Indonesia Milik Bersama, Bukan Milik 'Saya' atau Kelompok

Kamis, 17 Agustus 2017 - 07:35 WIB
Indonesia Milik Bersama,...
Indonesia Milik Bersama, Bukan Milik 'Saya' atau Kelompok
A A A
JAKARTA - Momentum peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-72 adalah saat yang tepat untuk menegaskan komitmen bahwa Indonesia adalah milik bersama.

Dengan demikian, setiap warga negara harus bersama-sama membangun Indonesia dan memandang warga bangsa lainnya sebagai mitra dalam pembangunan.

"Komitmen ini juga menegaskan bahwa tidak ada dan tidak boleh ada pihak-pihak yang merasa atau mengklaim dirinya paling Indonesia sambil menuduh pihak-pihak lainnya (sesama warga bangsa) sebagai pihak yang rendah 'kadar keindonesiaannya'," tutur Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Jazuli Juwaini dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Rabu (16/8/2017).

Menurut dia, klaim-klaim semacam itu justru menunjukkan ketidakmampuan dalam memaknai keindonesiaan.

Dia menuturkan Indonesia dari sejak perjuangan kemerdekaan hingga lahir sebagai negara bangsa merdeka dibangun di atas kesadaran keberagaman latar dan pendapat.

Namun, kata dia, para pendiri bangsa memilih untuk bersatu di atas semua perbedaan itu untuk mencapai satu tujuan bersama.

"Ini artinya Indonesia dibangun dengan satu konsensus kebangsaan dan tidak (mungkin) atas relasi klaim-klaim keindonesiaan secara sepihak sambil menuduh atau mendiskreditkan pihak-pihak lain seperti anti-NKRI, antipancasila, antikebinekaan, dan lain sebagainya," tutur anggota DPR ini.

Menurut Jazuli, satu-satunya klaim yang bisa dibenarkan adalah pernyataan Indonesia milik kita bersama, bukan "milik saya" bukan pula "milik sebagian kelompok" saja.

Jazuli menawarkan pendekatan yang dinilainya sangat lazim dalam upaya bersama untuk membangun Indonesia yang majemuk, yaitu pendekatan untuk berlomba-lomba merawat Indonesia.

"Melalui pendekatan ini, setiap elemen bangsa diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk mengambil peran di dalam upaya pembangunan bangsa dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945," tuturnya.

Dia mengatakan, harus diakui dengan jujur aktualisasi nilai-nilai Pancasila "masih jauh panggang daripada api".

Pancasila yang merupakan identitas, kepribadian, dan karakter bangsa dikatakannya belum sepenuhnya dijiwai oleh bangsa Indonesia.

Dia menjelaskan, Indonesia adalah bangsa yang religius (religious state). Apa pun agamanya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Indonesia juga bangsa yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.

"Tapi realitasnya kita saksikan dekadensi moral merajalela, prevalensi penyalahgunaan dan peredaran narkoba meningkat tajam, pengakses pornografi naik fantastis, pergaulan bebas menjadi tren, seiring itu kasus pemerkosaan, kekerasan seksual, dan kejahatan juga melambung tinggi," katanya.

Belum lagi budaya liberal kebablasan, budaya hedonis, dan individualis, serta lunturnya nilai-nilai luhur tata karma.

Padahal, kata dia, Sila Ketiga Pancasila jelas memuat pesan walaupun Indonesia mempunyai keragaman, namun dalam setiap keragaman terdapat tenunan dan jalinan yang saling mempertemukan satu dengan yang lainnya.

"Kita boleh berbeda. Ada elemen-elemen lokal, tetapi selalu ada benang merah yang menyatukan kita. Seperti itulah filosofi dari Bhineka Tunggal Ika," katanya.

Namun, menurut dia, realitasnya bangsa Indonesia menghadapi ancaman persatuan dan kesatuan di tengah maraknya sikap merasa paling benar sendiri yang berkelindan dengan kecenderungan intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

"Bangsa kita mudah disulut amarah, mudah diadu domba di antara elemen bangsa," ucapnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1024 seconds (0.1#10.140)