Perkuat Kontra Narasi, Strategi Jitu FKPT Jateng Cegah Terorisme dan Radikalisme
A
A
A
JAKARTA - Kasus terorisme sepertinya tak bisa lepas dari Provinsi Jawa Tengah. Beragam peristiwa terkait kasus terorisme yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, selalu melibatkan warga dari provinsi ini.
Sepanjang 2017 saja, tercatat ada belasan warga Jawa Tengah yang diciduk tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri. Tak heran bila provinsi ini dilabeli sebagai sarang teroris, sebuah justifikasi yang tentu tidak mengenakkan bagi provinsi yang masyarakatnya dikenal ramah dan terbuka itu.
Catatan SINDONews, pada Agustus 2017, tiga warga Jateng ditangkap tim Densus di dua tempat berbeda. Yakni, satu orang di Karanganyar dan dua terduga di Kabupaten Tegal.
Berikutnya, Juni 2017, lima warga Jateng kembali diamankan tim Densus di empat lokasi berbeda mulai Kabupaten Gunungkidul DIY, Temanggung, Kendal, dan Kabupaten Tegal. Mei 2017, satu terduga teroris kembali diciduk Densus 88 di Sukoharjo.
April 2017, empat warga Jateng lagi-lagi terlibat jaringan terorisme. Mereka tewas dalam baku tembak dengan polisi seusai melakukan aksi teror di Tuban, Jawa Timur.
Di bulan itu, juga terjadi dua peristiwa teror. Satu kejadian di Gereja Jago, Ambarawa, Kabupaten Semarang, dan kasus teror lainnya terjadi di Mapolres Banyumas.
Sementara pada Februari 2017, dua terduga teroris asal Boyolali ditangkap Densus 88 Mabes Polri. Keduanya ditangkap setelah diduga terlibat jaringan neo Jamaah Islamiyah (JI).
Banyaknya aksi maupun pelaku teror dari Jawa Tengah membuat provinsi ini perlu segera berbenah guna mencegah kembalinya aksi teror yang meresahkan masyarakat.
Ketua FKPT Jawa Tengah, Najahan Musyafak mengatakan, perlu ada langkah preventif untuk mengantisipasi paham-paham radikal yang kini sudah menyasar kalangan mahasiswa dan pelajar SMA.
Dia menjelaskan, remaja usia 15-19 tahun atau siswa SMA hingga semester awal di perguruan tinggi menjadi sasaran empuk penyebaran pemahaman ajaran radikal tersebut.
“Kalau tergolong radikal maka perlu melakukan kontra narasi, kontra propaganda dan deradikalisasi,” katanya dihubungi SINDONews, Jumat (16/9/2017).
Pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang ini menilai, penyebab para remaja mau terlibat dalam gerakan-gerakan radikal itu dikarenakan terpengaruh pemahaman keagamaan yang keliru di media sosial. Pendidikan wawasan kebangsaan mereka juga masih minim, serta belum berjalannya kontrol sosial di masyarakat.
Karena itu, strategi kontra narasi dan kontra propaganda dengan memperbanyak tulisan-tulisan di media massa maupun media sosial dan blog sangat penting untuk melawan paham-paham radikalisme yang kini bermunculan di media sosial.
“Entry point kita galakkan di kampus-kampus dan SMA. Karena, kampus dan sekolah kini jadi pintu masuk paham radikalisme melalui rohis-rohisnya,” katanya.
Menurut Najahan, dengan menguatkan strategi kontra narasi akan mempersempit ruang gerak radikalisme di kalangan remaja dan mahasiswa. Sehingga, upaya melakukan deradikalisasi semakin memiliki ruang yang luas.
Najahan juga menegaskan, lembaga pemerintah mulai dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kepolisian, Kemendagri, Kemendiknas, Menristekdikti, Kejaksaan, harus saling berkoordinasi untuk bersama-sama memerangi radikalisme.
“Kita harus bergotong-royong mengeroyok terorisme dan radikalisme sebagai musuh bersama,” ucapnya.
Najahan menambahkan, FKPT juga meningkatkan kerja sama dengan Kementerian Agama untuk bersama-sama merencanakan program memberantas radikalisme melalui penyebaran paham tentang hidup bertoleransi dan menghargai perbedaan di masyarakat.
“Dengan menanamkan pemahaman tentang toleransi dan perbedaan kepada masyarakat di situlah akan mengena tentang hidup damai dan berdampingan. Perbedaan itu adalah keniscayaan dan sunatullah,” katanya.
Tak kalah pentingnya, kata Najahan, peran media massa yang juga sangat vital dalam melawan penyebaran paham radikalisme di media sosial.
“Jika secara massif kita gencarkan paham-paham tentang hidup damai dan menjaga toleransi, masyarakat akan semakin tercerahkan,” katanya.
Kapolda Jateng Irjen Condro Kirono mengatakan upaya deradikalisasi harus mengena. Sebab, beberapa pelaku yang beraksi terakhir, berusia muda, mulai 19 hingga 22 tahun. Sasaran deradikalisasi ini juga harus mengena ke kelompok-kelompok inklusif atau mereka yang menutup diri.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan upaya yang bisa dilakukan untuk menangkal terorisme adalah meningkatkan spiritualitas, selain itu mengokohkan ideologi Pancasila.
