Hidup Nyaman di Kota Pintar
A
A
A
JAKARTA - Beberapa tahun belakangan, smart city atau kota pintar semakin diminati untuk diterapkan di kota-kota besar di Indonesia. Konsep ini menjadi impian bagi kota di Tanah Air karena diyakini mampu menyelesaikan berbagai masalah perkotaan, seperti kemacetan, banjir, penumpukan sampah, dan keamanan warga kota.
Istilah kota pintar makin akrab di telinga masyarakat seiring banyaknya pemerintah daerah (pemda) yang saling berlomba untuk menerapkannya. Menilik ke belakang, kata ini pertama kali dilontarkan oleh Samuel Palmisano dari IBM, perusahaan komputer ternama asal Amerika Serikat, pada 2008 melalui konsep yang disebut dengan Smarter Planet. Ini merupakan sebuah konsep untuk menjadikan planet bumi menjadi lebih pintar dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi serta pengelolaan potensi-potensi yang ada, berbasiskan kepada teknologi informasi, dengan disertai peran dari pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat.
Untuk menyukseskan konsep kota pintar ini, IBM menelurkan enam indikator yang harus dicapai. Yakni, masyarakat penghuni kota, lingkungan, prasarana, ekonomi, mobilitas, serta konsep smart living. Contohnya, Copenhagen di Denmark adalah salah satu kota pintar yang memfokuskan diri untuk pengoptimalan bidang lingkungan. Adapun Seoul, Korea Selatan, lebih fokus pada pelayanan publik pada bidang teknologi informasi. Tidak mengherankan jika smart city ini memiliki jaringan internet tercepat di dunia. Kota-kota dunia lain yang menerapkan smart city, di antaranya London, New York, Amsterdam, Hong Kong, Paris, Singapura, Barcelona, dan Tokyo.
Di Indonesia konsep ini mulai banyak diadopsi oleh pemda di kota-kota utama dalam membangun kota yang nyaman, aman, serta memperkuat daya saing dalam perekonomian. Pakar Tata Kota Antony Sihombing menuturkan, kota pintar mengintegrasikan segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan sebuah kota. Tidak hanya pengembangan bangunan hijau (green building), juga transportasi massal yang efektif, penataan lingkungan hidup, serta infrastruktur yang memadai menggunakan basis teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Smart city, menurut dia, juga mengoptimalkan penggunaan listrik, penghematan air, serta penanganan sampah dan sumber daya lainnya sehingga lebih mudah dikontrol dan tidak terbuang percuma. "Bisa juga memberi ruang bagi anak-anak untuk bermain dengan membangun taman kota yang luas atau area publik. Kota pintar sejatinya membuat masyarakat hidup lebih mudah, aman, dan nyaman," tuturnya ketika dihubungi KORAN SINDO, Kamis (23/11/2017).
Selain itu, dia melanjutkan, kota pintar mengetengahkan sebuah tatanan kota yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan tepat. Misalnya dengan dibuatnya layanan bagi publik hanya lewat satu pintu. Di Jakarta, konsep ini sudah diterapkan melalui pembukaan Mal Pelayanan Publik belum lama ini, yang menyediakan sekitar 340 jenis layanan perizinan serta non-perizinan dalam satu tempat. Hal ini tentu saja memudahkan dan memberikan kepastian warga untuk mengurus perizinan.
Staf Pengajar Senior di Departemen Arsitektur, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini mengatakan, pendukung lain yang tak kalah penting dalam mewujudkan sebuah kota pintar, yaitu infrastruktur yang mumpuni. Bagaimana pun, smart city merupakan gabungan antara teknologi, komunikasi, dan infrastruktur yang lengkap dan layak demi melahirkan kemudahan dan penghematan bagi masyarakat.
"Jakarta, Bandung, dan Surabaya sepertinya kota-kota yang sudah siap dan layak untuk menjadi smart city. Kota-kota lain, apalagi kota kecil, memang butuh waktu, tetapi bisa berkembang terus sesuai berjalannya waktu," ujarnya.
Untuk menuju smart city, terang Antony, memang awalnya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun, ke depannya justru masyarakat akan mendapatkan penghematan pengeluaran dari terciptanya kota pintar tersebut. Seperti banjir yang sudah tidak menggenang lagi sehingga rumah tak perlu direnovasi terus-menerus atau biaya perjalanan yang lebih sedikit apabila integrasi bagian transportasi berjalan lancar.
