeberang dari Myanmar. Jumlah ini terus bertambah karena kekerasan di Rakhine belum juga berhenti. Dari laporan, kemarin saja datang 185 orang yang baru datang," ucap Fadli Zon.
Dari pantauan di lokasi ada beberapa organisasi kemanusiaan Indonesia yang sudah turut aktif berperan memberikan bantuan mulai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) dan Aksi Cepat Tanggap Indonesia (ACT).
"Saya mengapresiasi semua pihak yang terlibat dalam misi kemanusiaan di Bangladesh. Termasuk para relawan dari Indonesia yang sudah menunjukkan kinerja yang sangat baik dengan membuka posko kesehatan bagi pengungsi Rohingya," ungkapnya.
"Ini masalah kemanusiaan yang sangat-sangat serius. Bukan hanya bagi Bangladesh, atau Asia Tenggara, tapi ini masalah bagi dunia," tegasnya.
Menurut Fadli Zon, Pemerintah Indonesia harus gunakan instrumen ASEAN untuk mengawal dan memastikan terlaksananya MoU repatriasi dengan adanya jaminan keamanan dari Myanmar.
"Saya menyarankan jika repatriasi tak berjalan baik, maka perlu langkah politik di kawasan. Pemerintah RI perlu menekan pemerintah Myanmar untuk mematuhi sikap dunia Internasional termasuk PBB untuk memulangkan warga Rohingya ke tanah asal mereka di Rakhine State, Myanmar. Selama ini pemerintah Myanmar hanya lip service dan tak ada realisasi serius menghentikan kekerasan. Para pelaku kejahatan kemanusiaan harus diseret ke Mahmakah Internasional seperti kasus pembantaian di Bosnia," tandasnya.
Dalam kunjungan ini, Fadli Zon didampingi oleh delegasi DPR, di antaranya Ledia Hanifa (F-PKS) dan Nurmansyah Effendi Tanjung (F-PDIP), Kamis 22 Desember 2017.
Hadir pula Dubes RI untuk Bangladesh Rina P Soemarno. Mereka sempat berdiskusi dengan para pengungsi difasilitasi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM).
Fadli menuturkan, dari dialog singkat dengan para pengungsi, mereka adalah korban militer Myanmar yang brutal. Rumah-rumah dibakar, perempuan diperkosa, ada yang ditembak atau dipenggal.
"Berhari-hari bahkan berminggu-minggu harus menyelamatkan diri dari kejaran militer Myanmar hingga akhirnya bisa menyeberangi perbatasan Bangladesh," kata Fadli Zon dalam siaran pers, Jumat (22/12/2017).
Fadli prihatin melihat warga Rohingya yang terusir dari negaranya sendiri karena konflik berkepanjangan di Rakhine. Katanya, para pengungsi ini sudah kehilangan keluarga, seperti anak, istri, atau suaminya, karena rezim militer di Myanmar.
"Ini harus dihentikan dengan langkah politik. Jelas yang terjadi dengan etnis Rohingya adalah genosida dan pemusnahan etnis (ethnic cleansing). Kita tak bisa mengabaikan dan menutup mata," tegasnya.
Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, lokasi pengungsian Cox's Bazar mencapai 3.000 hektare dan menjadi tempat pengungsi yang paling luas di dunia.
Ironisnya, kebanyakan pengungsi adalah anak-anak. Ada 500.000 anak-anak menjadi pengungsi di Kutupalong dan sekitarnya. Dari jumlah itu, 30.000 adalah anak-anak yatim piatu.
"Saat ini di Kutupalong, ada sekitar 1 juta pengungsi dari Rohingya yang menyeberang dari Myanmar. Jumlah ini terus bertambah karena kekerasan di Rakhine belum juga berhenti. Dari laporan, kemarin saja datang 185 orang yang baru datang," ucap Fadli Zon.
Dari pantauan di lokasi ada beberapa organisasi kemanusiaan Indonesia yang sudah turut aktif berperan memberikan bantuan mulai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) dan Aksi Cepat Tanggap Indonesia (ACT).
"Saya mengapresiasi semua pihak yang terlibat dalam misi kemanusiaan di Bangladesh. Termasuk para relawan dari Indonesia yang sudah menunjukkan kinerja yang sangat baik dengan membuka posko kesehatan bagi pengungsi Rohingya," ungkapnya.
"Ini masalah kemanusiaan yang sangat-sangat serius. Bukan hanya bagi Bangladesh, atau Asia Tenggara, tapi ini masalah bagi dunia," tegasnya.
Menurut Fadli Zon, Pemerintah Indonesia harus gunakan instrumen ASEAN untuk mengawal dan memastikan terlaksananya MoU repatriasi dengan adanya jaminan keamanan dari Myanmar.
"Saya menyarankan jika repatriasi tak berjalan baik, maka perlu langkah politik di kawasan. Pemerintah RI perlu menekan pemerintah Myanmar untuk mematuhi sikap dunia Internasional termasuk PBB untuk memulangkan warga Rohingya ke tanah asal mereka di Rakhine State, Myanmar. Selama ini pemerintah Myanmar hanya lip service dan tak ada realisasi serius menghentikan kekerasan. Para pelaku kejahatan kemanusiaan harus diseret ke Mahmakah Internasional seperti kasus pembantaian di Bosnia," tandasnya.
(maf)