Ketua Komisi III DPR: KPK Itu Burung Garuda, Bukan Perkutut
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai penangkapan kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencerminkan kegagalan sistem pencegahan korupsi.
Pemberantasan korupsi yang terfokus pada penindakan dinilai tidak akan mengurangi praktik korupsi, baik saat ini maupun mendatang.
"Cukup lah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah burung garuda yang mangsanya besar-besar, bukan burung perkutut," tutur Bambang dalam keterangannya, Senin (17/9/2017).
Menurut Bambang, KPK seharusnya mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan kepolisian ataupun kejaksaan.
"Kalau hanya mengandalkan OTT saja, kasihan negara ini. Ibarat menembak nyamuk pakai meriam," tandasnya. (Baca juga: KPK Tegaskan Modus Fee 10% Tak Hanya di Kota Batu )
Dia mengatakan, negara telah mengeluarkan dana sangat besar untuk menggaji para penyidik, pimpinan dan pegawai KPK, termasuk biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarana.
"OTT itu 'murah meriah'. Kalau KPK hanya OTT sebagai festivalisasi pemberantasan korupsi, tidak bisa dihindari adanya kesan KPK mau gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi 'murah meriah'. Itu tidak akan akan memberi efek jera yang signifikan," tutur politikus Partai Golkar ini.
Dia mengakui OTT KPK juga menyasar sosok besar, seperti Akil Mochtar yang ditangkap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Kemudian Patrialis Akbar yang ditangkap saat masih menjabat Hakim Konstitusi. Lalu ada Irman Gusman yang disergap saat menjabat Ketua DPD.
Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, jaksa dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA). Terakhir, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.
"Yang menjadi pertanyaan adalah apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana diatur dalam UU atau hanya jebakan semata," ucap Bambang.
Dia yakin penangkapan yang dilakukan KPK tidak mungkin tanpa didahului penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan.
"Bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum. Pertanyaannya kemudian apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat harus kritis dan tegas mengawasi KPK agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi.
Dia mengatakan, KPK perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi namun baru sampai pada tahap penindakan.
"Banyaknya jumlah penindakan pun seharusnya dilihat sebagai aib atau kegagalan pemberantasan korupsi itu sendiri. Peluang melakukan korupsi mestinya bisa diminimalisasi jika ada sistem pencegahan yang efektif," ucap Bambang.
Pemberantasan korupsi yang terfokus pada penindakan dinilai tidak akan mengurangi praktik korupsi, baik saat ini maupun mendatang.
"Cukup lah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah burung garuda yang mangsanya besar-besar, bukan burung perkutut," tutur Bambang dalam keterangannya, Senin (17/9/2017).
Menurut Bambang, KPK seharusnya mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan kepolisian ataupun kejaksaan.
"Kalau hanya mengandalkan OTT saja, kasihan negara ini. Ibarat menembak nyamuk pakai meriam," tandasnya. (Baca juga: KPK Tegaskan Modus Fee 10% Tak Hanya di Kota Batu )
Dia mengatakan, negara telah mengeluarkan dana sangat besar untuk menggaji para penyidik, pimpinan dan pegawai KPK, termasuk biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarana.
"OTT itu 'murah meriah'. Kalau KPK hanya OTT sebagai festivalisasi pemberantasan korupsi, tidak bisa dihindari adanya kesan KPK mau gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi 'murah meriah'. Itu tidak akan akan memberi efek jera yang signifikan," tutur politikus Partai Golkar ini.
Dia mengakui OTT KPK juga menyasar sosok besar, seperti Akil Mochtar yang ditangkap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Kemudian Patrialis Akbar yang ditangkap saat masih menjabat Hakim Konstitusi. Lalu ada Irman Gusman yang disergap saat menjabat Ketua DPD.
Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, jaksa dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA). Terakhir, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.
"Yang menjadi pertanyaan adalah apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana diatur dalam UU atau hanya jebakan semata," ucap Bambang.
Dia yakin penangkapan yang dilakukan KPK tidak mungkin tanpa didahului penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan.
"Bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum. Pertanyaannya kemudian apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat harus kritis dan tegas mengawasi KPK agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi.
Dia mengatakan, KPK perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi namun baru sampai pada tahap penindakan.
"Banyaknya jumlah penindakan pun seharusnya dilihat sebagai aib atau kegagalan pemberantasan korupsi itu sendiri. Peluang melakukan korupsi mestinya bisa diminimalisasi jika ada sistem pencegahan yang efektif," ucap Bambang.
(dam)