Pada ujungnya, kehidupan warga tersebut bisa berjalan dengan mudah, nyaman, sehat, dan aman sehingga bisa menatap masa depan bersama keluarga dengan kebahagiaan. "Memang dibutuhkan pelatihan khusus bagi aparat pemda untuk menjalankan kota pintar karena kebanyakan teknologi yang digunakan termasuk baru dan belum pernah digunakan," tandasnya.
Sementara itu, pakar Telematika Abimanyu Wahjoehidajat mengatakan, konsep smart city pada dasarnya adalah meningkatkan (leveraging) tingkat layanan pemerintah dari cara konvensional menjadi otomasi. Yang diharapkan masyarakat tentunya men dapatkan pelayanan yang lebih mudah, cepat, terkoordinasi, terkontrol, serta aman. Minimal adalah mendapatkan kemudahan untuk berinteraksi antara masyarakat dan pimpinannya.
"Jadi, warga bisa melapor masalah listrik mati, selokan kotor, banjir, sampah berantakan, atau lainnya dan bisa cepat ditindak lanjuti," sebutnya.
Tidak hanya segera ditanggapi, dengan layanan smart city, lanjut Abimanyu saat dihubungi melalui sambungan telepon, laporan yang disampaikan masyarakat bisa tepat sasaran ke pejabat terkait sesuai persoalan yang menjadi urusannya. Pejabat daerah pun bisa menganalisis dengan akurat masalah utama apa saja yang sedang terjadi di kotanya dan mencari solusi untuk itu. "Sehingga nantinya pelayanannya bisa kelihatan dan terukur. Masyarakat juga bisa mengawasi kinerja pejabatnya," sebutnya.
Dia mengutarakan, untuk mengembangkan kota pintar diperlukan adanya good government (tata laksana pemerintahan yang baik) dan sistem yang terkomputerasi. Kalau caranya masih manual, tentu akan sulit untuk mewujudkan hal tersebut. Good government berupa penerapan e-government mulai dari pencatatan administrasi kependudukan, data kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang menggunakan teknologi komunikasi. Juga penerapan layanan terpadu yang membuat warga tak perlu lagi mencatat datanya ketika mengakses layanan publik.
"Ketika mendaftar di rumah sakit, warga tak perlu lagi dicatat datanya karena sudah tersimpan dalam sistem. Atau saat melapor polisi ketika kehilangan barang. Saat ini pemerintah juga tengah melakukan koneksi antara nomor ponsel dan e-KTP, itu bagus sekali," tandas Abimanyu.
Sebenarnya, menurut Abimanyu, infrastruktur, layanan, dan aplikasi yang telah dibuat anak bangsa sudah banyak yang mendukung terciptanya ekosistem smart city, hanya perlu dioptimalkan lagi. Misalnya Google Map berupa peta untuk navigasi GPS, lalu lintas, transportasi umum, serta detail lokasi atau Qlue, yaitu aplikasi pelaporan yang bisa digunakan untuk menyampaikan permasalahan kota kepada pemerintah ataupun pihak swasta.
Hal ini, kata dia, tentu akan menghemat biaya daripada para pejabat daerah tersebut menyiapkan sendiri segala infrastruktur yang diperlukan. "Kalau biaya sendiri tentu mahal, gunakan saja aplikasi yang sudah ada dan jalankan secara optimal. Jangan sampai program smart city menjadi akal-akalan pejabat daerah untuk mencari proyek. Itu pun belum tentu berhasil dan bisa diaplikasikan dengan baik," imbuhnya.
Adapun Hendra Sumiarsa, Division Head IOT & Vertical APPS Solutions, Indosat Ooredoo mengatakan, pihaknya mengambil peranan aktif dalam membawa adopsi teknologi dalam penerapan kota cerdas. Sejalan dengan visi dan misi sebagai leading digital telco, Indosat Ooredoo memiliki kapabilitas, pengalaman, dan rangkaian layanan jasa kelas enterprise mulai dari konektivitas, platform, dan aplikasi serta jasa IT yang dibutuhkan, cocok dan siap diimplementasi dalam smart city.
Sejatinya, menurut dia, konsep kota pintar tidak melulu berbasis IT yang disebut menggelontorkan biaya mahal. "Membangun smart city adalah mengelola pembangunan efektif berbasis data yang berkelanjutan, mengarahkan branding, penggunaan potensi lokal, serta transparansi," kata Hendra ketika dihubungi pada Jumat (24/11/2017).
