Perlu Teknologi Informasi untuk Permudah Layanan Kesehatan

Kamis, 19 Oktober 2017 - 11:43 WIB
Perlu Teknologi Informasi untuk Permudah Layanan Kesehatan
Perlu Teknologi Informasi untuk Permudah Layanan Kesehatan
A A A
JAKARTA - Tersedianya berbagai layanan dasar khususnya bidang kesehatan masih membutuhkan banyak perbaikan. Salah satunya pelayanan kesehatan berbasis Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Pelayanan kesehatan berbasis BPJS saat ini masih kerap diwarnai dengan persoalan seperti lamanya waktu tunggu, obat yang tidak ditanggung, sulitnya mencari ruang Intensive Care Unit (ICU), Neotanal Intesive Care Unit (NICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU), hingga ruang rawat.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai harus ada perbaikan kualitas layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Menurutnya, berbagai persoalan teknis seperti yang disebutkan di awal tulisan ini merupakan masalah sehari-hari yang dihadapi oleh peserta jaminan kesehatan nasional.

"Masih banyak persoalan dalam realisasi program JKN. Peserta masih harus menunggu lama, masih harus membeli obat, masih susah men cari ICU, PICU, ataupun ruang rawat," katanya.

(Baca Juga: Meraih Asa Menjadi Negara Sehat
Dia menyarankan BPJS kesehatan harus membangun sistem berbasis teknologi untuk mengintegrasikan rumah sakit yang menjadi mitra. Dengan demikian ketika di satu rumah sakit sarana dan prasarana tidak mendukung kebutuhan pasien maka segera bisa diarahkan ke rumah sakit lain.

"Kalau ada yang butuh jadi lebih cepat. Jangan pasien menunggu. Masih banyak pasien yang ditolak hari Sabtu. Persoalan teknis ini pun harus diperbaiki,” ungkapnya.

Selain persoalan teknis, lanjut Timboel, layanan kesehatan dari pemerintah juga bermasalah dari sisi regulasi. Menurutnya pemerintah sering kali tidak matang dalam melakukan kajian, sehingga dengan mudahnya regulasi berubah dengan cepat. “Regulasi banyak yang diprotes stakeholder akhirnya diubah. Mulai dari aturan iuran BPJS, aktivasi sampai dengan perubahan fasilitas kesehatan peserta. Perubahan-perubahan yang begitu cepat melahirkan ketidakpastian hukum,” jelasnya.

Timboel juga menyoroti politik anggaran di bidang layanan kesehatan ini. Dia mengatakan pemerintah saat ini tidak berani untuk menaikkan iuran BPJS. Padahal aktuaria dari iuran BPJS sebesar Rp36.000, tapi pemerintah masih tetap berada di angka Rp23.000. "Padahal menurut peraturan presiden kenaikan penerima bantuan iuran (PBI) paling lama 2 tahun. Tapi saya lihat tahun anggaran 2018 belum ada kenaikan itu,” tuturnya.

Menurutnya jika tidak ada kenaikan maka akan menyebabkan defisit. Apalagi angka defisit dari tahun ke tahun semakin besar. Sebenarnya jika menengok anggaran kesehatan yang telah dipatok 5% dari APBN cukup untuk pos PBI BPJS.

“Pada tahun 2014 defisit Rp3,3 triliun, tahun 2015 defisit Rp5,7 triliun, tahun 2016 sebesar Rp9,7 triliun, dan pada pertengahan 2017 sudah Rp6,5 triliun. Saya kira 5% dari APBN sebesar Rp110 triliun bisa untuk Kemenkes Rp60 triliun. Sementara sisanya masih ada ruang untuk PBI,” jelasnya.

Dia juga meminta agar presiden fokus melakukan pengawasan terhadap direksi. Hal ini dikarenakan banyak target-target yang tidak tercapai. Salah satunya adalah target penerimaan iuran. “Itu harus dievaluasi apa penyebabnya. Semua soal kemauan dari pemerintah dan BPJS untuk memperbaikinya,” tuturnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5778 seconds (0.1#10.140)