Sepanjang 2017 saja, tercatat ada belasan warga Jawa Tengah yang diciduk tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri. Tak heran bila provinsi ini dilabeli sebagai sarang teroris, sebuah justifikasi yang tentu tidak mengenakkan bagi provinsi yang masyarakatnya dikenal ramah dan terbuka itu.
Catatan SINDONews, pada Agustus 2017, tiga warga Jateng ditangkap tim Densus di dua tempat berbeda. Yakni, satu orang di Karanganyar dan dua terduga di Kabupaten Tegal.
Berikutnya, Juni 2017, lima warga Jateng kembali diamankan tim Densus di empat lokasi berbeda mulai Kabupaten Gunungkidul DIY, Temanggung, Kendal, dan Kabupaten Tegal. Mei 2017, satu terduga teroris kembali diciduk Densus 88 di Sukoharjo.
April 2017, empat warga Jateng lagi-lagi terlibat jaringan terorisme. Mereka tewas dalam baku tembak dengan polisi seusai melakukan aksi teror di Tuban, Jawa Timur.
Di bulan itu, juga terjadi dua peristiwa teror. Satu kejadian di Gereja Jago, Ambarawa, Kabupaten Semarang, dan kasus teror lainnya terjadi di Mapolres Banyumas.
Sementara pada Februari 2017, dua terduga teroris asal Boyolali ditangkap Densus 88 Mabes Polri. Keduanya ditangkap setelah diduga terlibat jaringan neo Jamaah Islamiyah (JI).
Banyaknya aksi maupun pelaku teror dari Jawa Tengah membuat provinsi ini perlu segera berbenah guna mencegah kembalinya aksi teror yang meresahkan masyarakat.
Ketua FKPT Jawa Tengah, Najahan Musyafak mengatakan, perlu ada langkah preventif untuk mengantisipasi paham-paham radikal yang kini sudah menyasar kalangan mahasiswa dan pelajar SMA.
Dia menjelaskan, remaja usia 15-19 tahun atau siswa SMA hingga semester awal di perguruan tinggi menjadi sasaran empuk penyebaran pemahaman ajaran radikal tersebut.
“Kalau tergolong radikal maka perlu melakukan kontra narasi, kontra propaganda dan deradikalisasi,” katanya dihubungi SINDONews, Jumat (16/9/2017).
Pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang ini menilai, penyebab para remaja mau terlibat dalam gerakan-gerakan radikal itu dikarenakan terpengaruh pemahaman keagamaan yang keliru di media sosial. Pendidikan wawasan kebangsaan mereka juga masih minim, serta belum berjalannya kontrol sosial di masyarakat.
Karena itu, strategi kontra narasi dan kontra propaganda dengan memperbanyak tulisan-tulisan di media massa maupun media sosial dan blog sangat penting untuk melawan paham-paham radikalisme yang kini bermunculan di media sosial.
“Entry point kita galakkan di kampus-kampus dan SMA. Karena, kampus dan sekolah kini jadi pintu masuk paham radikalisme melalui rohis-rohisnya,” katanya.
Menurut Najahan, dengan menguatkan strategi kontra narasi akan mempersempit ruang gerak radikalisme di kalangan remaja dan mahasiswa. Sehingga, upaya melakukan deradikalisasi semakin memiliki ruang yang luas.
Najahan juga menegaskan, lembaga pemerintah mulai dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kepolisian, Kemendagri, Kemendiknas, Menristekdikti, Kejaksaan, harus saling berkoordinasi untuk bersama-sama memerangi radikalisme.
“Kita harus bergotong-royong mengeroyok terorisme dan radikalisme sebagai musuh bersama,” ucapnya.
Najahan menambahkan, FKPT juga meningkatkan kerja sama dengan Kementerian Agama untuk bersama-sama merencanakan program memberantas radikalisme melalui penyebaran paham tentang hidup bertoleransi dan menghargai perbedaan di masyarakat.
“Dengan menanamkan pemahaman tentang toleransi dan perbedaan kepada masyarakat di situlah akan mengena tentang hidup damai dan berdampingan. Perbedaan itu adalah keniscayaan dan sunatullah,” katanya.
Tak kalah pentingnya, kata Najahan, peran media massa yang juga sangat vital dalam melawan penyebaran paham radikalisme di media sosial.
“Jika secara massif kita gencarkan paham-paham tentang hidup damai dan menjaga toleransi, masyarakat akan semakin tercerahkan,” katanya.
Kapolda Jateng Irjen Condro Kirono mengatakan upaya deradikalisasi harus mengena. Sebab, beberapa pelaku yang beraksi terakhir, berusia muda, mulai 19 hingga 22 tahun. Sasaran deradikalisasi ini juga harus mengena ke kelompok-kelompok inklusif atau mereka yang menutup diri.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan upaya yang bisa dilakukan untuk menangkal terorisme adalah meningkatkan spiritualitas, selain itu mengokohkan ideologi Pancasila.
(kas)