Indosat Ooredoo saat ini memiliki platform semacam starter kit bernama Kota Digital Indonesia yang mencoba membantu pemimpin daerah di Indonesia dalam membuat fondasi smart city.
Istilah kota pintar makin akrab di telinga masyarakat seiring banyaknya pemerintah daerah (pemda) yang saling berlomba untuk menerapkannya. Menilik ke belakang, kata ini pertama kali dilontarkan oleh Samuel Palmisano dari IBM, perusahaan komputer ternama asal Amerika Serikat, pada 2008 melalui konsep yang disebut dengan Smarter Planet. Ini merupakan sebuah konsep untuk menjadikan planet bumi menjadi lebih pintar dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi serta pengelolaan potensi-potensi yang ada, berbasiskan kepada teknologi informasi, dengan disertai peran dari pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat.
Untuk menyukseskan konsep kota pintar ini, IBM menelurkan enam indikator yang harus dicapai. Yakni, masyarakat penghuni kota, lingkungan, prasarana, ekonomi, mobilitas, serta konsep smart living. Contohnya, Copenhagen di Denmark adalah salah satu kota pintar yang memfokuskan diri untuk pengoptimalan bidang lingkungan. Adapun Seoul, Korea Selatan, lebih fokus pada pelayanan publik pada bidang teknologi informasi. Tidak mengherankan jika smart city ini memiliki jaringan internet tercepat di dunia. Kota-kota dunia lain yang menerapkan smart city, di antaranya London, New York, Amsterdam, Hong Kong, Paris, Singapura, Barcelona, dan Tokyo.
Di Indonesia konsep ini mulai banyak diadopsi oleh pemda di kota-kota utama dalam membangun kota yang nyaman, aman, serta memperkuat daya saing dalam perekonomian. Pakar Tata Kota Antony Sihombing menuturkan, kota pintar mengintegrasikan segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan sebuah kota. Tidak hanya pengembangan bangunan hijau (green building), juga transportasi massal yang efektif, penataan lingkungan hidup, serta infrastruktur yang memadai menggunakan basis teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Smart city, menurut dia, juga mengoptimalkan penggunaan listrik, penghematan air, serta penanganan sampah dan sumber daya lainnya sehingga lebih mudah dikontrol dan tidak terbuang percuma. "Bisa juga memberi ruang bagi anak-anak untuk bermain dengan membangun taman kota yang luas atau area publik. Kota pintar sejatinya membuat masyarakat hidup lebih mudah, aman, dan nyaman," tuturnya ketika dihubungi KORAN SINDO, Kamis (23/11/2017).
Selain itu, dia melanjutkan, kota pintar mengetengahkan sebuah tatanan kota yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan tepat. Misalnya dengan dibuatnya layanan bagi publik hanya lewat satu pintu. Di Jakarta, konsep ini sudah diterapkan melalui pembukaan Mal Pelayanan Publik belum lama ini, yang menyediakan sekitar 340 jenis layanan perizinan serta non-perizinan dalam satu tempat. Hal ini tentu saja memudahkan dan memberikan kepastian warga untuk mengurus perizinan.
Staf Pengajar Senior di Departemen Arsitektur, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini mengatakan, pendukung lain yang tak kalah penting dalam mewujudkan sebuah kota pintar, yaitu infrastruktur yang mumpuni. Bagaimana pun, smart city merupakan gabungan antara teknologi, komunikasi, dan infrastruktur yang lengkap dan layak demi melahirkan kemudahan dan penghematan bagi masyarakat.
"Jakarta, Bandung, dan Surabaya sepertinya kota-kota yang sudah siap dan layak untuk menjadi smart city. Kota-kota lain, apalagi kota kecil, memang butuh waktu, tetapi bisa berkembang terus sesuai berjalannya waktu," ujarnya.
Untuk menuju smart city, terang Antony, memang awalnya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun, ke depannya justru masyarakat akan mendapatkan penghematan pengeluaran dari terciptanya kota pintar tersebut. Seperti banjir yang sudah tidak menggenang lagi sehingga rumah tak perlu direnovasi terus-menerus atau biaya perjalanan yang lebih sedikit apabila integrasi bagian transportasi berjalan lancar.
Pada ujungnya, kehidupan warga tersebut bisa berjalan dengan mudah, nyaman, sehat, dan aman sehingga bisa menatap masa depan bersama keluarga dengan kebahagiaan. "Memang dibutuhkan pelatihan khusus bagi aparat pemda untuk menjalankan kota pintar karena kebanyakan teknologi yang digunakan termasuk baru dan belum pernah digunakan," tandasnya.
Sementara itu, pakar Telematika Abimanyu Wahjoehidajat mengatakan, konsep smart city pada dasarnya adalah meningkatkan (leveraging) tingkat layanan pemerintah dari cara konvensional menjadi otomasi. Yang diharapkan masyarakat tentunya men dapatkan pelayanan yang lebih mudah, cepat, terkoordinasi, terkontrol, serta aman. Minimal adalah mendapatkan kemudahan untuk berinteraksi antara masyarakat dan pimpinannya.
"Jadi, warga bisa melapor masalah listrik mati, selokan kotor, banjir, sampah berantakan, atau lainnya dan bisa cepat ditindak lanjuti," sebutnya.
Tidak hanya segera ditanggapi, dengan layanan smart city, lanjut Abimanyu saat dihubungi melalui sambungan telepon, laporan yang disampaikan masyarakat bisa tepat sasaran ke pejabat terkait sesuai persoalan yang menjadi urusannya. Pejabat daerah pun bisa menganalisis dengan akurat masalah utama apa saja yang sedang terjadi di kotanya dan mencari solusi untuk itu. "Sehingga nantinya pelayanannya bisa kelihatan dan terukur. Masyarakat juga bisa mengawasi kinerja pejabatnya," sebutnya.
Dia mengutarakan, untuk mengembangkan kota pintar diperlukan adanya good government (tata laksana pemerintahan yang baik) dan sistem yang terkomputerasi. Kalau caranya masih manual, tentu akan sulit untuk mewujudkan hal tersebut. Good government berupa penerapan e-government mulai dari pencatatan administrasi kependudukan, data kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang menggunakan teknologi komunikasi. Juga penerapan layanan terpadu yang membuat warga tak perlu lagi mencatat datanya ketika mengakses layanan publik.
"Ketika mendaftar di rumah sakit, warga tak perlu lagi dicatat datanya karena sudah tersimpan dalam sistem. Atau saat melapor polisi ketika kehilangan barang. Saat ini pemerintah juga tengah melakukan koneksi antara nomor ponsel dan e-KTP, itu bagus sekali," tandas Abimanyu.
Sebenarnya, menurut Abimanyu, infrastruktur, layanan, dan aplikasi yang telah dibuat anak bangsa sudah banyak yang mendukung terciptanya ekosistem smart city, hanya perlu dioptimalkan lagi. Misalnya Google Map berupa peta untuk navigasi GPS, lalu lintas, transportasi umum, serta detail lokasi atau Qlue, yaitu aplikasi pelaporan yang bisa digunakan untuk menyampaikan permasalahan kota kepada pemerintah ataupun pihak swasta.
Hal ini, kata dia, tentu akan menghemat biaya daripada para pejabat daerah tersebut menyiapkan sendiri segala infrastruktur yang diperlukan. "Kalau biaya sendiri tentu mahal, gunakan saja aplikasi yang sudah ada dan jalankan secara optimal. Jangan sampai program smart city menjadi akal-akalan pejabat daerah untuk mencari proyek. Itu pun belum tentu berhasil dan bisa diaplikasikan dengan baik," imbuhnya.
Adapun Hendra Sumiarsa, Division Head IOT & Vertical APPS Solutions, Indosat Ooredoo mengatakan, pihaknya mengambil peranan aktif dalam membawa adopsi teknologi dalam penerapan kota cerdas. Sejalan dengan visi dan misi sebagai leading digital telco, Indosat Ooredoo memiliki kapabilitas, pengalaman, dan rangkaian layanan jasa kelas enterprise mulai dari konektivitas, platform, dan aplikasi serta jasa IT yang dibutuhkan, cocok dan siap diimplementasi dalam smart city.
Sejatinya, menurut dia, konsep kota pintar tidak melulu berbasis IT yang disebut menggelontorkan biaya mahal. "Membangun smart city adalah mengelola pembangunan efektif berbasis data yang berkelanjutan, mengarahkan branding, penggunaan potensi lokal, serta transparansi," kata Hendra ketika dihubungi pada Jumat (24/11/2017).
Indosat Ooredoo saat ini memiliki platform semacam starter kit bernama Kota Digital Indonesia yang mencoba membantu pemimpin daerah di Indonesia dalam membuat fondasi smart city.
(amm)